(Tafsir QS al-Insyiqaq [84]: 10-15)
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا، وَيَصْلَى سَعِيرًا، إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا، إِنَّهُ ظَنَّ أَنْ لَنْ يَحُورَ، بَلَى إِنَّ رَبَّهُ كَانَ بِهِ بَصِيرًا،
Adapun orang yang kitabnya diberikan dari belakang akan berteriak, “Celakalah aku!” Dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia dulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). Bukan demikian, yang benar sesungguhnya Tuhannya selalu melihat dia (QS al-Insyiqaq [84]: 10-15).
Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang orang yang kitab catatan amalnya diberikan dari sebelah kanannya. Penyerahan kitab catatan amal dari sebelah kanan itu menjadi pertanda baik bagi penerimanya. Mereka akan dihisab dengan ringan lagi mudah. Selanjutnya, mereka akan dimasukkan ke dalam surga, bertemu dengan keluarga yang telah disediakan Allah SWT di dalam surga.
Kemudian dalam ayat-ayat ini diberitakan tentang orang yang menerima kitab catatan amalnya dari belakang. Penyerahan itu menjadi pertanda nasib buruk yang akan menimpa mereka selanjutnya. Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wa ammâ man ûtiya kitâbahu warâ‘a zhahrihi (adapun orang yang kitabnya diberikan dari belakang). Diterangkan Ibnu Abbas, orang tersebut mengeluarkan tangan kanan untuk mengambil kitabnya, tetapi malaikat menarik kitab itu. Ia harus melepaskan tangan kananya, lalu mengambil kitab dengan tangan kirinya dari belakang.1
Dikemukakan juga oleh al-Khazin, tangan kanan orang tersebut dibelenggu hingga lehernya, sedangkan tangan kirinya ditarik ke belakang punggungnya, lalu ia diberi kitab catatan amalnya dengan tangan kirinya dari belakang punggungnya.2
Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa kitab catatan amal itu diberikan dari balik punggungnya dan diterima dengan tangan kirinya.3 Al-Baidhawi menuturkan, kitabnya diberikan dengan tangan kirinya dari arah belakang.4
Menurut Ibnu Juzyi al-Kalbi, orang tersebut adalah orang kafir.5 Kesimpulan ini tepat tatkala dicermati ayat berikutnya, yakni: Innahu zhanna an lan yahûr (Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali [kepada Tuhannya]).
Kemudian Allah SWT berfirman: Fasawfa yad’û tsubûr[an] (maka dia akan berteriak: “Celakalah aku!”). Ketika dia mendapatkan kitab catatan amal dari arah belakang, dia pun berteriak. Kata yang terlontar adalah tsubûra[an].
Secara bahasa, pengertian tsubûr[an] adalah al-halâk wa al-fasâd (binasa dan rusak).6 Dikatakan pula oleh al-Alusi, ats-tsubûr bermakna al-halâk (binasa, celaka), yakni kumpulan semua jenis yang tidak disukai.7 Fakhruddin ar-Razi juga menuturkan bahwa al-tsubûr bermakna al-halâk. Artinya, ketika dia mengetahui kitab catatan amalanya diberikan tidak dari sebelah kanannya, dia mengetahui bahwa dia adalah penghuni neraka, lalu dia pun berkata: Wâ tsubûrâh. Menurut al-Farra‘, orang Arab mengatakan: Fulan yad’û lahfah ketika Fulan berkata: Wâ lahfâh (alangkah sedihnya).8
Penjelasan senada juga dijelaskan banyak mufassir lainnya. Dikatakan al-Khazin, ketika mengetahui sebagai penghuni neraka, dia lalu berteriak, “Celaka dan binasa!” dan berkata, “Aduhai, celaka!”9
Asy-Syaukani menuturkan, “Ketika dia membaca kitabnya, dia berkata, “Yâ waylah! Yâ tsubûrah! (Aduh celaka, Aduh binasa!”).10 Ungkapan ini menunjukkan penyesalan mereka yang tak terhingga. Namun, kesedihan dan itu tidak berguna. Mereka harus mendapatkan hukuman atas kekufuran dan kejahatan mereka selama di dunia.
Allah SWT berfirman: Wa yashlâ sa’îr[an] (dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala [neraka]). Kata ash-shaly pada asalnya berarti al-îqâd bi an-nâr (menyalakan dengan api).11 Adapun makna as-sa’îr adalah an-nâr (neraka).12
Dengan demikian ayat ini memberitakan bahwa orang itu akan dimasukkan ke dalam neraka. Dikatakan al-Biqa’i, dia ditenggelamkan di dalam neraka yang nyalanya berada pada puncak dan merasakan panasnya. Neraka itu mengurung dan mengepung dirinya.13 Dua kata tersebut juga digunakan dalam firman Allah SWT yang lain (Lihat: QS al-Nisa [4]: 10; QS al-A’la [87]: 12).
Kemudian Allah SWT berfirman: Innahu kâna fî ahlihi masrûr[an] (Sesungguhnya dia dulu [di dunia] bergembira di kalangan kaumnya [yang sama-sama kafir]). Dikatakan oleh asy-Syaukani dan al-Alusi, kalimat ini merupakan penjelasan tentang ‘illah (penyebab) bagi kalimat sebelumnya.14 Itu artinya, dia dimasukkan ke dalam neraka disebabkan oleh perilakunya ketika di dunia. Dia bersama dengan orang-orang kafir lainnya bersikap masrûr[an].
Menurut al-Baidhawi, masrûr[an] adalah angkuh dengan harta dan kehormatan serta kosong dari akhirat.15 Al-Jazairi menuturkan, dia tidak takut kepada Allah dan tidak mengharapkan kehidupan akhirat; mengerjakan dan meninggalkan perbuatan sesuai dengan keinginannya.16
Diterangkan oleh az-Zamaksyari, selama di dunia orang tersebut hidup bermewahan; semaunya sendiri, angkuh, dan bersenang-senang; sebagaimana kebiasaan orang-orang jahat yang tidak mementingkan urusan akhirat dan tidak memikirkan akibat; tidak merasa prihatin dan sedih seperti kebiasaan orang-orang shalih dan muttaqin, sebagaimana diceritakan dalam QS ath-Thur [52]: 26.17
Ibnu Zaid berkata, “Allah SWT menggambarkan penghuni surga dalam suasana takut, sedih, isak tangis dan belas kasihan selama di dunia. Lalu Allah SWT memberikan balasan kepada mereka dengan kenikmatan dan kesenangan di akhirat.”
Dia pun membaca firman Allah SWT:
قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ، فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ،
Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).”Lalu Allah memberi kami karunia dan memelihara kami dari azab neraka (QS ath-Thur [52]: 26-27).
Dia berkata, “Allah SWT menggambarkan penghuni neraka dengan suasana gembira, canda tawa dan bersenang-senang selama di dunia.” Lalu dia membaca ayat ini.18
Kemudian Allah SWT berfirman: Innahu zhanna an lan yahûra (Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali [kepada Tuhannya]). Diterangkan oleh asy-Syaukani dan al-Alusi, ayat ini merupakan penjelasan tentang sebab kegembiraan mereka di dunia.19 Artinya, dia bersenang-senang di dunia karena menyangka tidak akan kembali kepada Allah dan tidak dibangktikan untuk dihisab dan dihukum lantaran pengingkarannya terhadap Hari Kebangkitan dan akhirat.20
Kata al-hawr berarti ar-rujû’.21 Sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir, makna ayat ini adalah dia yakin bahwa tidak akan kembali kepada Allah dan tidak dikembalikan kepada Dia setelah mati. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Qatadah dan yang lainnya.22 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh banyak mufassir lain seperti al-Kalbi, al-Baidhawi, al-Khazin, al-Jazairi, dan lain-lain.23
Kemudian Allah SWT berfirman: Balâ inna Rabbahu kâna bihi bashîr[an] ([Bukan demikian], yang benar sesungguhnya Tuhannya selalu melihat dia). Ayat ini membantah persangkaan mereka. Persangkaan mereka tidak akan dikembalikan kepada Allah SWT dan diadili serta diberikan balasan atas perbuatan yang mereka lakukan merupakan sangkaan yang salah.
Kata balâ merupakan jawaban terhadap perkara yang dinafikan: Lan yahûr (tidak akan kembali). Artinya, Ya, mereka benar-benar akan kembali.24 Menurut Ibnu Katsir, ayat ini berarti: Benar, Allah SWT akan mengembalikan dia sebagaimana pada awalnya, dan membalas semua perbuatannya, yang baik maupun yang buruk.25
Dikatakan juga oleh al-Baidhawi, ayat ini berarti Allah SWT mengetahui amal perbuatan mereka sehingga tidak diabaikan, namun mengembalikan dan membalasnya.26
Karakter Kaum Kafir dan Hukuman Atas Mereka
Ayat-ayat ini mengandung banyak pelajaran penting. Pertama: tanda manusia yang akan menjadi penghuni neraka. Diberitakan ayat ini, mereka adalah yang menerima catatan amal dari arah belakang. Ketika itu terjadi, penerimanya pun mengetahui nasib mereka berikutnya. Mereka pasti akan celaka dan sengsara. Karena itu mereka berteriak yang menunjukkan kesedihan dan penyesalan amat besar: Yâ tsubûrah (aduh, celaka!).
Penyesalan telah terlambat. Kesedihan mereka tak bisa mengubah keadaan dan nasib mereka karena akhirat merupakan dâr al-jazâ‘ (negeri pembalasan). Setelah pemberian kitab catatan itu, mereka segera dilemparkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Seluruh tubuhnya dikurung dan dikepung oleh api yang amat panas. Selain merasakan panasnya api neraka yang tak terkira, mereka masih harus menerima berbagai siksaan dahsyat lainnya. Sungguh, hanya orang yang bodoh berani nekad menjerumuskan dirinya ke dalam neraka. Allah SWT berfirman:
فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
Alangkah beraninya mereka menentang api neraka! (QS al-Baqarah [2]: 175).
Kedua: penyebab seseorang dimasukkan ke dalam neraka. Dalam ayat ini dijelaskan, mereka adalah orang-orang yang menghabiskan hidupnya di dunia hanya untuk bersenang-senang menuruti syahwat dan hawa nafsu belaka. Mereka bisa melakukan apa saja asalkan dapat membuat diri mereka senang dan gembira. Tidak peduli dengan ketentuan syariah. Akibatnya, pola kehidupan mereka tak ubahnya seperti binatang, bahkan lebih buruk dan sesat daripada binatang. Karena itu neraka adalah balasan yang layak buat mereka. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ
Orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Neraka adalah tempat tinggal mereka (QS Muhammad [47]: 12).
Ketiga: pengingkaran terhadap akhirat merupakan pangkal perilaku bebas. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa orang-orang yang menghabiskan hidupnya hanya untuk bersenang-senang, menuruti hawa nafsu dan tanpa mempedulikan ketentuan syariah, adalah disebabkan oleh pengingkaran mereka terhadap Hari Pembalasan. Mereka menyangka setelah mati tidak akan dihidupkan kembali dan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatan yang dilakukan. Bagi mereka, setelah kematian selesai. Anggapan salah inilah yang membuat mereka bertindak semaunya. Penilaian baik dan buruk hanya didasarkan pada pertimbangan kesenangan dan ukuran materi. Tidak ada pahala dan dosa. Kalaupun mereka meninggalkan riba, zina atau khamr bukan karena takut terhadap dosa, namun hanya karena taku tertimpa bahaya di dunia. Demikian pula kalau bertindak jujur dan dermawan, bukan karena ingin mendapatkan pahala, namun karena adanya manfaat yang dapat dirasakan di dunia. Bagaimana mungkin ada motivasi pahala dan dosa, surga dan neraka, sementara dia tidak meyakini semua itu? Selain dalam ayat ini, pengingakaran orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya juga diberitakan dalam firman Allah SWT:
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلا الدَّهْرُ
Mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan kita hidup; tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” (QS al-Jatsiyah [45]: 24).
Keempat: kesalahan orang yang mengingkari kehidupan akhirat. Ayat ini dengan jelas membantah orang-orang kafir yang mengingkari Hari Kebangkitan dan Pembalasan. Allah SWT sebagai Pencipta manusia mengetahui benar semua tindak-tanduk manusia yang notabene adalah makhluk-Nya. Semuanya dicatat tanpa ada yang tertinggal. Selanjutnya, mereka akan diadili dan diberi balasan atas perbuatan yang dilakukan. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih dimasukkan ke dalam surga, bersama ahli surga lainnya. Sebaliknya, orang-orang kafir, yang menyia-nyiakan hidupnya di dunia, hanya memperturutkan hawa nafsu, hanya mengejar kesenangan duniawi serta melalaikan urusan akhirat, neraka adalah tempatnya. Sungguh, merugilah mereka.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang diberi kitab catatan amal dari belakang.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964).
2 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 408.
3 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 358.
4 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1998), 297.
5 Al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Syarikah Dar al-Arqam bin AB al-Arqam, 1996), 465.
6 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 171.
7 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 289.
8 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 99
9 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 409.
10 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 493.
11 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 490.
12 Abu Bakar al-Razi, Mukhtâr ash-Shihhah (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 148.
13 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 344.
14 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 289.
15 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 298.
16 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa Hikam, 2003), 544.
17 Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1984), 726-727. Penjelasan senada juga dikemukakan al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 289.
18 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 273.
19 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 493; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 289.
20 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 493.
21 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 100; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-Azhîm, vol. 8, 358.
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-Azhîm, vol. 8, 358.
23 Al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 465; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta`wîl, vol. 5, 298; al-Khazin, Lubâb at-Ta`wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 409; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 544.
24 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 727. Lihat juga al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 298.
25 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-Azhîm, vol. 8, 358.
26 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 298.