Migas merupakan salah satu sektor yang memiliki nilai ekonomi yang sangat besar baik dari sisi produksi, perdagangan, pengolahan hingga distribusi ke konsumen. Pendapatan di sektor hulu saja, mengacu pada data SKK Migas 2013, mencapai US$ 76,6 miliar atau Rp 766 triliun pada 2013 dengan kurs Rp 10,000 per US$. Angka tersebut terdiri dari: bagian Pemerintah 31,3 miliar; bagian kontraktor sebesar US$ 25,3, yang terdiri dari pendapatan sebesar US$ 9,3 miliar dan biaya pengganti produksi (cost recovery) sebesar US$ 16 miliar.
Pada tahun 2013 menurut SKK Migas, wilayah kontrak migas di Indonesia sebanyak 308. Dari jumlah tersebut, 70 sedang dalam proses produksi dan 161 dalam proses eksplorasi. Dari jumlah tersebut, produksi migas didominasi oleh perusahaan swasta termasuk asing. Pertamina yang merupakan BUMN, pada tahun 2012 hanya memproduksi sekitar 15 persen minyak bumi dan 18 persen untuk gas bumi. Angka tersebut termasuk kerjasama yang dilakukan dengan pihak swasta.
Minimnya peran Pertamina tersebut merupakan buah dari kebijakan liberalisasi di sektor migas yang sejak lama diberlakukan di negara ini. Peraturan Pemerintah tentang Penanaman Modal No. 36 Tahun 2010, misalnya, mengizinkan investor asing untuk masuk ke pertambangan migas hingga 95 persen. Bahkan UU Migas, yang telah beberapa kali diuji materil di Mahkamah Konstitusi (MK), tetap melegitimasi liberasi di sektor ini. Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan liberalisasi tersebut memang dianggap sesuai dengan konstitusi yang berlaku di negeri ini.
Praktik ‘Mafia’
Dalam proses investasi dan pengelolaan migas, negara ini menganut sistem Production Sharing Contract (PSC). Perusahaan dari manapun yang memenuhi syarat dipersilakan mengikuti tender SKK Migas untuk mendapatkan ladang migas baru ataupun yang telah berakhir masa kontraknya. Pertamina yang nota bene merupakan BUMN sekalipun harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan swasta.
Pada proses tersebut, praktik-praktik kotor berpeluang terjadi antara peserta dengan pejabat yang berkepentingan baik dari internal SKK Migas, Kementerian ESDM dan pihak Legislatif. Pasalnya, tidak sedikit pejabat baik Eksekutif maupun Legislatif, yang memiliki saham di perusahaan migas atau setidaknya berkongsi dengan para pemiliknya. Kasus yang disangkakan kepada Anggota DPR, Sutan Batoegana, adalah contohnya.
Perusahaan pemenang tender, yang disebut Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS), kemudian melakukan proses pengadaan barang dan jasa dalam rangka pelaksanaan eksplorasi. Seluruh biaya tersebut, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Pemerintah, kelak akan ditanggung oleh negara jika perusahan tersebut berhasil memproduksi migas. Biaya inilah yang dikenal dengan biaya pengganti (cost recovery). Pada titik ini, peluang terjadinya penggelembungan (mark-up) oleh produsen sangat dimungkinkan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah banyak menemukan hal ini yang nilainya triliunan rupiah. Pada periode 2009-2013, misalnya, dari 38 KKKS yang diperiksa, ditemukan mark-up sekitar Rp 6 triliun. Padahal laporan-laporan BPK tersebut hanya bersifat uji petik dari seluruh KKKS yang sedang beroperasi. Sayangnya, sebagaimana laporan-laporan BPK yang lain, banyak yang tidak ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
Celah lainnya adalah pada penjualan jatah milik Pemerintah (government entitlement). Setelah KKKS memproduksi migas, produksi tersebut dibagi sesuai dengan prosentase yang ditetapkan di dalam kontrak. Bagian yang menjadi jatah Pemerintah selanjutnya dijual kepada Pertamina atau diekspor ke negara lain. Dalam proses ini, peluang terjadinya kongkalikong antara pejabat dan pengusaha dimungkinkan terjadi sebagaimana yang membelit mantan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini. Ia terbukti menerima suap dari PT Kernel Oil Singapura dan Fossus Energy.
Di sisi lain, karena produksi minyak mentah yang diperoleh Pertamina dari dalam negeri tidak mencukupi baik dari sisi volume dan jenisnya untuk diolah dalam kilangnya, maka Pertamina melakukan impor minyak mentah. Pertamina juga melakukan impor produk BBM akibat keterbatasan kapasitas kilang Pertamina. Petral, yang merupakan anak perusahaan Pertamina, bertugas untuk melakukan pengadaan tersebut. Sepak terjang Petral inilah yang sering dituding banyak melakukan transaksi yang merugikan negara. Namun, jika mencermati temuan BPK, potensi kerugian Pertamina sangat besar dan bukan hanya berasal dari Petral. Sebagai contoh, pada tahun 2007, 66 persen pengadaan minyak Pertamina, dilakukan melalui penunjukan langsung, dan sisanya melalui tender. Dari sekian banyak temuan kerugian, salah satunya adalah Pertamina merugi US$ 6 juta karena melakukan penunjukan langsung kepada beberapa perusahaan seperti Petral, PPT dan Kipco untuk membeli 36 juta barel bensin (gasoline RON 88).
Kelola Sesuai Syariah
Melihat praktik pengelolaan migas di negara ini, sebenarnya negara tidak hanya dirugikan oleh keberadaan praktik-praktik ‘kotor’ seperti suap dan mark-up dalam pengelolaan migas, namun juga peraturan yang memberikan hak kelola kepada perusahaan swasta termasuk pihak asing. Dana yang mengalir ke kontraktor nilainya sangat besar. Angka tersebut tentu belum ditambah dengan ‘kebocoran’ yang dimanipulasi sedemikian rupa.
Praktik kotor oleh pelaku-pelaku kriminal di sektor migas, yang kerap diistilahkan dengan mafia, sesungguhnya tidaklah sulit untuk dilacak dan dihentikan. Berbagai laporan baik yang berasal dari BPK maupun yang berasl dari publik, sebenarnya sudah diungkap kepada penegak hukum. Namun, semua itu tidak ditindaklanjuti secara serius. Lebih dari itu, sanksi bagi mereka yang terbukti bersalah di pengadilan belum memberikan efek jera bagi pelaku dan efek yang membuat ciut nyali manusia.
Walhasil, tidak hanya praktek mafia migas yang harus diberantas, namun juga penguasaan kekayaan publik kepada pihak swasta termasuk asing harus dihentikan. Dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah Islam, yang merupakan kewajiban umat Islam, maka masalah tersebut akan diselesaikan. Islam misalnya, mewajibkan pengelolaan sumberdaya alam oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing. Belum lagi, sistem peradilan Islam juga akan memberikan sanksi yang tegas, bahkan hingga hukuman mati, kepada pihak-pihak yang terbukti melanggar ketentuan syariah termasuk di dalamnya orang-orang yang terbukti mengambil harta dengan cara yang zalim. [Arim Nasim/Muhammad Ishaq Lajnah Mashlahiyah DPP HTI]