Ada sebuah joke menarik yang ditulis dalam sebuah buku. Begini kutipannya: Berkata calon anggota DPR, “Wah lelah juga. Hari ini benar-benar melelahkan”. Ucapnya kepada sang istri. “Aku juga merasa begitu. Seingatku belum pernah aku merasa selelah ini,” jawab sang istri yang pada hari itu mengikuti dia berkampanye keliling. “Kau lelah? Bukannya aku yang berpidato terus-terusan? Mengapa jadi kamu yang lelah?” tanya politisi itu kepada istrinya. “Ya. Aku lelah karena terpaksa harus mendengarkan semua omong-kosongmu seharian ini,” ungkap istrinya. (Eko Sugiarto, Komedi Ala Politisi-Banyolan Politik Paling Konyol).
Joke di atas begitu relevan dengan realitas yang terjadi. Selama ini sudah ribuan wajah anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dengan berbagai latar belakang dan disiplin ilmu. Ironisnya, tak ada perubahan berarti yang menjadikan Indonesia lebih baik. Orang-orang yang dulu dikenal sebagai orang shalih sekalipun, saat menjadi anggota dewan, akhirnya malah menjadi orang salah. Apalagi bagi orang yang dulunya sudah salah (dalam pola pikir maupun pola sikap), niscaya menjadi orang salah secara kaffah.
Janji-janji anggota dewan hanyalah manis saat kampanye, namun pahit setelah dilantik. Mereka lebih cenderung mementingkan urusan pribadi dan partainya ketimbang kepentingan rakyat. Ironisnya, semua itu acap menggunakan topeng atas nama kepentingan rakyat. Tidak aneh memang jika itu semua itu terjadi, sebab badan legislasi semacam DPR merupakan pilar dari sistem demokrasi. Padahal demokrasi telah terbukti membuat Indonesia terpuruk di semua lini kehidupan.
DPR: Pilar Demokrasi
DPR (House of Representative), baik itu tingkat pusat maupun daerah (DPR, DPRD) merupakan salah satu pilar dalam sistem pemerintahan demokrasi. Hal ini sebagaimana menurut ajaran Montesquieu dalam The Spirit Of Laws. Ia membagi kekuasan menjadi tiga bagian: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Inilah yang biasa disebut dengan trias politica.
Montesquieu menyebutkan bahwa kekuasaan legislatif (DPR) berfungsi untuk membuat undang-undang dan mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga eksekutif.
Di Indonesia, UUD Pasal 20A ayat 1 (amandemen ke-2) memberikan landasan konstitusional bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Pada pelaksanaannya, DPR juga diberi secara kolektif sejumlah hak: hak interpelasi, hak angket dan hak untuk menyatakan pendapat.
Namun, di negeri ini tak bisa dipungkiri betapa bopengnya wajah DPR. Kinerja DPR sejak Orde Lama hingga sekarang terus mengecewakan. Sejak masih bernama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) 1945-1949, yang belum jelas kewenangannya sehingga membuat lembaga ini nihil membela rakyat, atau masa Orde Baru yang dikenal sebagai tukang stempel kebijakan penguasa dengan dimotori Golkar, hingga era Reformasi sampai sekarang kinerja DPR makin memburuk.
Inilah yang juga disadari oleh para pengamat politik dari dunia Barat sekalipun. John Plamenatz, misalnya, menyebut demokrasi ditakdirkan untuk bersifat ilusif dan imposible. Pasalnya, elit sebenarnya hanya bertanggung jawab di antara mereka sendiri, tidak pernah langsung kepada rakyat. Elit, sekali terpilih mewakili rakyat melalui Pemilu, dapat mengatasnamakan kepentingan pribadi sebagai kehendak rakyat (Riswandha Imawan, The Evolution of Political Party Systems in Indonesia).
Sistem demokrasi yang diterapkan terbukti telah membuat Indonesia kian terpuruk. Masalah utamanya sederhana. Manusia tak lagi diposisikan sebagai manusia. Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani dalam Mafahim Hizbut Tahrir menyebut demokrasi sebagai sistem yang tidak memanusiakan manusia. Mengapa? Karena manusia—yang sejatinya makhluk lemah—diposisikan seperti Tuhan (Allah). Padahal anggota DPR ini manusia, namun mengapa diberi mandat untuk membuat undang-undang menurut hawa nafsunya, menyaingi Allah sebagai sang pembuat hukum.
Tak Ada yang Baru
Babak baru konstelasi politik telah dimulai. Pada hari Rabu (01/10), anggota DPR/MPR dan DPD RI periode 2014-2019 dilantik di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Upacara pelantikan tersebut sekaligus pengucapan sumpah atau janji sebagai anggota dewan. Terdapat 318 wajah baru. Sisanya yang 242 orang merupakan wajah lama. Ada 10 Fraksi yang dilantik yakni: PDIP 109 orang, Golkar 91 orang, Gerindra 73 orang, Demokrat 61 orang, PAN 49 orang, PKB 47 orang, PKS 40 orang, PPP 39 orang, NasDem 35 orang dan Hanura 16 orang. Ada 7 orang yang ditunda pelantikannya disebabkan tersangkut skandal korupsi.
Para wakil rakyat terpilih ini diharapkan mampu memberikan angin segar atas keterpurukan kondisi Tanah Air.
Sayang, kualitas anggota Dewan periode 2014-2019 ini tampak semakin memprihatin-kan. Ada beberapa indikator yang menguatkan anggapan itu. Yang pasti, masyarakat siap gigit jari jika terlalu banyak berharap kepada wakil-wakil mereka tersebut.
Pertama: Masih ada korupsi. Kasus korupsi seperti penyakit akut yang sulit diobati. Banyak pengungkapan dan penangkapan koruptor oleh KPK. Tentu apa yang belum tersibak lebih banyak lagi. Sebagaimana diakui oleh Wakil Ketua KPK, Busro Muqodas, hampir seluruh sistem di DPR rawan korupsi.
Wajah DPR makin belepotan saat KPK menobatkan DPR sebagai lembaga terkorup di Indonesia selama lima tahun berturut-turut (2009-2014). Apalagi dengan komposisi banyaknya pemain lama, plus sistem kelembagaan yang tak mengalami banyak perubahan, niscaya DPR akan tetap memperta-hankan posisinya sebagai lembaga terkorup.
Kedua: Buta politik dan minim pengalaman politik. Banyak anggota DPR yang diragukan kemampuan dan pengalaman berpolitiknya. Muncul banyak nama-nama anggota DPR yang hanya mengandalkan popularitas dan guyuran rupiah saja saat berhasil melaju menduduki kursi di Senayan. Hadir, misalnya, 15 artis dan 3 atlet yang tiba-tiba banting stir menjadi legislator di Senayan. Banyak pula muka-muka baru yang sebelumnya tak memiliki pengalaman politik. Sistem pengkaderan parpol memang sedang redup. Akhirnya, mereka memilih memetik “buah masak” dengan mengandalkan popularitas.
Ketiga: Terpilih dari hasil kecurangan. Banyak kalangan menyebut Pemilu 2014 adalah Pemilu paling parah yang pernah diselenggarakan di Indonesia. Menurut pantauan ICW (Indonesia Corruption Watch), terdapat empat isu fokus utama maraknya kecurangan: pemberian uang, barang, jasa serta penggunaan sumberdaya negara.
Kecurangan terbanyak terjadi untuk pemilihan anggota DPRD kabupaten atau kota dengan 126 temuan kasus, DPR RI dengan 76 temuan kasus, DPRD provinsi dengan 67 temuan kasus dan DPD RI dengan 8 kasus. Pihak yang paling banyak menjadi aktor penerimanya adalah warga atau masyarakat yang telah memiliki hak pilih. Di lapangan, fenomena kecurangan seperti itu, baik yang ditemukan maupun belum ditemukan ICW, sudah menjadi budaya bersama.
Keempat: Tidak memiliki kesadaran politik yang sahih. Anggota DPR umumnya minim terhadap kesadaran politik Islam. Meski mereka mayoritas Muslim, kesadaran politik Islamnya sangat rendah. Buktinya, tak ada politisi Senayan yang benar-benar mengaitkan segala persoalan politik yang terjadi dengan Islam. Mereka tidak mengambil sikap politik untuk menyelesaikan segala problem masyarakat berdasarkan Islam dan menjadikan syariah sebagai standar dalam menilai segala peristiwa politik.
Dominasi Para Pemodal
Lebih parah lagi, para wakil rakyat sejatinya tidaklah mewakili rakyat, melainkan hanya mewakili segelintir orang yang disebut para pemilik modal, baik pemodal lokal, asing maupun aseng. Relasi anggota DPR dengan para pemodal terjalin karena ada simbiosis mutualisme; saling menguntungkan kedua belah pihak.
Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menjadi anggota DPR, kalau dia bukan pemodal, mengharuskan ia kongkalingkong dengan para pemilik modal. Pramono Anung, mantan wakil ketua DPR, dalam desertasi doktornya menyebut untuk menjadi anggota DPR rata-rata dibutuhkan dana ratusan hingga miliaran rupiah. Implikasinya, setelah terpilih, mereka berada dalam kontrol para pemodal tersebut karena disandera utang politik. Untuk membayar utang politik itu, anggota DPR membayar dengan berbagai cara, seperti melahirkan UU pro para kapital (seperti UU Pemilu, UU SDA, UU Migas, UU Minerba, UU Kelistrikan, UU BPJS, UU SJSN, dsb), mendorong perizinan sebuah proyek hingga menggadaikan Surat Keputusan (SK) pengangkatan Anggota Dewan yang marak terjadi di beberapa daerah.
Dewasa ini para pemodal makin berusaha mendominasi DPR. Mereka melakukan akrobat politik ikut terjun ke dalam dunia politik praktis. Di antara mereka kemudian mendirikan parpol sendiri, media massa, jaringan dan perusahaan.
Dengan menyimak kualitas anggota DPR dan campur tangan para pemodal tersebut, tidaklah aneh jika panggung politik Indonesia bakal terus dijejali dengan pragmatisme politik.
Jeratan Pragmatisme Politik
Pragmatisme adalah sebuah sikap yang meletakkan segala sesuatu di atas asas kemanfaatan. Pelakunya akan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya dengan mengabaikan asas kebenaran, kebaikan maupun kepantasan.
Dalam dunia politik, istilah pragmatis merujuk pada perilaku politisi yang cenderung melihat bahwa realitas itu lebih baik dan kemudian manusia harus tunduk pada apa yang disebut dengan realitas. Salah satu ciri dari orang pragmatis adalah tak lagi memegang ideologi. Ideologi telah tergantikan oleh konflik kepentingan (conflict of interest).
Hasilnya, masyarakat sekarang sangat sulit untuk menemukan politisi yang benar-benar idealis. Sebagai contoh, sulit membedakan mana politisi yang berhaluan ideologi Islam dan mana yang nasionalis karena kesamaan sikap politik mereka. Ada politisi dari parpol nasionalis, misalnya, justru berusaha tampil islami (nasionalis-religius). Sebaliknya, ada politisi dari parpol berasas Islam malah berusaha tampil nasionalis (terbuka) disebabkan conflict of interest itu.
Penampakannya dapat dilihat dalam beberapa kejadian politik seperti fenomena politisi kutu loncat. Ada juga yang melakukan justifikasi terhadap agama, contohnya saat menjelang Pemilu. Banyak pihak yang ingin mendapatkan legitimasi agama untuk kemenangannya seperti berkunjung ke pesantren dan merangkul ulama. Padahal mereka enggan ketika agama digunakan untuk mengatur urusan negara.
Terbentuk pula koalisi gado-gado. Parpol-parpol yang sebenarnya dari lintas latar belakang dan asas bisa saling berkoalisi. Hal ini mengindikasikan bahwa parpol hanyalah sebagai kendaraan politik para politisi untuk melenggang merebut kursi. Model koalisi gado-gado seperti ini juga terjadi di periode 2014-2019, setelah dibentuk Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP)
Pertarungan KMP dengan KIH
Aroma permusuhan dalam rangka perebutan kekuasaan terus mencuat dari kedua kubu yang telah terbentuk tersebut. Genderang perang terus ditabuh. Masing-masing seolah saling menunjukkan kekompakan satu sama lain dan saling mengklaim paling mementingkan kepentingan rakyat.
Namun mesti diingat, ada sebuah adagium politik, “tidak ada sahabat sejati dalam politik; yang ada adalah kepentingan sejati”. Maka juga berlaku “tidak ada musuh sejati dalam politik, adanya adalah kepentingan sejati. Implementa-sinya dapat diperhatikan ketika sebuah parpol berasas Islam, sebut saja PPP, yang sempat balik badan dari KMP membelot ke KIH karena merasa kepentingan politiknya tidak diakomodasi saat pemilihan pimpinan MPR pada awal Oktober lalu.
Perlu juga diketahui, dalam khazanah politik demokrasi-sekular, pihak oposisi memang akan selalu berupaya berlawanan dengan kebijakan politik pemerintahan, seolah pihak oposisi pro kepentingan rakyat. Sebagai contoh bagaimana sikap PDIP atas kenaikan harga BBM saat menjadi parpol oposisi dan bagaimana setelah menjadi parpol penguasa. Sikap politik semacam ini lebih dominan tujuan politisnya ketimbang pro kepentingan rakyat.
Karena itu tak banyak yang bisa diharapkan dari kedua koalisi tersebut, entah ke depannya kompromi ataupun konfrontasi. Alasannya jelas, karena kedua kubu sama-sama berhaluan sekularisme-demokrasi. Padahal demokrasi harus ditolak setidaknya karena dua hal. Pertama: bertentangan dengan akidah dan syariah Islam karena menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Kedua: terbukti tidak memberikan kemaslahatan bagi masyarakat.
Alhasil, sudah selayaknya dan sewajibnya umat segera melirik jalan Islam sebagai solusi terbaik untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Caranya dengan ikut bahu-membahu memperjuangkan tegaknya sistem Islam dalam naungan negara Khilafah untuk Indonesia yang lebih baik. Badan legisasi pembuat UU sekular No! Majelis Umat pengawal Khalifah dalam menerapkan syariah Islam Yes! WalLahu a’lam. [Ali Mustofa Akbar; (Maktab I’lami HTI Soloraya)]