Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi baru saja diterbitkan. PP yang merupakan amanat dari UU No 36/2009 tentang Kesehatan ini mengatur juga soal aborsi (ada 9 pasal) selain mengatur masalah kesehatan ibu (23 pasal).
Meski pasal yang mengatur masalah aborsi jauh lebih sedikit dibandingkan lainnya, aturan seputar pengguguran kandungan itu pun layak dikritisi. Pasal tersebut mengatur tentang kebolehan melakukan aborsi pada 2 kondisi: kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan. Konon, aturan ini sangat penting untuk menjamin perempuan mendapat layanan kesehatan yang baik dan mencegah dari kehamilan tak diinginkan.
Di dalamnya terdapat pula ketentuan (pasal 31) bahwa aborsi hanya dapat dilakukan pada usia kehamilan maksimal 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Penetapan masa ini merujuk pada pada Fatwa MUI No. 4/2005 tentang Aborsi.
Menurut Nafsiah Mboi, keberadaan PP ini sangat penting. Pasalnya, perempuan korban pemerkosaan umumnya harus menanggung beban ekonomi dan psikologis sekaligus. Ia harus menghidupi anak yang dilahirkan dan konsekuensi sebagai korban kekerasan seksual yang sering mendapatkan cercaan masyarakat.
Menteri Pemberdayaan Perempuan Linda Gumelar mendukung PP ini dengan alasan bahwa perempuan korban pemerkosaan umumnya memiliki traumanya cukup panjang, masih di bawah umur dan tidak siap untuk punya anak. Kondisi tersebut akan tertangani dengan penerapan PP ini.
Menteri Hukum dan HAM pun memberikan pembelaan yang sama. Korban pemerkosaan perlu dilindungi Pemerintah. Adapun janin yang dikandung seorang korban pemerkosaan bukan atas keinginannya. Karena itu wajar jika negara harus memfasilitasi layanan bagi kaum perempuan yang tidak menghendaki anak dan terkena trauma tersebut.
Beberapa pihak ternyata menolak PP ini. Di antaranya datang dari Kapolri, beberapa pihak di KPAI, hingga Ketua IDI. Umumnya mereka beralasan bahwa PP ini bisa disalahgunakan hingga bisa menumbuhsuburkan pergaulan bebas dan bertentangan dengan KUHP tentang Kejahatan Terhadap Nyawa serta melanggar sumpah dokter dan Kode Etik Kedokteran.
Keluarnya PP no 61/2014 ini tentu layak mendapat kritik karena bertentangan dengan Islam.
Legalisasi Pergaulan Bebas
Indonesia saat ini menjadi surga pornografi. Associated Press (AP) menempatkan Indonesia sebagai surga pornografi kedua setelah Rusia (tahun 2011). Dampak paling kentara dari kondisi tersebut adalah maraknya pergaulan bebas dan tingginya angka aborsi.
Pada sebuah seminar yang dilakukan BKKBN dan Pusat Unggulan Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi (PU-ATKIB), Universitas Indonesia pada 9 Agustus 2014, Direktur PU-ATKIB, Prof. Biran Affandi SpOG (K), FAMM menyajikan data sekitar 2,1-2,4 juta perempuan setiap tahun diperkirakan melakukan aborsi, 30 persen di antaranya remaja. Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, dr. Julianto Witjaksono SpOG, KFER, MGO juga mengungkapkan sebuah realitas yang cukup mengejutkan. Sekitar 46 persen remaja berusia 15-19 tahun belum menikah sudah berhubungan seksual. Realitas itu dikuatkan oleh penilaian Ketua PB GRI Dr. Sulistyo MPd yang mengatakan, “Usia aktivitas seksual remaja makin menurun dari SMA ke SMP. Anak usia SD di beberapa daerah juga mulai ada tanda-tanda aktivitas seks.” Bahkan dari data Riskesdas 2010 disebutkan, 0,5 persen perempuan dan 0,1 persen laki-laki pertama kali berhubungan seksual pada usia 8 tahun! (BKKBN, 9/8/2014).
Hadirnya PP No. 61/2014 yang memfasilitasi aborsi bagi korban pemerkosaan dapat memperparah kondisi tersebut. Lagi-lagi, Pemerintah terjebak pada tindakan kuratif, bukan preventif apalagi komprehensif, untuk menangani maraknya aborsi, pergaulan bebas dan kehamilan tak diinginkan. Dengan PP ini, di satu sisi perempuan korban pemerkosaan mungkin sedikit tertolong. Namun, bagaimana dengan perempuan lain. Apakah keamanan mereka dipastikan terjaga, sementara pelaku pemerkosaan berkeliaran di mana-mana tak pernah mendapat penanganan apapun. Bahkan pelaku pemerkosaan akan merasa mendapat jalan keluar, karena toh korban dapat direhabilitasi melalui aborsi legal tersebut.
Ini semua menunjukkan letak kegagalan negara dalam melindungi warga negaranya, khususnya perempuan. Kebijakan legalisasi aborsi bagi korban pemerkosaan tanpa menyertakan peraturan yang jelas untuk mencegah tindakan pemerkosaan itu sendiri bak kebijakan ompong; tak bisa melindungi perempuan dan generasi. Alih-alih dapat menyelamatkan perempuan, perempuan justru semakin terancam.
Peraturan ini pun rawan disalahgunakan oleh para pasangan pelaku pergaulan bebas. Sang perempuan bisa saja mengaku diperkosa agar ia bisa menggugurkan kandungannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa hadirnya PP ini akan semakin memuluskan pergaulan bebas, yang ujung-ujungnya akan merusak generasi. Mereka menjadi lebih senang hidup tanpa ikatan pernikahan, karena kalau pun hamil jalan untuk menyelesaikan semua itu teramat mudah. Bisa terbayangkan, bagaimana rusaknya masyarakat jika pergaulan bebas menjadi hal yang biasa.
Liberalisasi Hak Reproduksi
Nuansa liberalisme dari PP ini juga tampak dari beberapa pasal lainnya. Di antaranya adalah Pasal 26 yang menyebutkan bahwa setiap perempuan berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi; tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.
Benarlah, bahwa salah satu esensi dari PP ini adalah komitmen Pemerintah untuk memberikan perangkat hukum terhadap kesehatan reproduksi, termasuk berkaitan dengan hak (kebebasan) perempuan untuk menentukan kehamilan yang terjadi dirinya. Semangat ini pula yang mendasari legalisasi aborsi, karena perempuan pada kondisi kedaruratan medis atau korban pemerkosaan tetap memiliki hak untuk tidak melanjutkan kehamilan sehingga layak difasilitasi.
‘Baju syariah’ pun sempat dikenakan untuk menutup kesan liberal peraturan ini. Rujukan pada fatwa MUI tentu tidak lantas membuat produk hukum Pemerintah tersebut bisa dikatakan Islami. Pasalnya, persoalannya bukan semata-mata dilihat dari kaca mata fikih tentang kapan bolehnya janin digugurkan, atau semata-mata bertujuan menolong perempuan korban pemerkosaan. Namun, juga harus dipertimbangkan landasan, jiwa, tujuan hingga dampaknya bagi umat maupun Islam itu sendiri. Kenyataannya, saat aborsi tidak dilegalkan saja pergaulan bebas sudah marak dan hukum syariah pun diabaikan, apalagi jika dilegalkan.
Sungguh, yang terjadi adalah mencatut hukum Islam untuk memuluskan agenda liberalisasi. Tentu saja, ini adalah kekejian terhadap hukum Islam dan upaya pembodohan umat.
Sejatinya, semua kebijakan yang hanya melanggengkan eksistensi liberalisme tertolak oleh Islam. Sebab, liberalisme menjauhkan umat dari keterikatan kepada hukum Allah SWT. Padahal Allah SWT memerintahkan setiap Muslim untuk terikat pada hukum-hukum-Nya (QS al-Hasyr [59]: 7; QS al Ahzab [33]: 36). Islam juga melarang pergaulan bebas (zina) (QS al-Isra [17]: 32).
Dengan demikian, nyatalah kelemahan peraturan Pemerintah ini karena bertentangan dengan hukum-hukum Islam.
Khilafah Melindungi Perempuan
Islam telah mengatur masalah kehamilan dan hal-hal yang berkaitan dengan pengguguran janin secara rinci. Para ulama telah menggali persoalan ini dan menuangkannya dalam beberapa jenis hukum fikih. Khiafah Islam pada masanya senantiasa mengembalikan persoalan ini pada hukum syariah, bukan pada pertimbangan kemanfaatan apapun. Kaum perempuan pun tidak pernah didorong untuk mudah menggugurkan kandungannya.
Pelaksanaan syariah Islam secara kaffah menjamin minimalnya kasus kehamilan tak diinginkan, baik akibat tindak pemerkosaan ataupun karena pergaulan bebas. Hukum seputar pergaulan ditegakkan seperti: memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram(infishol), mengharamkan khalwat, memerintahkan untuk menahan pandangan (ghadhul-bashar), menjaga batas-batas aurat laki-laki dan perempuan hingga anjuran untuk menikah.
Khilafah Islam juga akan memberlakukan sanksi-sanksi syariah (al-‘uqubat) yang tegas sebagai upaya kuratif dan preventif terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran syariah, baik sanksi itu berupa hudud, jinayat, mukhalafat maupun ta’zir. Pelaku perkosaan akan mendapatkan sanksi hukum yang berat. Korbannya akan mendapatkan pemulihan baik fisik maupun psikis sehingga secara mental dia akan siap untuk menjaga kandungannya bahkan merawat anak tersebut. Tidak akan terbesit dalam benaknya untuk menghancurkan kehidupan calon anaknya. Keluarga dan masyarakat juga akan memiliki pandangan yang benar. Mereka akan turut serta memberikan suasana kondusif bagi korban sehingga mampu melewati masa sulitnya tanpa mendapatkan stigma negatif apalagi pengucilan.
Penutup
Walhasil, legalisasi aborsi bukanlah jalan untuk melindungi perempuan dan generasi. Hanya Khilafah yang mampu menjamin hak-hak perempuan dan generasi melalui penerapan syariah secara kaffah.
Semoga keterpurukan ini segera berakhir dengan keikutsertaan kita dalam barisan pejuangnya. Amin. [Noor Afeefa]