عَنْ عُبَادَة بْنِ الصَّامِتِ قَالَ: دَعَانَا رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثرَةَ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نَنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَه قَالَ إِلا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُم مِنَ الله فِيهِ بُرْهَانٌ
Ubadah bin ash-Shamit ra. berkata: Rasulullah saw. telah menyeru kami. Lalu kami membaiat beliau dalam perkara yang beliau syaratkan atas kami, yakni agar kami berbaiat untuk mendengar dan taat dalam apa yang kami suka atau kami benci, dalam kemudahan atau kesulitan kami; agar kami mengutamakan beliau atas diri kami; dan agar kami tidak mencopot kekuasaan dari yang memegang kekuasaan itu. Beliau bersabda, “…kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata dan kalian memiliki buktinya dari Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini merupakan bagian dari nash yang mengatur hubungan penguasa denan rakyat. Hadis ini menjelaskan tiga ketentuan. Pertama: Kata mansyath dan makrah adalah mashdar mim, atau ism zamân atau ism makân. Rasul saw. mengungkapkan dengan redaksi mufâ’alah (saling berlawanan) untuk mubâlagah (melebih-lebihkan). Hadis ini menjelaskan kewajiban untuk mendengar dan taat kepada imam dan ulil amri dalam dua kondisi: sempit atau lapang dan sukar atau mudah. Tentu itu hasba istithâ’ah (menurut kemampuan) sesuai kaidah dalam ketakwaan (QS at-Taghabun [64]: 16).
Ketaatan kepada imam dan ulil amri itu tidak berdiri sendiri, tetapi bertaut dengan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul saw. (QS an-Nisa’ [4]: 59). Artinya, taat kepada imam dan ulil amri itu selama dalam konteks taat kepada Allah SWT dan Rasul saw. Rasul saw. menegaskan:
السَّمْعُ وَالطَّاعَة عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لمَ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلا سَمْعَ وَلاَ طَاعَة
Mendengar dan taat itu wajib atas seorang Muslim dalam apa saja yang dia sukai dan dia benci selama dia tidak diperintahkan bermaksiat. Jika diperintahkan bermaksiat maka dia tidak boleh mendengar dan taat (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Kedua: wa atsaratin ‘alaynâ. Huruf wawu di sini tidak berhubungan dengan lafazh al-mubâlaghah karena berbeda bentuk redaksinya. Menurut Mula Ali al-Qari di dalam Mirqâh al-Mafâtih Syarh Misykâti al-Mashâbîh, wawu ini berkaitan dengan yang ditakdir kepada (muta’allaq muqaddar) bâya’nâ, bermakna wa bâya’nâ ‘alâ atsaratin ‘alaynâ, yakni kami berbaiat untuk bersabar atas pengutamaan dirinya terhadap kami.
Maknanya, menurut Ibn al-Jauzi dalam Kasyf al-Musykal min Hadîts Shahîhayn, adalah mengkhususkan amir dari rakyat dengan apa yang menjadi haknya. Menurut Imam an-Nawawi maknanya adalah, “Dengar dan taatlah meski para amir itu mengkhususkan dirinya dengan dunia daripada kalian dan tidak menyampaikan hak kalian.”
Walhasil, menurut Badruddin al-‘Ayni dalam ‘Umdah al-Qârî dan Ibn Hajardalam Fath al-Bârî, ketaatan rakyat kepada orang yang memerintah mereka itu tidak bergantung pada penyampaian hak-hak mereka, tetapi mereka wajib taat meskipun hak-hak mereka tidak diberikan.
Ketiga: (bâya’nâ) an lâ nunâzi’a al-amra ahlahu, illâ an taraw kufran bawâhan ‘indakum minallâh fîhi burhân. Al-Amr ini adalah kekuasaan dan kepemimpinan (al-mulk wa al-imârah). An lâ nunâzi’a maknanya tidak menuntut imarah, tidak mencopotnya dan tidak memeranginya. Kufran bawâhan adalah kekufuran yang tampak jelas (zhâhiran badiyan). ‘Indakum min Allâh burhân yakni ada dalil yang tegas dari al-Quran atau as-Sunnah bahwa itu adalah kekufuran.
Menurut Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim, maksudnya adalah, “Jangan mencopot waliyul-amri dalam kekuasaan mereka, dan jangan menolak (memprotes) mereka kecuali kalian melihat dari mereka terjadi kemungkaran yang kalian ketahui termasuk pilar-pilar Islam (qawâ’id al-Islâm). Jika kalian melihat hal itu maka ingkari mereka dan katakan yang haq di mana dan kapan saja kalian berada. Keluar menentang dan memerangi mereka adalah haram sesuai dengan ijmak kaum Muslim meski mereka fasik dan zalim.”
Qadhi Iyadh berkata, “Andai pada dirinya terjadi kekufuran dan perubahan terhadap syariah atau terjadi bid’ah maka ia keluar dari pemerintahan dan kekuasaan. Gugurlah ketaatan kepada dia. Kaum Muslim wajib mengubah dan mencopot dia serta mengangkat imam yang adil jika mereka mungkin melakukan itu.
Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim dalam Syarh Bulûgh al-Maram menjelaskan, “Andai Imam itu adil tetapi kurang sesuatu dari keadilan itu, seperti melakukan sebagian dosa kecil dan lalai dalam sebagian kewajiban yang tidak sampai pada batas kufur, maka menaati dia tetap wajib. Adapun jika ia melakukan apa yang dinilai murtad dari Islam maka tidak ada ketaatan untuk dia dan tidak ada kehormatan; seperti mensyariatkan apa yang menyalahi Islam. Demikian juga jika ia menelantarkan satu hukum Islam maka tidak ada ketaatan kepada dia.”
Jadi hadis ini menegaskan bahwa Imam/Khalifah dan ulil amri di bawahnya wajib ditaati selama bukan dalam hal kemaksiatan. Jika ia zalim, fasik atau menyalahi syariah yang tidak sampai batas kufur, ia tetap harus ditaati dalam apa yang sesuai syariah saja. Terhadap kezaliman, kefasikan dan apa yang menyalahi syariah harus dilakukan amar makruf nahi mungkar serta muhasabah kepada dia, namun tidak sampai mencopot atau memerangi dia. Jika sudah tampak jelas dari dirinya kekufuran, baik ia murtad atau mensyariatkan hukum kufur, atau hal lain yang jelas merupakan kekufuran sesuai dalil yang tegas, ia dicopot dan boleh diperangi jika untuk menghilangkan kekufuran itu atau mencopot dia harus dengan memerangi dirinya. Semua itu dalam hal Imam/Khalifah atau ulil amri yang sejak awal sah diangkat secara syar’i dan menerapkan syariah, lalu berubah dan tampak kekufuran secara jelas.
Dari semua itu jelas bahwa sejak pengangkatan penguasa/ulil amri, jalannya pemerintahan hingga pencopotan penguasa itu, semuanya harus berlandaskan akidah Islam. Dengan demikian akidah Islam harus menjadi dasar dalam ketaatan kepada ulil amri, dalam menjalankan pemerintahan dan dalam hidup bernegara.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]