Krisis Kanal Suez tahun 1956
Konflik ini sebenarnya bukan bertujuan untuk membebaskan Palestina. Ini adalah konflik Inggris melawan AS untuk mengontrol Kanal Suez.
AS melihat Mesir sebagai sekutu strategis demi menancapkan pengaruh di Timur Tengah. AS mengatur penjatuhan rezim Pro Inggris Raja Faruk pada tahun 1952 dengan menaikkan perwira militer yang dipimpin oleh Jamal Abdul Nasser. CIA melakukan proyek yang dikenal sebagai proyek ‘Mencari Muslim ala Billy Graham’ pada tahun 1951. Mike Copeland, intel CIA merilis informasi rahasia dalam biografinya pada tahun 1989 yang berjudul The Game Player. Ia menceritakan kisah sukses CIA dalam mengkudeta boneka Inggris, Raja Faruk. Copeland yang merancang kudeta ini mengatakan bahwa CIA membutuhkan figur yang kharismatik yang bisa mengendalikan dan membelokkan sentimen anti Amerika yang tengah menggunung saat itu. Dia juga menjelaskan bahwa CIA dan Nasser berada dalam perjanjian dengan Israel. Bagi Nasser, seruan perang terhadap Israel tidaklah penting. Prioritas Nasser adalah menghentikan penguasaan Inggris terhadap zona Kanal Suez. Musuh Nasser adalah Inggris, bukan Israel.
Pada tahun 1956, Nasser menjalankan perintah Amerika untuk menasionalisasi Kanal Suez. Sebagai jawabannya, Inggris menarik Prancis dan Israel untuk terlibat. Ini terlihat dari ungkapan sejarahwan Corelli Barnett dalam bukunya, Jatuhnya Kekuasaan Inggris, “Prancis memusuhi Nasser karena Mesir membantu pemberontak Aljazair dan memiliki keterikatan emosi dengan Kanal Suez. Bukankah sejatinya Prancis yang membangun Kanal Suez. Israel juga memiliki kepentingan melawan Nasser karena Fedayeen Palestina yang menyerang Israel dan juga blokade Mesir terhadap Selat Tiran.”
Karena itu Sir Anthony Eden (Perdana Menteri Inggris) membuat rencana rahasia bersama Prancis dan Israel. Barnett mengatakan bahwa konflik dipicu ketika Israel akan menyerang Mesir dari Semenanjung Sinai. Setelah itu Inggris dan Prancis akan mengultimatum semua pihak untuk menghentikan perang atau mereka akan terjun dan terlibat demi melindungi Kanal Suez.
AS dan Rusia lalu melakukan tekanan diplomatik terhadap Inggris untuk mundur. Rusia secara langsung mengancam Paris dan London dengan serangan nuklir. Tekanan internasional yang luar biasa ini memaksa Inggris dan Prancis untuk meninggalkan Mesir. Pemerintahan AS di bawah Eisenhower juga mengancam Israel dengan sanksi ekonomi jika Israel tidak mundur dari wilayah Mesir yang ia duduki. Akhirnya, pemenang dari konflik ini tidak lain adalah AS yang akhirnya berhasil mendominasi percaturan politik Timur Tengah.
Perang 6 Hari (1967)
Ini adalah perang yang mewakili babak baru konflik antara Inggris dan Amerika dalam persaingan untuk mengontrol Timur Tengah. Meskipun Inggris telah kehilangan kuku di wilayah ini selama 11 tahun, ia masih memiliki pengaruh yang cukup penting terutama dengan anteknya di Yordania, Syria dan Israel.
Untuk melemahkan Nasser, Inggris berusaha menarik Israel dan menyeret Mesir ke dalam perang. Israel akan menguasai wilayah yang bisa dipakai sebagai negosiasi dalam pertukaran tanah demi perjanjian damai. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melakukan penyerangan mendadak yang menghancurkan 60% angkatan udara Mesir serta 66% pesawat tempur milik Syria dan Yordania.
Dari sisi Yordania, Isael berhasil menguasai Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Raja Hussein, sebelum perang dimulai, telah memposisikan satuan tempurnya di wilayah yang jauh dari wilayah pertempuran. Dalam waktu 48 jam, Israel telah menguasai kota-kota di Tepi Barat. Sebagian besar serdadu Yordania yang tewas ditembaki Israel berada dalam posisi mengundurkan diri. Israel juga menguasai Dataran Tinggi Golan pada hari ke 6. Anehnya, saat berita jatuhnya Dataran Golan ke tangan Israel disiarkan oleh radio Syria, pasukan Syria jelas-jelas masih menguasai Dataran Golan!
Israel juga menghantam boneka AS yaitu Nasser dengan menguasai Sharm al-Sheikh dan jalur perairan Selat Tiran. Tujuan untuk melemahkan Nasser telah tercapai sehingga membantu kepentingan Inggris. Israel berhasil menguasai daerah tambahan dan bisa menggunakannya sebagai aset untuk tawar-menawar di meja perundingan. Di dalamnya, status penguasaan tanah pada tahun 1967 selalu diangkat ketimbang status pada tahun 1948.
Perang 1973: Pengkhianatan Para Penguasa Muslim
Perang dadakan yang dicetuskan oleh Mesir dan Syria pada Oktober 1973 melawan Israel menunjukkan bahwa perang tersebut memiliki tujuan tertentu. Perang ini tidak untuk membebaskan Palestina, bahkan bukan untuk membebaskan Dataran Tinggi Golan (yang sebenarnya ditujukan sebagai alat perdamaian antara Syria dan Israel). Tujuan Perang 1973 adalah untuk memperkuat posisi Anwar Sadat dan Hafez al-Assad. Mereka adalah para pemimpin yang relatif baru pada masanya yang rawan untuk dikudeta secara militer. Khususnya Sadat, ia berada dalam tekanan untuk menggantikan pemimpin kharismatik Nasser.
Mohammed Heikal, editor Al-Ahram dari 1957 – 1974, yang menyaksikan perang, mengungkapkan motif Anwar Sadat dalam bukunya, Jalan Menuju Ramadhan. Ia mengutip perasaan Sadat hingga tercetusnya perang. Heikal menulis bahwa Muhammad Fauzi, salah satu jenderal Mesir, mengatakan dengan beranologi duel Samurai, bahwa Mesir terjun ke dalam perang dengan menggunakan—secara sengaja—pedang yang pendek. Artinya, Mesir memang memiliki tujuan atau motif tertentu dengan melakukan perang secara terbatas.
Anwar Sadat memang tidak pernah berniat untuk berperang melawan Israel terlalu lama. Itu sebabnya, ia justru mencari perdamaian dengan Israel ketika pasukan Mesir berada di atas angin dalam pertempuran. Dalam 24 jam pertama, pasukan tempur Mesir menghajar benteng Bar-Lev, yang digembar-gemborkan sebagai pertahanan solid, dengan jumlah korban hanya 68 prajurit. Sementara itu, dua divisi Syria dan 500 tank menyapu Dataran Tinggi Golan dan merebut kembali wilayah yang dikuasai Israel pada tahun 1967. Dalam dua hari, Israel kehilangan 48 pesawat tempur dan 500 tank. Di tengah peperangan, Sadat mengirim pesan kepada Presiden AS bahwa tujuan perang ini adalah ‘perdamaian di Timur Tengah dan bukan perjanjian setengah-setengah.’ Lebih jauh lagi, kalau Israel bersedia melepaskan wilayah Mesir yang mereka duduki, Mesir akan melakukan perjanjian damai di bawah PBB atau pihak yang netral.
Meskipun Sadat memiliki posisi di atas angin, ia justru ingin bernegosiasi. Penolakan Sadat untuk terus melanjutkan pertempuran dan meneruskan gelombang penyerangan terhadap Sinai ternyata memberikan kesempatan kepada Israel untuk memobilisasi kekuatan dan merebut kembali wilayahnya dengan bantuan AS. Konflik berakhir pada 25 Oktober setelah Israel melanggar perjanjian gencatan senjata sebelumnya.
Semua perang melawan Israel menunjukkan bahwa penguasa Muslim tak pernah serius melawan Israel dan tak pernah bertujuan untuk membebaskan Palestina. Kemenangan Israel sebenarnya adalah mitos yang dipromosikan untuk melemahkan semangat umat Islam. Pengkhianatan sebenarnya dilakukan oleh para penguasa Muslim yang berkolaborasi untuk membangun dan menyebarkan mitos keunggulan Israel. Perang di dunia Arab menunjukkan bahwa negeri-negeri Muslim tak pernah disatukan dalam peperangan dalam satu tujuan: menghancurkan Israel. Sebaliknya, setiap peperangan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, kecuali pembebasan Palestina dan penghapusan Israel. [Gus Uwik, disarikan dari Khilafah.com]