Majelis Umat dalam sistem Khilafah jauh berbeda dengan parlemen dalam sistem demokrasi. Fungsi legislasi tidak ada pada Majelis Umat, sementara parlemen dalam sistem demokrasi adalah sebuah badan legislatif.
Dalam sistem Khilafah, hukum yang dipakai adalah hukum syariah, bukan hukum yang dibuat oleh Majelis Umat. Pasalnya, kedaulatan ada di tangan Allah, hanya Dialah Yang berhak membuat hukum. Allah SWT berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS al-An‘am [6]: 57).
Saat ada perbedaan pendapat dalam memahami hukum syariah atas suatu masalah, kepala negara (khalifah)-lah yang berwenang untuk membuat keputusan, apakah masalah tersebut akan disatukan hukum syariahnya ataukah dibiarkan tetap berbeda di tengah-tengah umat. Majelis Umat hanya memiliki hak syura’ (musyawarah) sekaligus memiliki kewajiban untuk melakukan muhâsabah terhadap penguasa.1
Musyawarah dalam sistem Khilafah jauh berbeda dengan musyawarah dalam sistem demokrasi. Suara mayoritas anggota Majelis Umat, permufakatan mereka, bahkan suara mayoritas rakyat tidak menjadi penentu pemberlakuan suatu aturan atau tidak.
Dalam masalah-masalah tasyri’ (legalisasi hukum syariah), pijakannya hanyalah kekuatan dalil. Kaum Muslim yang menjadi anggota Majelis Umat memiliki hak mendiskusikan itu dan menjelaskan pandangan yang benar dan yang salah dalam masalah tersebut. Namun demikian, pandangan mereka tidak mengikat.
Rasulullah saw. memberikan contoh yang jelas dalam masalah ini. Saat kaum Muslim tidak sepakat dengan isi Perjanjian Hudaibiyah, bahkan Umar bin al-Khaththab ra. terang-terangan menyampaikan keberatannya, keputusan Nabi tidak berubah, beliau berkata:
إِنيِّ رَسُولُ الله وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
Sesungguhnya aku ini utusan Allah. Aku takkan bermaksiat kepada Dia. Dialah Penolongku (HR al-Bukhari).
Begitu pula perkara-perkara pemikiran yang memerlukan pengkajian mendalam dan analisis, yang memerlukan keahlian dan berbagai pengetahuan spesifik. Perkara-perkara demikian diambil pendapatnya dari para ahlinya masing-masing, bukan dari pendapat mayoritas. Demikian juga masalah finansial, pasukan dan politik luar negeri. Masalah-masalah ini ditangani sendiri oleh Khalifah menurut pendapat dan ijtihadnya, bukan menurut pendapat Majelis Umat. Khalifah dalam hal ini boleh merujuk kepada Majelis untuk meminta masukan. Majelis Umat juga berhak menyampaikan pendapatnya kepada Khalifah. Namun, pendapat Majelis dalam masalah-masalah ini tidaklah mengikat.
Dalilnya adalah saat Hubab bin al-Mundzir ra., dalam Perang Badar, mempertanyakan posisi pasukan kaum Muslim, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandanganmu tentang tempat ini? Apakah ini tempat yang diwahyukan oleh Allah kepada engkau sehingga kami tidak boleh bergeser maju atau mundur? Ataukah ini merupakan pendapat, peperangan dan tipudaya?”
Rasul saw. menjawab, “Ini merupakan pendapat, peperangan dan tipudaya.”
Kemudian Hubab menunjukkan suatu posisi yang lebih strategis. Nabi saw. pun kemudian mengikuti pendapat Hubab tanpa mengambil suara mayoritas kaum Muslim.2
Pendapat mayoritas bersifat mengikat hanya dalam perkara-perkara praktis yang berkaitan dengan pengaturan urusan umat dalam masalah politik dalam negeri yang tidak memerlukan pengkajian dan analisis mendalam, seperti penyediaan berbagai pelayanan penting untuk rakyat; dalam aspek pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, perdagangan, perindustrian, pertanian, dll; penjagaan keamanan mereka; serta penghilangan bahaya musuh dari mereka, sebagaimana dalam kasus Perang Uhud, Nabi saw. mengikuti pendapat mayoritas untuk keluar Madinah menyongsong dan melawan musuh. Padahal beliau dan para sahabat senior tidak sependapat dengan hal tersebut. Namun kemudian, setelah sampai di medan Uhud Rasulullah saw. tidak menyerahkan strategi perang kepada pendapat mayoritas. Beliau mengatur sendiri strategi tersebut.3
Berbeda dengan musyawarah dalam sistem demokrasi, apapun yang diputuskan parlemen, itulah yang diterapkan pada masyarakat tanpa memandang halal-haramnya keputusan tersebut.
Keunggulan Majelis Umat
Sudah selayaknya setiap Muslim meyakini bahwa tidak ada ketentuan yang lebih baik daripada ketentuan Allah SWT (Lihat: QS al-Maidah [5]: 50). Hanya dengan memahami ayat ini, orang yang beriman akan meyakini keunggulan sistem hukum Allah SWT tanpa harus dijelaskan di mana letak keunggulannya. Hanya saja untuk menenteramkan hati, adakalanya penjelasan itu penting. Begitu juga dengan Majelis Umat dalam sistem Khilafah, jika direnungi, akan tampaklah keunggulannnya dibandingkan sistem parlemen dalam sistem demokrasi. Di antara keunggulannya adalah sebagai berikut:
- Menutup peluang intervensi dan penjajahan.
Dalam Pemilu dalam sistem demokrasi, untuk menjadi wakil rakyat, mereka harus mengeluarkan biaya tinggi. Wajarlah ketika mereka sudah mendapatkan jabatan yang dikehendaki, hal utama yang dipikirkan adalah bagaimana bisa ‘balik modal’; bagaimana bisa melunasi utang atau bagaimana cara ‘membalas budi’ kepada pihak yang mendanai. Sementara itu, yang bisa mereka jual sebagai wakil rakyat hanyalah hak mereka untuk membuat peraturan (undang-undang). Inilah celah masuknya intervensi pemilik modal, bahkan menjadi celah ‘legalisasi’ penjajahan. Pakar politik Ikrar Nusa Bhakti menilai sumbangan dana pengusaha kepada parpol itu sebagai corruption and kick back. Pasalnya, sumbangan itu merupakan imbal balik. ‘’Bisa berupa kemudahan mendapat tender, fasilitas perbankan, atau macam-macam,’’ katanya.
Sudah menjadi praktik umum bahwa kepentingan pelaku usaha itu “ditanam” di banyak parpol. Hal ini untuk memastikan bahwa siapa pun yang menang, mereka akan memperoleh keuntungan.4
Bukan hanya pengusaha lokal, bahkan pengusaha asing pun banyak yang melakukan intervensi. Menurut anggota DPR, Eva Kusuma, selama 12 tahun pasca reformasi ada 76 undang-undang yang draft-nya dari asing.5 Tercatat pula 1800 Perda dihapus untuk memuluskan dominasi penjajah dengan mengatasnamakan investasi.6
Hal ini tidak akan terjadi dalam Majelis Umat karena kedaulatan berada di tangan syariah, Majelis Umat, bahkan Khalifah sekalipun, tidak punya wewenang untuk membuat aturan yang bertentangan dengan syariah.
- Melayani umat, bukan melayani partai.
Majelis Umat adalah wakil langsung dari umat, bukan wakil partai. Fokus perhatiannya adalah bagaimana agar hak-hak dan kewajiban umat terpenuhi sesuai dengan aturan syariah. Motivasi yang diemban adalah saling menjaga dalam ketakwaan antara rakyat dan penguasa agar kewajiban dan hak-hak keduanya sebagaimana diatur syariah dapat dijamin pemenuhannya. Majelis Umat bukanlah penyalur keinginan manusia yang begitu beragam dan sulit dipertemukan. Majelis ini bukan pula penyambung lidah partai sebagaimana ditemui dalam parlemen saat ini ketika membuat kebijakan.
- Hemat biaya.
Menurut Koordinator Investigasi dan advokasi Seknas FITRA, Uchok Sky Khadafi, untuk menyusun satu RUU usulan DPR, anggaran yang digunakan sekitar Rp1,8 miliar pada tahun 2011 dan meningkat menjadi Rp 5,2 miliar pada tahun 2012. Itu baru tahap penyusunan.7
Walaupun biayanya cukup besar, undang-undang yang dihasilkan banyak yang tidak layak. Dr. Bayu Dwianggono menyatakan bahwa dari 428 UU produk DPR itu setidaknya ada 14 UU yang tidak layak diundangkan8. Hal ini tidak akan terjadi dalam Majelis Umat pada sistem Khilafah. Alasannya, Allah SWT telah memberikan aturan (undang-undang) yang terbaik, tanpa perlu biaya.
- Akuntabilitas lebih terjamin.
Fungsi Majelis Umat adalah mengontrol penguasa dan syura, bukan legislasi; bukan pula mengurus anggaran. Fungsi ini akan menjadikan mereka lebih fokus mengontrol Khalifah dalam menjalankan pemerintahan dan melayani rakyat dengan hukum-hukum syariah.
Khalifah memang berhak untuk mengadopsi suatu peraturan/undang-undang, tetapi undang-undang tersebut tentu wajib bersumber pada wahyu. Oleh karena itu anggota Majelis Umat dapat memberikan kritik atau masukan terhadap undang-undang yang akan diadopsi Khalifah meskipun pendapat Majelis Umat ini tidak mengikat. Saat Majelis Umat benar-benar melihat peraturan yang diadopsi Khalifah adalah kezaliman yang bertentangan dengan hukum syariah, sementara Khalifah melihat itu sesuai dengan hukum syariah, maka mereka bisa membawa masalah ini ke Mahkamam Mazhalim. Mahkamah Mazhalim dapat membatalkan UU tersebut jika UU tersebut dianggap sebagai kezaliman. Begitu juga jika antara Khalifah dan umat timbul perbedaan penafsiran mengenai pengertian pasal-pasalnya, Khalifah tidak bisa memaksakan penafsirannya. Mahkamahlah yang berhak menentukan makna yang dimaksudkan oleh UU. Demikian pula, meskipun hakim-hakim Mahkamah Mazhalim diangkat dan diberhentikan oleh Khalifah, Khalifah tidak dapat memberhentikan mereka ketika Khalifah menjadi tersangka atas kasus kezaliman yang dia lakukan.
- Lebih efisien.
Pengambilan suatu keputusan dalam sistem demokrasi sering memerlukan waktu yang relatif lama; harus dibahas dan ditetapkan oleh parlemen dulu. Kalaupun sudah ditetapkan, tidak jarang ketetapan tersebut tidak bisa langsung dilaksanakan. Berbeda dengan Majelis Umat, kepala negara tidak mesti harus menunggu dan ‘menuruti’ pendapat Majelis Umat, dia bisa langsung melaksanakan apa yang dia pandang paling baik setelah minta masukan dari Majelis Umat.
Akan tetapi, berkaitan dengan perkara teknis yang berhubungan dengan urusan kesejahteraan masyarakat yang tidak memerlukan analisis mendalam, keputusan Majelis Umat bersifat mengikat sehingga wajib dilaksanakan.
Saat ada pejabat negara (mu‘âwin, wali dan ‘amil) yang dianggap tidak layak oleh Majelis Umat, mereka bisa mengadukan ketidakridhaannya. Khalifah wajib mengganti pejabat tersebut tanpa perlu mekanisme yang berbelit-belit dan tanpa harus ada kekeliruan yang dilakukan pejabat tersebut. Rasulullah saw. pernah mencopot ‘Ala’ bin al-Hadhrami ra. dari jabatannya sebagai amil Bahrain karena aduan utusan Abd al-Qais. Umar bin al-Khaththab juga pernah mencopot Saad bin Abi Waqash ra. dari jabatannya sebagai wali semata-mata karena adanya pengaduan masyarakat, Umar berkata, “Sungguh, aku tidak mencopot dia karena kelemahan atau suatu pengkhianatan.9”
- Meminimalisasi konflik.
Dalam sistem demokrasi, peluang terjadinya konflik antara parlemen dan penguasa terbuka lebar, apalagi jika parlemen dikuasai oleh partai oposisi. Proses legislasi, penetapan anggaran dan berbagai kebijakan lain akan terhambat. Berbeda dengan Majelis Umat, dia tidak punya wewenang dalam legislasi maupun anggaran. Majelis Umat juga tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan Khalifah. Majelis Umat hanya bisa mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Mazhalim.
Penutup
Sejarah panjang penerapan Islam telah membuktikan bahwa sistem Khilafah adalah yang paling beradab walaupun masih ada kekurangan yang sifatnya manusiawi dalam menjalankannya. Walaupun ada kampanye hitam untuk menodai keunggulan sistem ini, kebenaran pasti akan mengemuka dan kerusakan pasti akan terbongkar, tepat pada saatnya yang telah ditentukan-Nya.
WalLahu a’lam. [M. Taufik N.T]
Catan kaki:
1 Syura adalah meminta pendapat atau mendengarkan pendapat sebelum mengambil keputusan. Muhâsabah adalah melakukan penentangan/koreksi setelah keputusan diambil atau setelah kebijakan diterapkan.
2 Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, hlm. 598.
3 An Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/120.
4 Gatra, 19/2/2009.
5 Tempointeraktif.com, 20/8/2010.
6 Jurnal-ekonomi.org, 23/4/10.
7 Http://hukumonline.com, 31/12/12.
8 Http://politik.kompasiana.com , 27/9/14.
9 Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 163.