Kita yang hidup pada masa ini tidak pernah mengalami hidup di dalam Daulah Khilafah. Mayoritas nenek moyang kita yang pernah hidup pada masa Khilafah pun tak pernah melihat masa transisi pasca Daulah ditegakkan secara revolusioner di atas ruang yang ditinggalkan oleh sistem kufur. Masa transisi ini hanya terjadi sekali, yakni pada masa Rasulullah saw. masih hidup, walaupun dalam skala ruang dan kompleksitas yang jauh berbeda dengan sekarang. Transisi dalam tingkat yang lebih rendah juga terjadi saat beberapa negeri kemudian mengalami futuhat oleh Khilafah.
Kini kita dihadapkan pada situasi zaman modern yang jauh lebih kompleks, apalagi tanpa didampingi oleh Rasulullah saw.! Meskipun teknologi hanyalah alat-alat, suka tidak suka, banyak persoalan yang menimbulkan pertanyaan hukum yang muncul karena keberadaan teknologi itu, semisal teknologi informasi dan komunikasi, teknologi kedokteran, hingga teknologi nuklir dan ruang angkasa. Oleh karena itu, tentu hal ini merupakan tantangan baru yang harus dihadapi dan dipecahkan oleh para mujtahid yang wajib ada dalam jumlah yang mencukupi. Dengan itu Khilafah bisa tegar menghadapi ragam guncangan transisi yang pasti akan melanda pasca penegakkannya.
Transisi Politik Dalam Negeri
Hal pertama yang paling menantang setelah Khilafah ditegakkan adalah kesatuan umat. Yang paling berbahaya bukanlah serangan militer dari luar, tetapi perpecahan di dalam. Umat Islam hidup sekian lama di dalam sistem sekular. Mereka terpecah-belah dalam sekian banyak mazhab, ormas, partai dan negeri. Mereka hanya “disatukan” karena paksaan tatanan sekular yang diwariskan penjajah.
Namun, saat Khilafah berdiri, Khalifah memiliki otoritas untuk men-tabbani (adopsi) satu pendapat syar’i saja dan wajib ditaati oleh semua tanpa sekat-sekat mazhab, ormas, partai ataupun negeri.
Politik Dalam Negeri juga mengatur tentang aparat Daulah. Sehari-hari mereka akan melayani urusan administrasi dan kepemerintahan hingga sampai ke desa-desa. Di Indonesia ada lebih dari 70.000 desa. Di semua desa-desa itu tentu harus ada “amil” yang akan melayani umat di garda paling depan. Mereka bukanlah amil yang hanya mengurus zakat, kurban atau jenazah warga yang wafat, tetapi semua hal: kecukupan pangan, air, energi, pendidikan dan kesehatan; juga berjalannya roda sektor produksi seperti pertanian dan industri hingga berfungsinya pasar. Mereka jugalah yang akan “blusukan” untuk mengetahui masalah umat sejak di akar rumput agar tidak menjadi penyakit kronis yang mengganggu stabilitas Daulah.
Politik Dalam Negeri juga mengatur masalah penegakan hukum dan keamanan. Jika di tiap desa dibutuhkan 10 orang aparat negara, setidaknya akan ada 700.000 aparat negara Khilafah. Di antara mereka ada yang berfungsi sebagai polisi, jaksa dan hakim (yang nanti boleh saja ada hingga level desa), yang semua harus diubah cara berpikirnya, dari berpikir sekular menjadi berpikir syar’i; dari berpikir unital/sektoral menjadi berpikir global; dari sekedar menjalankan tugas menjadi kontributor untuk umat terbaik yang dihadirkan Allah di tengah umat manusia untuk merahmati seluruh alam. Mereka yang tidak bisa lagi berubah, dengan terpaksa, diganti; bila perlu dijatuhi sanksi.
Lebih dari itu, ribuan aturan di level detil yang harus diubah sebelum ditegakkan, agar tidak terjadi kezaliman baru. Beberapa aturan yang bersifat teknis administratif (seperti e-KTP) mungkin hanya perlu dilengkapi (dengan nasab dan NIK-nya), atau disederhanakan (semisal kolom agama dijadikan tiga yaitu: “Islam”, “Ahli Kitab”, dan “Lain-lain”). Namun, banyak juga aturan yang harus dibuat lebih jelas berdasarkan syariah semisal 10 macam pidana terkait miras, atau 4 macam pidana terkait riba, yang hukumannya adalah ta’zir yang bervariasi dan diserahkan pada ijtihad yang di-tabbani oleh Khalifah, hingga “delik modern”, semisal penggandaan software yang bukan miliknya atau terbang tanpa izin, yang semua ini adalah mukhalafah yang sanksinya ditetapkan oleh Khalifah.
Transisi Politik Ekonomi
Berjalannya ekonomi adalah kata kunci yang akan menjamin seberapa lama Khilafah akan tegak berdiri. Kalau setelah proklamasi, lalu roda ekonomi terhenti, tentu Khilafah bisa runtuh dan akan jauh lebih sulit untuk ditegakkan kembali.
Roda ekonomi bisa berjalan kalau sektor produksi dan distribusi bisa berjalan, rakyat bisa memenuhi kebutuhannya, dan negara tinggal menjalankan peranannya memenuhi kebutuhan rakyat yang belum bisa dilakukan dengan mekanisme ekonomi.
Kata kunci pertama yang dilakukan dalam politik ekonomi adalah rekonstruksi total bentuk APBN. APBN mencakup politik anggaran belanja negara dan politik anggaran pendapatan. Akan cukup banyak perubahan dalam bentuk APBN, yang akan mewajibkan reorientasi dan diklat ulang seluruh aparat negara yang terkait keuangan (yang saat ini mengurus perpajakan, bea-cukai, anggaran hingga pengelolaan barang milik negara). Mereka ini se-Indonesia jumlahnya lebih dari 100.000 orang!
Kata kunci kedua adalah rekonstruksi sistem keuangan. Sistem perbankan ribawi yang telah berurat berakar, karena dianggap mudah dan praktis, harus dirombak total, karena riba diharamkan. Namun, peran perbankan sebagai inter-mediator bagi para pemilik harta yang ingin sedikit hartanya tetap memberikan manfaat, dan para pengusaha yang membutuhkan modal besar, tetap harus dicarikan solusi-solusi syar’i-nya; seperti mudharabah, musyarakah, istisna’, dsb. Semua ini juga berlanjut ke sistem pembukuan dan teknologi akuntansinya. Demikian juga ketika skema akad asuransi ternyata tidak syar’i, tentu perlu ada solusi agar tetap ada manajemen risiko sehingga mereka yang melakukan usaha dapat melakukan kalkulasi lebih baik.
Kata kunci ketiga adalah rekonstruksi akad-akad di sektor produksi. Jenis akad pertama yang saat ini sangat mendominasi adalah akad pembentukan badan usaha (PT, CV, Koperasi, dsb) yang harus dirumuskan ulang secara syariah. Keberadaan akad ini akan berpengaruh pada keberadaan pasar modal, yang berarti harus dicarikan pula format syariahnya. Akad kedua adalah akad penguasaan pada tanah, baik tanah pertanian, hak penguasaan hutan maupun hak konsesi pertambangan. Sangat banyak orang yang menyewa tanah pertanian, baik akhirnya menguntungkan maupun merugi. Ada juga tanah perkebunan yang haknya diberikan kepada pihak swasta untuk 99 tahun. Demikian juga hak penguasaan hutan dan konsesi pertambangan yang bisa puluhan tahun. Semuanya harus ditata ulang.
Kata kunci keempat adalah mata uang. Mata uang yang ditetapkan oleh Khilafah adalah mata uang berbasis dinar (emas) dan dirham (perak). Pertanyaannya, apakah bila semua pemegang uang sekarang ingin menukarkan uang kertasnya ke dinar/dirham, sudah tersedia cukup dinar/dirham? Kalau tidak cukup, dan tidak ada mekanisme konversi yang memuaskan, yang akan terjadi adalah capital flight. Cadangan devisa (dalam valuta asing dansurat berharga asing) akan menyusut dalam sekejap karena banyak yang lari ke luar negeri. Akibatnya, nilai tukar akan anjlog lagi.
Tanpa mata uang dunia yang konvertibel, perdagangan internasional (eksport/impor) akan kacau. Kebutuhan masyarakat yang selama ini lebih berat impor barang konsumsi dan ekspor barang mentah akan terganggu. Rakyat akan marah kalau tiba-tiba barang impor harganya meroket.
Sebenarnya ketangguhan mata uang emas sangat bergantung pada seberapa besar sebuah negeri bergantung pada produk dari luar. Karena itu pemberlakuan dinar/dirham mungkin perlu bertahap sampai telah dibuat sistem moneter yang sama praktisnya dengan sekarang, namun setangguh yang di-backup dinar emas/perak.
Kebijakan Pendidikan Sains dan Teknologi
Penguasaan sains dan teknologi memang bukan syarat tegaknya sebuah negara. Namun, seberapa lama negara itu bisa bertahan jika terdapat gangguan dari luar, baik berupa embargo maupun serangan militer, salah satunya bergantung pada penguasaan terhadap sins dan teknologi. Sains dan teknologi juga kata kunci jika Khilafah bersiap-siap untuk menggunakan jihad sebagai salah satu metode dakwah yang efektif ke luar negeri.
Saat ini berbagai teknologi vital masih bergantung pada asing. Yang paling terasa adalah teknologi pangan (banyak bibit unggul yang harus didatangkan dari luar hingga bahan mentah yang terus diimpor), teknologi energi (misal: mesin-mesin untuk mengebor dan mengolah minyak atau mineral masih didatangkan dari luar), teknologi kesehatan (alat-alat kedokteran canggih dan obat-obatan), teknologi transportasi (nyaris semua kendaraan darat, air dan udara masih bergantung pada asing), teknologi telekomunikasi (satelit mungkin mampu kita beli, tetapi sepenuhnya masih buatan asing) hingga teknologi militer (senjata berat dan canggih). Kalau kita tidak secepat mungkin melakukan alih teknologi ini, Khilafah akan sangat rapuh terhadap embargo, atau setidaknya memiliki nilai tawar politik dan ekonomi yang rendah. Bisa kita bayangkan jika produsen satelit di Amerika Serikat mengambil-alih kendali satelit kita di orbit (ini hanya soal sinyal dan password), maka komunikasi di Negara Khilafah akan amat terganggu.
Yang mesti harus segera berubah juga dunia pendidikan, baik dari segi pendanaan maupun kurikulum. Sekitar enam juta guru yang saat ini ada, semua harus diberi penataran tentang syariah Islam dan kewajiban dakwah dan jihad.
Kebijakan Militer
Kebijakan militer Khilafah yang pro-aktif untuk menopang dakwah tentu harus ditopang juga oleh kesiapan ekonomi negara dan kesiapan personel militer beserta alutsistanya. Yang harus segera mendapat reorientasi adalah seluruh komandan tentara, bahwa mereka kini adalah mujahid Islam dan yang akan menjadi tugas mereka adalah jihad fii sabilillah. Adapun keahlian militer mereka selama ini tetap dapat digunakan.
Tentu pada saat awal, Khilafah tidak terburu-buru melakukan tindakan militer ke negara lain. Langkah-langkah dakwah dan diplomasi akan diprioritaskan, sambil memperkuat kesiapan personel militer, alutsistanya dan kekuatan ekonomi di belakangnya.
Politik Luar Negeri
Sejak akhir Perang Dunia II, yang diikuti oleh Perang Dingin, dunia digerakkan oleh arus inter-dependensi. Selain negara-negara adikuasa pemegang hak veto di PBB (Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis dan Cina), semua diharapkan menjadi negara “baik-baik”, yang saling tergantung satu sama lain. Tidak boleh ada di antara mereka yang benar-benar mandiri. Bahkan negara maju seperti Jepang dan Jerman saja dikunci secara konstitusi oleh para pemenang Perang Dunia II. Akibatnya, setiap ada persoalan internasional, pemain utama tetap lima negara pemegang veto itu.
Maka dari itu, semua kewajiban Indonesia dalam mengikuti agenda suatu organisasi internasional harus ditinjau ulang dalam perspektif syariah dan Khilafah. Organisasi internasional yang telah jelas dalam sejarahnya hanya dibuat untuk menghalangi bersatunya Dunia Islam harus dengan tegas dijauhi. Jadi kemungkinan besar nanti Khilafah akan keluar dari PBB.
Kebijakan Terhadap Minoritas
Terhadap kelompok minoritas Khilafah harus segera membuat semacam aturan main mirip Piagam Madinah, yang harus disepakati oleh para pimpinan kelompok minoritas itu. Kelompok minoritas ini harus tetap diijinkan beribadah di tempat-tempat suci mereka, atau memakan makanan yang halal bagi mereka (sekalipun haram bagi umat Islam). Namun, dalam kehidupan publik, mereka juga termasuk yang terkena hukum-hukum syariah yang telah diumumkan.
Pelajaran dari Iran
Pada tahun 1979 Iran melakukan revolusi. Sejak itu Iran memiliki pemimpin tertinggi yang ingin menerapkan aturan-aturan Islam walaupun dari mazhab Syiah Ja’fariyah.
Hal terawal yang dilakukan Iran saat itu adalah mengganti sejumlah UU yang dianggap paling strategis, semisal UU perbankan, yang kemudian langsung disusul oleh sosialisasi di lapangan dan sekolah-sekolah.
Setelah bunga bank dilarang, terjadilah transisi besar-besaran di dunia perbankan Iran: semua kini menggunakan akad-akad yang syar’i. Karena masalah ini pula, bank-bank internasional juga “balik nama”.
“Gempa susulan” kebijakan di Iran tersebut menyeret dunia perhotelan. Hotel-hotel di Iran jadi sepi pengunjung asing karena tak ada kartu kredit yang bisa beroperasi tanpa riba. Akibatnya, bisnis di sektor pariwisata terguncang hebat. Dalam kondisi tersebut, Amerika mengajak dunia mengembargo Iran. Namun, menurut Ahmadinejad (mantan Presiden Iran), embargo tersebut justru jadi berkah bagi Iran, karena kemudian para ilmuwan ini rajin membuat sendiri teknologi yang akan dimiliki, bahkan termasuk teknologi nuklir dan roket (space-launcher) ke ruang angkasa.
Khatimah
Apa saja yang harus disiapkan agar transisi Indonesia menjadi Khilafah memang masih sangat banyak. Karena itu para pejuang Khilafah harus makin serius, fokus dan sabar dalam memantaskan diri agar Khilafah nanti benar-benar bisa tegak dan kembali menjadi mercusuar peradaban dunia. [Prof. Dr. Fahmi Amhar]