Wali (kepala daerah provinsi) dan amil (kepala daerah kabupaten) adalah para penguasa (hukkam) karena wewenangnya adalah wewenang pemerintahan. Karena itu untuk menduduki jabatan wali dan amil perlu ada pengangkatan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon wali dan amil. Siapa yang mengangkat wali dan amil? Apa saja persyaratan yang harus dipenuhi para calon wali dan amil?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Negara Islam pasal 53, yang berbunyi: Wali diangkat oleh Khalifah. Para amil diangkat oleh Khalifah atau wali jika Khalifah memberikan mandat tersebut kepada wali. Syarat bagi seorang wali dan amil sama seperti persyaratan Mu’awin yaitu: laki-laki, merdeka, Muslim, balig, berakal, adil, memiliki kemampuan yang sesuai dengan tugas yang diberikan dan dipilih dari kalangan orang yang bertakwa serta berkepribadian kuat (Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, hlm. 16).
Pengangkatan Wali dan Amil
Wali diangkat oleh Khalifah atau orang yang mewakili Khalifah dalam melaksanakan pengangkatan itu, dalam hal ini adalah Mu’awin Tafwidh. Amil diangkat oleh Khalifah atau wali yang diberi wewenang oleh Khalifah untuk melakukan itu. Hal ini didasarkan pada aktivitas Rasulullah saw. dan para Sahabat sesudah beliau. Rasulullah saw. mengangkat para wali untuk berbagai negeri. Beliau memberi mereka kekuasaan atas seluruh wilayah. Beliau pernah mengangkat Amr bin Hazam untuk menjadi wali di Yaman. Kadang beliau mengangkat dua orang di satu wilayah, kemudian beliau membagi wilayah itu kepada dua orang tersebut. Beliau, misalnya, mengangkat Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-‘Asy‘ari; masing-masing menjadi penguasa di wilayah Yaman. Beliau bersabda kepada keduanya:
يَسِّرا وَلا تُعَسِّرا وَبَشِّرا وَلا تُنَفِّرًا وَتَطَا
Hendaklah kalian berdua mempermudah, jangan mempersulit; membuat senang, jangan membuat takut; dan saling bersepakat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Wali yang boleh mengangkat amil di wilayah kekuasaannya. Hal ini didasarkan bahwa Khalifah, ketika mengangkat wali, boleh membe-ri dia wewenang untuk mengangkat amil (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 191).
Syarat-syarat Wali dan Amil
Berdasarkan Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Negara Islam pasal 53 di atas diketahui, bahwa syarat-syarat seorang wali dan amil sama dengan syarat-syarat seorang Mu‘awin at-Tafwidh. Pasalnya, mereka sama-sama wakil Khalifah dalam menjalankan pemerintahan. Karena itu syarat-syarat seorang wali dan amil sama dengan syarat-syarat seorang Khalifah. Pertama: Wali dan amil harus laki-laki; haram dijabat oleh perempuan. Ini berdasarkan pada hadis dari Abi Bakrah ra. yang berkata, ketika sampai kepada Rasulullah saw. bahwa rakyat Persia menjadikan putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَة
Sekali-kali tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerinta-han) mereka kepada seorang perempuan (HR al-Bukhari).
Hadis ini menunjukkan bahwa syariah melarang secara tegas perempuan menduduki jabatan pemerintahan (kekuasaan). Sekalipun hadis itu datang dalam bentuk khabar (berita), karena disertai dengan celaan, ini merupakan bentuk larangan. Adapun penggunaan huruf lan yang menunjukkan pengertian selamanya (lit ta’bid) ini benar-benar telah menafikan keberuntungan dari mereka yang menjadikan perempuan sebagai penguasa. Dengan demikian ini menjadi qarînah (indikasi) yang menunjukkan larangan secara tegas. Dengan demikian perempuan haram menjadi wali atau amil karena keduanya adalah jabatan pemerintahan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 192; Al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 296).
Kedua: Wali dan qmil harus Muslim; haram dijabat oleh non-Muslim seperti orang Kristen, Yahudi, atau siapa saja yang tidak beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan Hari Akhir. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Dalam hal ini Ibnu Katsir berkata, bahwa ulama telah menjadikan ayat ini sebagai dalil larangan menjual budak Muslim kepada orang kafir (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 2/386). Artinya, haram menjadikan seorang Muslim, sekalipun ia budak, ada di bawah kekuasaan orang kafir. Jika budak Muslim saja dilarang berada di bawah kekuasaan orang kafir, apalagi kaum Muslim yang merdeka, tentu lebih diharamkan.
Penggunaan huruf “lan” yang menunjukkan pengertian selamanya (lit ta’bîd) merupakan qarînah (indikasi) tentang larangan keras orang kafir menjadi penguasa atas kaum Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 192; Ajhizah Dawlah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 22).
Ketiga: Wali dan amil harus seorang yang telah balig, tidak boleh dijabat oleh anak kecil. Semua ulama sepakat tentang larangan anak kecil menjadi penguasa, kecuali kaum Rafidhah yang membolehkan anak kecil menduduki jabatan pemerintahan, bahkan janin yang masih dalam kandungan sekalipun. Pendapat mereka ini tidak benar, sebab anak kecil belum mendapat taklif (beban hukum), sementara seorang penguasa di-taklif (diberi beban hukum) untuk menjalankan agama (Ibnu Hazm, Al-Fashl fi al-Milal, IV/110).
Rasulullah saw. bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتىَّ يَبْلُغَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتىَّ يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَعْتُوْهِ حَتىَّ يَبْرَأَ
Telah diangkat pena (beban hukum) dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia balig; dari orang yang tidur hingga ia bangun; dan dari orang yang kurang akalnya hingga ia waras (HR Abu Dawud).
Siapa saja yang tidak mendapat taklif (beban hukum) secara syar’i tidak sah mengelola urusan. Jika mengelola urusan dirinya saja tidak sah, tentu lebih tidak sah lagi mengurusi urusan orang lain (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 192; Ajhizah Dawlah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 24).
Keempat: Wali dan amil harus orang yang berakal; tak boleh dijabat oleh orang gila. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Telah diangkat pena (beban hukum) dari tiga golongan:” Di antaranya beliau bersabda:
عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتىَّ يَفِيْقَ
“…dari orang yang gila/kurang waras akalnya hingga ia waras (HR Abu Dawud).
Akal merupakan manath at-taklif (tempat pembebanan hukum), bahkan merupakan syarat keabsahan pengaturan urusan. Wali dan amil adalah orang yang akan menjalankan urusan-urusan pemerintahan dan menerapkan kewajiban-kewajiban syariah. Ia tidak boleh dijabat oleh orang gila. Orang gila tidak sah mengatur urusan dirinya, apalagi mengatur urusan orang lain (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 192; Al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 298).
Kelima: Wali dan amil harus orang yang adil, bukan orang fasik. Allah SWT berfirman:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian (QS ath-Thalaq [65]: 2).
Dalam ayat ini Allah SWT mensyaratkan sifat adil bagi seorang saksi agar kesaksiannya bisa diterima. Jika saksi saja disyaratkan harus adil, apalagi kedudukan yang lebih besar dan lebih tinggi dari hanya sekadar saksi, yaitu orang yang menduduki jabatan pemerintahan (kekuasaan), yang akan mengurusi urusan umat Islam. Adil di sini artinya, ia adalah seorang yang menjaga agama, harta dan kehormatan dirinya; tidak melakukan dosa besar; tidak sering melakukan dosa kecil; dan selalu menjaga muru’ah (Al-Baghdadi, Al-Farq bayna al-Firaq, hal. 271). Muru’ah adalah meninggalkan segala bentuk perbuatan yang bisa merusak kewibawaan sekalipun perbuatan itu mubah.
Keenam: Wali dan amil harus orang yang merdeka, bukan budak. Sebab, seorang hamba (budak) adalah milik tuannya. Dengan demikian ia tidak berkuasa mengatur urusannya sendiri. Jika mengatur urusannya sendiri saja tidak kuasa, apalagi mengatur urusan orang lain, bahkan masyarakat luas. Karena itu wali atau amil haruslah orang yang merdeka (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 192; Ajhizah Dawlah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 24; Al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 298).
Ketujuh: Wali dan amil harus orang yang memiliki kemampuan. Kemampuan merupakan keharusan yang dituntut ketika Khalifah memberi kekuasaan kepada para wali atau amil. Dalil terkait hal ini adalah:
- Hadis riwayat Muslim dari jalan Abu Dzar ra. bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa Anda tidak menjadikan aku sebagai amil?” Mendengar itu, lalu beliau menepuk pundakku dengan tangannya. Kemudian beliau bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَالْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ فِيْهَا
Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah, sementara kekuasaan itu amanah. Kekuasaan itu kelak pada Hari Kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang mengambilnya dengan benar (berhak) dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya (HR Muslim).
Hadis ini melarang orang yang tidak berhak, tidak layak dan tidak mampu (lemah) menjalankan kewajibannya untuk menduduki kekuasaan. Hal itu kelak pada Hari Kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi dirinya.
- Hadis riwayat al-Bukhari dari jalur Abu Hurairah ra. bahwa Rasululah saw. bersabda, “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah saat-saat kehancu-ran.” Beliau ditanya, “Bagaimana (bentuk) penyia-nyiaan amanah itu?” Beliau bersabda:
إِذَا وُسِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرُ السَّاعَة
Jika urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak layak) maka tunggulah saat-saat kehancuran (HR al-Bukhari).
Hadis ini melarang dengan tegas menyerahkan suatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak layak), yakni orang yang tidak mampu menjalankan amanah dan kewajibannya. Menyerahkan urusan kepada dia sama artinya dengan menyia-nyiakan amanah. Dengan demikian, penguasa yang di antaranya adalah wali dan amil haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan amanah pemerintahan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 193).
Lebih dari semua itu, wali dan amil haruslah orang yang terbaik dari yang terbaik. Dengan begitu dalam menjalankan amanahnya, ia mampu menciptakan suasana keimanan yang kuat pada rakyat dan kewibawaan pada negara. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah saw. senantiasa berwasiat pada setiap amir (pemimpin) yang beliau angkat agar bertakwa dan berbuat baik kepada semua yang dia pimpin. Dalam konteks ini, wali dan amil masuk di dalamnya. Mereka juga amir (pemimpin) atas wilayahnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 193).
WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan:
Al-Baghdadi, al-Imam Abdul Qahir bin Thahir bin Muhammad, Al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dal al-Kutub al-Ilmiyah), Cetakan IV, 2009.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Daulah al-Khilafah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Ibnu Hazm, Abu Muhammad bin Ahmad azh-Zhahiri, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah), Cetakan II, 1975.
Ibnu Katsir, Abu Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qursyi al-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar Thayyibah), Cetakan II, 1999.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm (Beirut:Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.