Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Jokowi dan JK, jauh sebelum dilantik, telah menyatakan secara eksplisit bahwa kenaikan BBM merupakan salah satu kebijakan yang akan ditempuh ketika mereka resmi menjadi penguasa.
Berbagai alasan—sama dengan Pemerintah sebelumnya—dikemukakan untuk menjustifikasi kebijakan tersebut. Alasan tersebut antara lain: pencabutan subsidi BBM diperlukan agar ruang fiskal Pemerintah untuk menjalankan programnya semakin besar. Subsidi tersebut dianggap salah sasaran sebab sebagian besar hanya dinikmatioleh kelas menengah atas. Dana tersebut akan lebih produktif jika digunakan untuk program-program yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendorong pertumbuhan ekonomi seperti membangun infrastruktur transportasi, meningkatkan anggaran pendidikan dan kesehatan dan sebagainya.
Subsidi BBM yang besar juga dipandang mengakibatkan ketergantungan pada energi fosil yang mahal sehingga energi murah tidak berkembang. Disparitas harga BBM domestik dan luar negeri juga cukup besar sehingga akan menimbulkan penyelundupan ke negara lain. Ini sebagaimanana disparitas harga BBM subsidi dan non-subsidi untuk perusahaan di sektor perkebunan dan pertambangan.
Apakah logika-logika tersebut benar adanya? Tentu bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Dalam sistem Kapitalisme, pilihan negara untuk meningkatkan sumber pendapatan adalah menaikkan pajak, melakukan privatisasi perusahaan BUMN, meningkatkan pembiayaan melalui utang, atau dengan mengurangi belanja seperti mengurangi subsidi.
- Sumber penerimaan negara sangat terbatas untuk membiayai program-program yang lebih produktif?
Sumber-sumber penerimaan negara yang dapat digali sesungguhnya amat melimpah. Sebagai contoh, jika pengelolaan sumberdaya alam negeri ini dikelola oleh BUMN secara maksimal, tanpa harus menarik pajak, nilai pendapatannya sudah sangat besar.
Produksi batubara, misalnya, mencapai 421 juta ton tahun 2013. Jika harga produksi rata-rata perton sebesar US$ 20 dan harga pasar tahun 2014 US$ 74 per ton maka potensi pendapatannya mencapai Rp 250 triliun. Contoh lainnya tembaga. Pada tahun 2012, produksinya mencapai 2.4 juta ton. Biaya produksinya sebesar US$ 1,24 per pound dan harga jualnya sebesar US$3.6 per pound (Laporan Keuangan PT Freeport McMoran, 2013). Dengan demikian, potensi pendapatannya sebesar Rp 124 triliun. Dari dua komoditas ini saja potensi pendapatannya sudah mencapai Rp 374 triliun. Sudah lebih dari cukup untuk menutupi belanja subsidi BBM yang nilainya mencapai Rp 291 triliun.
Angka ini akan terus membesar jika komoditas tambang yang melimpah di negara ini ikut diperhitungkan seperti minyak bumi, gas, emas, nikel, timah, dan sebagainya. Sayang, karena menganut liberalisasi investasi, pengelolaan tambang-tambang tersebut justru diserahkan kepada swasta termasuk asing. Dampaknya, Penerimaan negara dari sektor ini menjadi sangat minim dari semestinya. Pada RAPBN 2015 pendapatan Sumber Daya Alam migas dan non migas hanya sebesar Rp 207 triliun dan Rp 30 triliun.
- Beban APBN untuk menanggung subsidi sudah sangat berat?
Perekonomian yang terus tumbuh membuat konsumsi BBM terus meningkat, bahkan selalu menjebol kuota subdisi yang ditargetkan Pemerintah. Pertanyaanya: Mengapa hanya subsidi yang selalu dijadikan ‘kambing hitam’? Bukankah banyak alokasi anggaran yang sebenarnya lebih tidak efektik terhadap perekonomian? Salah satunya adalah pengeluaran APBN untuk membayar bunga utang dan cicilannya yang mencapai Rp 221 triliun, terdiri dari pembayaran bunga utang sebesar Rp 154 triliun dan cicilan pokok sebesar Rp 66,9 triliun. Siapakah yang menikmati bunga utang tersebut? Tentu negara-negara kreditur seperti Jepang, dan AS, juga lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia dan ADB serta segelintir investor baik individu maupun korporat, yang memegang surat-surat utang yang diterbitkan Pemerintah.
Utang Pemerintah saat ini telah mencapai Rp 2.500 triliun per Juni 2014, atau lebih besar dari pendapatan APBN 2015 yang besarnya Rp 1.793,6 triliun. Sebagian dari utang tersebut, termasuk pembayaran bunganya, merupakan obligasi rekapitalisasi, diterbitkan untuk ‘mensubsidi’ bank-bank yang terkena dampak krisis tahun 1997 silam, yang kini dipegang oleh bank atau yang telah jatuh di tangan investor.
Pemborosan anggaran juga banyak terjadi dalam pos-pos lainnya baik pada belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bantuan sosial dan transfer ke daerah. Memang dibutuhkan tenaga ekstra untuk menyisir mata anggaran mana yang dianggap efektif dan mana yang masuk kategori pemborosan. Namun, bukan rahasia lagi, penyusunan anggaran yang seadanya (bussiness as usual)—yang sarat dengan transaksi politik dan pemburu rente—sangat banyak dijumpai dalam pos-pos belanja tersebut.
- Kenaikan harga BBM untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat?
Secara teoretis, dana alokasi untuk subisidi dapat digunakan untuk membiayai program-program yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik langsung seperti pemberian jaminan sosial maupun tidak langsung berupa peningkatan kapasitas dan kualitas infrastruktur sehingga mampu mempercepat perputaran roda ekonomi.
Namun, pengalaman empirik menunjukkan, kenaikan BBM akan menggerek inflasi, berupa kenaikan harga-harga barang. Akibatnya, daya beli masyarakat merosot. Jumlah penduduk miskin makin besar. Penduduk yang sebelumnya tidak dikategorikan miskin jatuh miskin. Pasalnya, transportasi dan belanja BBM telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Untuk penduduk di pedesaan, misalnya, mengutip survei BPS 2014, belanja BBM menempati urutan kedua setelah perumahan untuk komoditas non makanan.
Lazimnya, ketika inflasi naik, suku bunga perbankan ikut terkerek naik. Akibatnya, dunia usaha tidak hanya terpukul oleh naiknya biaya energi dan transportasi, namun juga biaya modal. Jika mereka tidak dapat berkompetisi dalam situasi tersebut, pilihannya adalah melakukan pengurangan kapasitas produksi, penghentian sementara hingga penutupan total. Hal tersebut tentu berdampak pada pengurangan tenaga kerja dan berbagai efek berantai lainnya. Apalagi Pemerintah juga telah menaikkan secara bertahap biaya tarif listrik. Industri yang sensitif terhadap perubahan harga energi, seperti industri tekstil dan industri logam, paling banyak yang dirugikan. Beban APBN juga akan bertambah akibat inflasi termasuk tambahan untuk belanja sosial untuk penduduk miskin.
- Subsidi lebih banyak dinikmati oleh penduduk menengah atas sehingga tidak tepat sasaran?
Survei membuktikan, penduduk menengah bawah di negeri ini jauh lebih banyak dibandingkan penduduk menengah ke atas. Kendaraan bermotor saat ini—jumlahnya mencapai 84 juta pada 2013—bukan lagi barang eksklusif yang hanya dimiliki oleh penduduk kaya saja, namun telah menjadi kebutuhan ‘pokok’, tak terkecuali bagi penduduk menengah bawah. Dengan demikian akumulasi konsumsi BBM penduduk menengah bawah jauh lebih besar dibandingkan dengan penduduk menengah ke atas. Ini belum ditambah dengan penduduk yang mengakses transportasi massal yang juga menggunakan BBM. Oleh karena itu, penduduk menengah bawah paling banyak terkena dampak dari kenaikan BBM tersebut.
- Energi murah tidak berkembang akibat adanya subsidi BBM?
Dengan kata lain, Pemerintah dan swasta tidak tertarik untuk mengembangkan energi alternatif jika harga BBM masih murah. Kenyataannya tidaklah demikian. BBM sudah beberapa kali dinaikkan, namun program-program pengembangan energi alternatif Pemerintah tetap tidak berjalan seperti program konversi BBM ke gas dan pengembangan bioenergi. Akibatnya, impor BBM harus dilakukan untuk menutupi produksi BBM domestik yang terbatas.
Di sisi lain, banyak energi murah yang tersedia di negeri ini namun tidak dapat diakses oleh alokasinya masyarakat. Gas, misalnya, lebih banyak yang diekspor seperti ke Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok dibandingkan dengan yang dikonsumsi penduduk Indonesia. Di sisi lain, harga untuk konsumen domestik juga relatif lebih mahal. Harga gas yang berasal dari blok Tangguh untuk PLN, misalnya, dibandrol US$ 10,7 per MMBTU, sementara harga kontrak gas untuk Fujian, Tiongkok, hanya dipatok US$ 8 per MMBTU. Dengan demikian subsidi untuk Tiongkok lebih besar dibandingkan untuk PLN.
Pengembangan infrastruktur energi seperti SPBG, pipa transmisi gas, investasi energi panas bumi tidak harus menunggu BBM dinaikkan karena alternatif untuk meningkatkan pendapatan sumber lain seperti yang disebutkan di atas. Alasan ini sesungguhnya sekedar tameng bagi Pemerintah untuk berlindung di balik ketidakseriusannya mengembangkan energi murah di negara ini.
- Subsidi BBM bukan kebijakan yang tepat karena mendistorsi pasar sehingga kompetisi di sektor migas, khususnya di sisi hulu, tidak terjadi?
Argumentasi ini benar adanya. Perusahaan-perusahaan asing selama ini tidak dapat berkompetisi di sektor hulu, yang kini dikuasai Pertamina. Pasalnya, harga jual produk BUMN tersebut, khususnya bensin dengan oktan 88 dan solar, masih lebih rendah dibandingkan produk mereka. Tidak aneh jika investor di sektor ini terus mendesak Pemerintah untuk segera mencabut subsidi BBM. Rekomendasi IMF, Bank Dunia, ADB, negara-negara G-20, juga mengusulkan hal yang sama; liberalisasi di sektor hulu migas harus diwujudkan!
Penutup
Rencana kebijakan kenaikan BBM merupakan implikasi penerapan sistem Kapitalisme yang digunakan dalam mengelola ekonomi negara ini termasuk dalam penyusunan APBN. Jadi, siapapun rezimnya, selama masih tunduk kepada Kapitalisme, akan bersikap sama, termasuk rezim Jokowi yang mengklaim merakyat.
Problem yang dihadapi Pemerintah dan masyarakat negara ini, termasuk dalam masalah energi, sesungguhnya amat mudah solusinya jika negara ini diatur berdasarkan syariah Islam. Dalam sistem tersebut, misalnya, barang-barang tambang yang jumlahnya melimpah adalah milik umum (rakyat) yang tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing. Negara seharusnya mengelola semua itu dengan baik dan hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat.
Untuk itu satu-satu jalan untuk membebaskan diri penjajahan ini adalah dengan menegakkan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam. Walhasil, penegakan Khilafah seharusnya menjadi agenda utama bangsa ini untuk membebaskan diri dari penjajahan Kapitalisme. []