Negeri ini kembali akan memiliki nahkoda baru. Sebuah kapal bernama Indonesia akan kembali mengarungi samudera kehidupan. Di situlah, 250 juta jiwa berharap bisa berlabuh dalam kesejahteraan dan perubahan. Ya, pasangan calon presiden dan wapres terpilih Jokowi-JK akan menentukan hitam-putih Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Harapan rakyat sejatinya tak muluk-muluk. Bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan yang layak sudahlah cukup. Namun, alih-alih itu semua didapatkan. Rakyat justru sering dikecewakan dengan penguasa yang lupa mewujudkan janjinya. Tidak aneh jika rakyat seolah berharap kepada ksatria paningit yang akan menyelamatkan mereka serta memegang jargon “Piye, sek penak jamanku tho?”
Tak Ada Perubahan
Indonesia ibarat laki-laki yang sakit (sick man). Pasca kemerdekaan, Indonesia masih belum bangkit dari tidurnya. Perlu sokongan, bantuan dan dorongan dari orang lain untuk bisa tegak berdiri. Rezim berganti bukannya terbebas dari belenggu kepentingan asing. Justru rezim saat ini semakin mengokohkan Indonesia sebagai pelayan asing. Ini karena Indonesia menerapkan sistem demokrasi yang bobrok.
Pemilu legislatif ataupun presiden dalam sistem demokrasi tidak akan mengubah sistem politik. Perubahan hanya pada orang. Tak ayal, siapa pun pemimpinya, kondisi tetap sama. Hanya beda gaya dan pencitraan. Jika sebelumnya bergaya militeristik-otoriter, selanjutnya bergaya merakyat dan apa adanya. Jika sebelumnya berdiam diri di kursi, selanjutnya blusukan mendengar aspirasi.
Perubahan dalam sistem demokrasi tidak menyentuh kebutuhan dasar rakyat. Perubahan sekadar menjadi buah bibir bagi penguasa yang ada. Karena negeri ini salah urus terstruktur, sistemik dan massif (TSM), tentu tak cukup hanya mengganti pemimpin. Lebih dari itu, sistem demokrasi yang memang membawa madaratharus diganti.
Meneropong Pemerintahan Baru
Kemenangan Jokowi-JK bukan semata milik pribadi. Ada orang-orang penting di balik layar, kerja tim sukses dan relawan hingga kerja partai yang sistematis. Jokowi-JK hanyalah representasi untuk melaksanakan konsensi (kesepakatan). Meskipun digembar-gemborkan tidak tunduk pada siapa pun, rakyat secara kasatmata akan melihat kebijakan yang mereka terapkan: pro-rakyat atau pro- asing.
Untuk biaya politik pemenangan Jokowi-JK, ratusan pengusaha berada dalam lingkarannya. PDI-P pernah mengungkapkan telah memberikan rekeningnya ke 60 pengusaha. Salah satunya Sofjan Wanandi (pentolan CSIS dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia-Apindo). Bos media tak tertinggal pula: Dahlan Iskan dan Surya Paloh. Medianya mempromosikan Jokowi-JK secara massif; menampilkan citra positif pemimpin nasionalis, dirindukan rakyat karena kenegarawan dan kesederhanaan. Mayoritas pengusaha itu pun berkarakter kapitalis. Jika pun mereka tak menduduki jabatan, yang penting tukar-guling kebijakan.
Tim think tank Jokowi-JK dinahkodai intelektual, aktifis, santri dan politisi yang partisan dan pragmatis. Gagasan mereka jarang yang menyentuh Islam sebagai solusinya. Sebut saja, Andi Widjajanto (mantan dosen UI), Marwan Jafar (Ketua Bappilu PKB), Aria Bima (PDI-P), Zuhairi Misrawi (Moderate Muslim Socety) dan Ahmad Basarah (PDI-P). Andi Widjajanto adalah anak politisi senior PDI-P Theo Syafei. Ia rela meninggalkan dunia akademisi untuk terjun ke dunia politik. Andi Widjajanto selama kampanye Jokowi-JK seperti ajudan pribadi Jokowi. Dialah yang mendampingi Jokowi membuat materi kampanye dan gagasan. Intelektual muda lainnya yaitu Anis Baswedan, Sukardi Rinakit, Andrianof Chaniago, Ari Dwipayana (UGM) dan Eep Saefulloh Fatah (UI).
Selanjutnya, pasca menjadi calon presiden terpilih, Jokowi-JK membentuk tim transisi. Niatnya membentuk tradisi politik baru agar presiden baru bisa langsung kerja. Tak perlu lagi berguru enam bulan lamanya. Padahal hal itu sama sekali belum menyentuh persoalan rakyat; sekadar menunjukan citra jika tidak disetir oleh kepentingan lain.
Tim transisi terdiri dari Rini Soewandi, Andi Widjajanto, Hasto Kristyanto, Anies Baswedan dan Akbar Faisal. Tim transisi bertugas menyiapkan hal-hal strategis yang berhubungan dengan transisi kepemerintahan; mulai dari pembahasan kabinet, kantor kepresidenan, menyiapkan APBN 2015 sampai menerjemahkan visi misi ke dalam program kongkret. Hal inilah yang akan menentukan arah kebijakan Jokowi-JK ke depan.
Demi menampung aspirasi rakyat, Jokowi-JK membentuk Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR). Rakyat diajak memilih dan mengusulkan nama menteri meski di ujung keputusan masih pada presiden dan tim transisi. Bisa dipastikan, orang yang akan menjadi menteri merupakan orang dekat presiden. Beberapa diisi oleh profesional yang sejak awal mendukung dia. Jika awal tidak ada kompensasi karena koalisi, tampaknya itu tidak mungkin terjadi. Selama ini partai koalisi dipastikan meminta jatah menteri. Ya, itulah sistem demokrasi yang berakhir kompromi.
Penjabaran Program Jokowi-JK
Sejak pendaftaran capres-cawapres, 19 Mei 2014 di KPU, Jokowi-JK sudah merinci visi, misi dan program kerja setebal 41 halaman. Hal itu juga dapat didengar pada debat capres-cawapres. Dengan demikian, dengan mudah rakyat akan menilai: benarkah Indonesia akan dijadikan negara hebat, kuat dan bermartabat? Ataukah itu sekadar pemanis untuk menarik simpatik? Atau rakyat kembali dibalas dengan air tuba, setelah memberi susu dalam Pemilu?
Sejatinya, banyak program yang abai terhadap kebutuhan umat. Visi-misinya jauh dari aspek akidah Islam. Tak terucap berencana menerapkan syariah sebagai kewajiban dari Allah SWT yang menciptakan mereka. Justru mereka menganggap syariah sebagai dagangan yang kurang laku dan tidak aspiratif untuk semua golongan.
Beberapa yang akan diimplementasikan antara lain:
- Bidang Politik.
Sistem demokrasi akan masih bercokol. Kedaulatan politik diwujudkan berdasarkan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kedaulatan rakyat menjadi karakter, nilai dan semangat yang dibangun melalui gotong-royong dan persatuan bangsa. Reformasi birokrasi akan diwujudkan dengan lelang jabatan. Pembiayaan partai politik diatur melalui APBN/APBD. Politik Indonesia ke depan akan masih diliputi dengan parodi politisi. Angka korupsi politisi dan pejabat kian tinggi. Presiden pun akan berhadapan dengan koalisi permanen kubu oposisi.
- Bidang ekonomi.
Ekonomi masih berasa kapitalis-liberal. Tim ekonom Jokowi-JK masih menjadi corong asing dan pro-liberal. Salah satunya kebijakan penghapusan subsidi BBM. Caranya, konversi 30% transportasi berbahan bakar minyak ke bahan bakar gas (BBG), serta merivisi UU Migas menjadi UU Migas Merah Putih. Akibat penghapusan subsidi, beban rakyat kian tinggi. Tidakkah Pemerintah belajar dari sebelumnya? Indonesia pun masih akan berutang luar negeri. Alasannya untuk pembangunan program jangka panjang di bidang infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Indonesia juga aktif dalam lembaga keuangan internasional Bretton Wood, khususnya World Bank dan International Monetary Fund (IMF). Alhasil, ekonomi masih dikuasai kapitalis asing dan Pemerintah menjadi pelayan asing.
- Bidang pendidikan.
Pendidikan masih seputar revolusi mental. Kewajiban belajar berlangsung 12 tahun. Program “Indonesia Pintar” akan diselaraskan dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Kebijakan itu diadopsi dari Kartu Jakarta Pintar (KJP). Buktinya masih juga terjadi ketimpangan dan ketidakjelasan anggaran. Meski ada subsidi bagi PTN dan beasiswa bagi yang kurang mampu, tampaknya tidak semua rakyat bisa mengakses pendidikan.
Beberapa kebijakan revolusioner akan diambil: penghapusan ujian akhir nasional (UN), UU Pendidikan Gratis dan Bebas Pungutan, tunjangan dan asuransi buat guru di daerah terpencil dan kurikulum antinarkotik. Terlihat agendanya tidak ada niat untuk mengubah sistem pendidikan negeri ini yang sekularistik serta menggantinya dengan sistem pendidikan Islam berbasis akidah yang akan menghasilkan pribadi mulia dengan penguasaan sains-teknologi.
- Politik luar negeri.
Politik luar negeri yang akan dibangun masih mengekor hegemoni AS dan sekutunya. Sebagaimana Dilansir AFP, Rabu (23/7/2014), Kerry menyatakan ingin bekerjasama dengan Jokowi. Barack Obama (Presiden AS) menelepon langsung Jokowi dan memberikan ucapan selamat pasca kemenangannya. Obama berniat akan bertemu Jokowi di Cina (Tiongkok). Tony Abbott (PM Australia) menyampaikan bahwa hubungan dengan Indonesia ialah hal yang sangat luar biasa penting bagi Australia. Pemerintah Australia akan mencari cara untuk bekerja lebih dekat dengan Indonesia.
Selain itu, Indonesia berniat membangun KBRI di Palestina serta mendukung kemerdekaan Palestina. Sayangnya, selama ini Indonesia sebagai saudara tertua tak pernah mengirimkan tentara untuk mengeyahkan penjajah Israel. Langkah Indonesia hanya mendorong PBB dan OKI untuk menekan Israel menghentikan kejahatannya. Ingat, kemerdekaan Palestina hanya dengan jihad dan Khilafah.
- Terkait isu keumatan.
Pemerintahan baru akan menjadikan mayoritas umat Muslim menjadi moderat. Istilah moderat digunakan oleh asing untuk mengalihkan keinginan umat dari syariah Islam. Begitu pula, berdalih di balik prulalisme, toleransi, dan kebebasan, Presiden baru tak mampu melindungi akidah umat. Pelarangan Ahmadiyah dan perusak akidah lainnya juga tak terlihat gregetnya. Umat pun dibayang-bayangi kristenisasi. Kelompok yang selama ini bersengketa terkait pelarangan pembangunan tempat ibadah mendapat angin segar. Pasalnya, Presiden seorang pluralis sejati, apalagi dia berencana menghapus kolom agama dalam KTP. Program khasnya, menindak tegas pelaku kekerasan atas nama agama.
- Isu terorisme.
Isu terorisme masih menjadi lagu yang sama. Ditambah dengan AM Hendropriyono (Mantan Kepala BIN) yang menjadi penasihat Jokowi, isu terorisme akan menjadi bandul panas untuk menggelola war on terorisme arahan AS di Indonesia. Densus 88 pun masih akan menampilkan wajah garangnya. Yang dirugikan tetap umat Islam.
UU Keamanan Nasional (Kamnas) akan lebih mengintegrasikan peran dan fungsi intelijen negara; khususnya integrasi TNI, POLRI dan Pemda. Ada pula peningkatan anggaran negara untuk intelijen dalam bentuk yang terstruktur dan regular pertahun.
Khatimah
Jelas sudah. Pemerintahan baru masih akan menjadikan demokrasi sebagai pengatur urusan umat. Kecacatan dan kerusakan demokrasi tak memalingkan mata Pemerintah. Hasilnya bisa dipastikan, kondisi Indonesia kian terpuruk di ujung tanduk. Ketika demokrasi-sekular masih diterapkan, rakyat akan menelan pil pahit/racun demokratisasi. Padahal, jika pemerintahan baru berkomitmen menjadikan “Indonesia Hebat”, pilihlah syariah yang membawa maslahat. [Hanif Kristianto; Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur]
Negeri seribu penipu. Hilang satu tumbuh seribu. Sebab tujuan perjuangan tak lagi satu. Syari’ah khilafah tak dijadikan patokan. Akhirnya kebenaran jadi terlihat relatif. Berjuang demi kelompoknya sendiri. Tak peduli orang lain. Itulah negeri seribu penipu.