إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang khalifah, bunuhlah yang terakhir dari keduanya
(HR Muslim, Ahmad dan Abu ‘Awanah).
Makna hadis ini menjelaskan tidak boleh adanya dua orang khalifah. Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, “Hadis ini dibawa pengertiannya: jika tidak tercegah kecuali dengan membunuhnya. Di sini tidak boleh diakadkan baiat untuk dua orang khalifah. Telah dijelaskan adanya ijmak tentangnya.”
Ibn al-Jawzi di dalam Kasyf al-Musykal ‘an Hadits Shahihayn menjelaskan, “Jika telah tetap perkara khalifah dan terakadkan ijmak atas dia, lalu dibaiat yang lain dengan suatu jenis penakwilan, maka ia membangkang dan para pendukungnya adalah bughat; mereka diperangi dengan perang terhadap bughat. Sabda Nabi saw. “maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya,” maksudnya bukan dikedepankan lalu membunuhnya, tetapi maksudnya: perangilah dia dan jika perkaranya mengantarkan sampai membunuhnya maka boleh.”
Imam as-Suyuthi dalam Ad-Dibâj ‘alâ Muslim menjelaskan, “Ini juga merupakan perintah untuk memeranginya meski mengantarkan pada pembunuhannya.”
Hadis ini menegaskan wajibnya kesatuan Khilafah dan haram berbilangnya Daulah Islamiyah di seluruh dunia. Di dalam Mawsû’ah Fiqhiyah al-Kuwaytiyah pada pembahasan, “Ta’adud ad-Dawlah al-Islâmiyah” dinyatakan bahwa jumhur fukaha berpendapat bahwa tidak boleh ada dua orang imam (khalifah) di seluruh dunia pada satu waktu; tidak boleh ada kecuali hanya seorang imam/khalifah. Dalilnya adalah sabda Rasul di atas. Selain itu, berbilangnya Daulah Islamiyah menyebabkan perselisihan dan perpecahan.
Ketentuan ini ditegaskan oleh banyak hadis dan Ijmak Sahabat. Rasulullah saw. bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ الله سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dulu Bani Israel dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja; berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn Majah).
Imam an-Nawawi menjelaskan, “Makna hadis ini, jika dibaiat seseorang sebagai khalifah padahal sebelumnya khalifah telah dibaiat maka baiat pertama adalah sah, wajib dipenuhi; sedangkan baiat kedua adalah batil, haram dipenuhi. Ia (yang dibaiat kedua) haram menuntuta, baik mereka yang mengakadkan kepada yang kedua itu mengetahui akad baiat yang pertama ataupun tidak; baik itu di dua atau satu negeri, atau yang satu di negeri imam yang terpisah dan yang lain di negeri lainnya. Inilah yang benar yang menjadi pendapat ashhab kami dan jumhur ulama…Para ulama sepakat bahwa tidak boleh diakadkan untuk dua khalifah pada satu masa baik Dâr al-Islam itu luas atau tidak.
Rasul saw. juga bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
Siapa saja yang datang kepada kalian, sementara urusan kalian telah terhimpun pada seorang laki-laki, orang yang datang itu hendak mematahkan tongkat kalian atau memecah-belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia (HR Muslim).
Rasul saw. pun bersabda:
مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَة يَمِينِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ اْلآخَرِ
Siapa saja yang membaiat imam (khalifah), lalu ia memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya semampu dia. Jika datang orang lain merebutnya maka penggallah tengkuk orang lain itu (HR Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).
Imam an-Nawawi menjelaskan, “Maknanya, tolaklah yang kedua, sebab ia telah keluar menentang imam/khalifah. Jika tidak bisa ditolak kecuali dengan perang maka perangi dia. Jika perang itu menuntut untuk membunuh dia maka boleh membunuh dia dan tidak ada tanggungan di dalamnya. Sebab, ia zalim dan melampaui batas di dalam perangnya.”
Imam al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra meriwayatkan, Abu Bakar ash-Shidiq pernah berkhutbah, “Sesungguhnya tidak halal untuk kaum Muslim ada dua orang amir. Jika itu terjadi maka urusan dan hukum mereka akan berbeda-beda; jamaah mereka tercerai berai dan terjadi perselisihan diantara mereka. Di situ berarti sunnah ditinggalkan serta muncul bid’ah dan fitnah menjadi besar; tidak ada kebaikan bagi seorang pun dalam hal itu.”
Hukum yang disampaikan oleh Abu Bakar ini didengar oleh para Sahabat; tidak ada yang mengingkari. Dengan demikian, itu menjadi Ijmak Sahabat bahwa haram adanya dua orang khalifah/imam.
Nash-nash di atas menjelaskan bahwa siapa saja yang merebut Khilafah dari khalifah yang sah maka dia harus ditolak dan dihalangi meski dengan perang dan membunuhnya. Mafhum nash ini melarang disintegrasi Daulah Islam serta dorongan untuk tidak mentoleransi pemisahannya dan menghalangi pemisahan darinya meski harus dengan perang.
Nash di atas juga menjelaskan bahwa ketika tidak ada khalifah dan diberikan baiat kepada dua orang maka bunuhlah yang lebih akhir dari orang yang dibaiat secara sah sesuai ketentuan syariah. Mafhum nash tersebut adalah larangan pemecahan dawlah. Ini berarti haramnya Daulah Islam untuk seluruh kaum Muslim menjadi banyak negara. Yang wajib adalah menjadi satu negara saja.
Semua itu menegaskan bahwa sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah, adalah sistem kesatuan. Sistem yang lain—baik federasi, konfederasi, persemakmuran—adalah haram.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]