HTI

Opini (Al Waie)

Berharap kepada Presiden Baru?

Bangsa ini sepertinya enggan untuk belajar dari pengalaman. Akibatnya, mereka sering ‘terperosok ke dalam lubang yang sama’, bukan hanya dua kali, tetapi berkali-kali. Dulu, sebelum Pilpres 2004 dan 2009, SBY dielu-elukan sebagai pemimpin yang bisa membawa perubahan. Nyatanya tidak. Kalaupun selama masa kepemimpinan SBY ada perubahan, tidak lain perubahan ke arah yang lebih buruk. Korupsi makin menjadi-jadi. Ironisnya, banyak pejabat tinggi tersangkut korupsi justru dari partainya SBY (Partai Demokrat): Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, Soetan Batoegana dan terakhir Jero Wacik. Partai lain juga sama saja; sama-sama korup. Tak ada satu pun partai yang tidak terindikasi korupsi, termasuk partai Islam.

Utang luar negeri makin bertambah. Selama masa kepemimpinan SBY, jika tahun 2010 utang luar negeri meningkat menjadi sekitar Rp 2000 triliun, hanya dalam kurun kurang dari lima tahun berikutnya (2014) telah meningkat kembali menjadi sekitar Rp 3000 triliun.

Kemiskinan tidak berkurang, malah mungkin makin bertambah, apalagi sebentar lagi harga BBM dipastikan naik. Tarif listrik sudah lebih dulu naik secara bertahap pertiga bulan. Harga gas LPG 12 kg baru-baru ini juga naik kembali sekitar Rp 18 ribu. Semua ini sudah dan akan menimbulkan efek domino. Ujung-ujungnya: rakyat makin susah, kemiskinan pun makin bertambah.

Munculnya kembali presiden baru memang melahirkan kembali harapan baru. Namun, bisa dipastikan, harapan baru itu pasti juga semu. Persis seperti dulu, rakyat begitu banyak berharap kepada SBY. Nyatanya, SBY mengabaikan harapan rakyat. Begitu pun dengan pasangan calon presiden terpilih Jokowi-JK. Pasalnya, apa yang diusung Jokowi-JK bukanlah hal baru; sama dengan sebelumnya. Kebijakannya masih bernuansa neo-liberal, bahkan diprediksi bisa lebih parah dari apa yang dilakukan SBY. Ini karena Jokowi oleh sebagian kalangan Jokowi dituding tak lebih dari ‘presiden boneka’, terutama bagi pihak asing (walaupun bukan berarti presiden sebelumnya bukan presiden boneka). Indikasinya sudah sangat jelas. Belum juga resmi menjadi presiden, Jokowi-JK, misalnya, sudah mengusulkan untuk menaikkan harga BBM. Sejatinya, itu bukan untuk kepentingan rakyat. Bukankah rakyat yang paling dirugikan oleh kenaikan harga BBM? Kenaikan harga BBM tidak lain demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing yang sudah tidak sabar ingin menguasai sektor hilir migas di negeri ini setelah sebelumnya mereka sukses menguasai sektor hulu migas dengan menguasai sekitar 90%-nya.

Alhasil, saatnya bangsa ini melek! Persoalan bangsa ini tak melulu berasal dari pemimpinnya yang bermasalah, tetapi juga bersumber dari sistemnya yang bermasalah. Bukan hanya pemimpinnya yang harus berganti, sistemnya juga harus diganti: dari sistem sekular ke sistem Islam; dari sistem politik demokrasi ke sistem Khilafah; dari sistem ekonomi kapitalisme-liberal ke sistem ekonomi syariah; dari sistem hukum dan peradilan sekular ke sistem khum dan peradilan Islam; dst.

Semua itu hanya mungkin terwujud dengan keterlibatan seluruh komponen bangsa ini—khususnya para ulama dan para pemimpin umat—untuk bersama-sama berjuang menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah sebagai wujud ketakwaan kepada Allah SWT. Hanya dengan penerapan syariah secara kaffah dalam isntitusi Khilafah Allah SWT akan menurunkan keberkahannya dari langit dan bumi kepada negeri ini. WalLahu a’lam. [Idin Syamsuddin; Pengusaha Muda, Alumni El-Rahma, Bogor]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*