Dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa wali adalah kepala daerah yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa dan pemimpin di suatu wilayah (provinsi). Wali adalah wakil Khalifah sehingga wali harus menjalankan semua wewenang yang diwakilkan oleh Khalifah kepada dirinya. Ini sesuai dengan konteks redaksi yang ditetapkan Khalifah ketika pengangkatannya sebagai wali.
Lalu apa saja wewenang wali sebaga kepala daerah? Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Negara Islam pasal 54, yang berbunyi: “Wali mempunyai wewenang di bidang pemerintahan dan mengawasi seluruh aktivitas lembaga administrasi negara di wilayahnya, sebagai wakil dari Khalifah. Wali memiliki seluruh wewenang di daerahnya kecuali urusan keuangan, peradilan dan militer. Ia memiliki kepemimpinan atas penduduk di wilayahnya dan mempertimbangkan seluruh urusan yang berhubungan dengan wilayahnya. Akan tetapi, kepolisian ditempatkan di bawah kekuasaannya dari segi operasional, bukan dari segi administrasinya.”
Juga pasal 55 yaitu: “Wali tidak harus memberi laporan kepada Khalifah tentang apa yang dilakukan di wilayah kekuasaannya, kecuali ada beberapa pilihan (yang harus dia tentukan). Apabila terdapat perkara baru yang tidak ditetapkan sebelumnya, ia harus memberikan laporan kepada Khalifah, kemudian baru dilaksanakan berdasarkan perintah Khalifah. Jika dengan menunggu persetujuan dari Khalifah suatu urusan dikhawatirkan terbengkalai, ia boleh melakukannya serta wajib melaporkannya kepada Khalifah dan menjelaskan tentang sebab-sebab tidak ada laporan sebelum pelaksanaan.” (Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, hlm. 16-17).
Wewenang Kepala Daerah
Dari Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 54 ini jelah bahwa wali sebagai kepala daerah mempunyai wewenang di bidang pemerintahan dan wewenang untuk mengawasi seluruh aktivitas lembaga administrasi negara di wilayahnya, sebagai wakil dari Khalifah. Dalam hal ini, wali memiliki semua wewenang Khaifah. Sama dengan Mu’awin Tafwidh, kekuasaannya bersifat umum (wilayah ‘ammah). Akan tetapi, terkait keuasaannya terhadap suatu wilayah, tempatnya dibatasi. Karena itu dibutuhkan akad pengangkatan baru jika wali akan ditempatkan di tempat yang berbeda.
Rasulullah saw. telah membatasi daerah atau wilayah yang akan menjadi daerah atau wilayah kekuasaan wali yang beliau angkat (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 194). Rasulullah saw. pun telah mengangkat para wali untuk menangani semua perkara dengan kekuasaan yang sifatnya umum (wilayah ‘ammah). Muadz bin Jabal ra., mislanya, pernah diangkat sebagai wali di Yaman oleh Rasulullah saw. Beliau memberi Muadz wewenang untuk mengurusi shalat (pemerintahan) dan sekaligus shadaqah (harta). Shalat dalam masalah wilayah (kekuasaan) atau imarah (kepemimpinan) ini bukan berarti ia menjadi imam masyarakat dalam memimpin pelaksanaan shalat saja. Namun, maknanya adalah kekuasaan dan kepemiminan atas mereka dalam seluruh urusan. Pasalnya, penggunaan kata shalat di sini masuk dalam ithlaqu juz[in] wa iradati kull[in]; menyebutkan sebagian, namun maksudnya keseluruhan. Dengan demikian, kata shalat di sini maksudnya adalah mengurusi semua urusan pemerintahan, kecuali masalah pengumpulan harta (shadaqah). Karena itulah kata shalat dan shadaqah ini dipisahkan.
Rasulullah saw. juga mengangkat sejumlah wali dengan kekuasaan khusus (wilayah khashshah), seperti Furwah bin Musaik. Rasulullah saw. Mengangkat dia menjadi amil atas Kabilah Murad, Zabid dan Mudzhij. Bersama dia, Rasulullah mengutus pula Khalid ibn Said ibn al-‘Ash untuk mengurusi shadaqah (harta).
Dengan demikian kepemimpinan dan kekuasaan Muadz bin Jabal adalah kekuasaan umum (wilayah ‘ammah), meliputi shalat (pemerintahan) dan sekaligus shadaqah (harta). Kepemimpinan dan kekuasaan Furwah bin Musaik adalah kekuasaan khusus (wilayah khashshah), yakni untuk mengurusi shalat (pemerintahan) saja. Kepemimpinan dan kekuasaan Khalid ibn Said juga adalah kekuasaan khusus (wilayah khashshah), yakni untuk mengurusi shadaqah (harta) saja (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 194).
Rasulullah saw. pernah mengutus sejumlah wali tanpa memberitahu mekanisme operasionalnya. Rasulullah saw. pernah mengutus Ali ra. ke Yaman tanpa memberitahu sedikit pun mekanisme operasionalnya, sebab beliau tahu persis pengetahuan dan kemampuan yang dia miliki. Sebaliknya, beliau pernah juga mengutus sejumlah wali dan memberitahu mereka mekanisme operasionalnya. Beliau mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman. Saat itu beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaimana kamu akan memutuskan jika kamu diminta untuk memutuskan suatu perkara?” Muadz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan Kitabullah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana jika di dalam Kitabullah tidak ada?” Muadz menjawab, “Berdasarkan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana jika di dalam Sunnah Rasulullah juga tidak ada?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan lengah.”
Muadz berkata: Lalu beliau menepuk dadaku dan bersabda, “Segala pujian milik Allah Yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu yang membuat Rasulullah ridha (puas) kepada utusannya.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Darimi dan Abu Dawud).
Begitulah, wali boleh diangkat dengan kekuasaan umum (wilayah ‘ammah), atau kekuasaan khusus (wilayah khashshah); juga boleh dijelaskan kepada dia mekanisme operasionalnya secara rinci atau global (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 194).
Pengecualian Wewenang Wali
Khalifah memang boleh mengangkat wali dengan kekuasaan umum (wilayah ‘ammah), dan boleh juga mengangkat wali dengan kekuasaan khusus (wilayah khashshah). Namun, dalam sejarah, kekuasaan Muawiyah dengan kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) telah membuat dia memisahkan diri (independen) dari Khalifah pada masa Utsman. Saat itu tidak tampak kekuasaan Khalifah Utsman pada dirinya. Setelah Khalifah Utsman wafat, fitnah terjadi akibat ia diberi wewenang mengurusi semua urusan pemerintahan di Syam. Jelas juga pada masa-masa kelemahan para khalifah Abbasiyah, kekuasaan dan kepemimpinan wali yang bersifat umum (wilayah ‘ammah) ini benar-benar telah memberikan kemungkinan beberapa wilayah (daerah) menjadi independen hingga tidak tersisa lagi kekuasaan bagi Khalifah, kecuali sekadar sebutan namanya dan pencetakan mata uang atas namanya.
Dari sini ternyata terbukti, bahwa pemberian kekuasaan dan kepemimpinan yang bersifat umum (wilayah ‘ammah) itu telah menyebabkan dharar (kemadaratan dan ancaman) bagi keutuhan dan kesatuan Negara Islam. Untuk itu kewenangan dan kekuasaan wali dibatasi hanya pada perkara-perkara yang tidak menyebabkan wali memisahkan diri (independen) dari Khalifah.
Militer (al-jaisy), keuangan (al-mal) dan peradilan (al-qadha’) jelas memungkinkan wali memisahkan diri (independen). Pasalnya, militer adalah kekuatan, keuangan adalah urat nadi kehidupan dan peradilan memperlihatkan pemeliharaan hak-hak dan penegakan hukuman. Karena itu para wali diberi wewenang dengan kekuasaan yang terbatas yaitu selain dari militer (al-jaisy), keuangan (al-mal) dan peradilan (al-qadha’). Dengan demikian urusan-urusan tersebut diurusi oleh struktur tersendiri yang dikontrol langsung oleh Khalifah sebagaimana halnya struktur-struktur negara Khilafah yang lain. Maksudnya, urusan militer, peradilan dan keuangan ini berdiri sendiri; tidak masuk dalam wilayah (kekuasaan) seorang wali (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 75).
Namun, mengingat wali itu adalah penguasa yang harus memiliki kekuatan eksekusi, maka kepolisian berada di bawah kekuasaannya. Karena itu kekuasaan wali mencakup kepolisian, juga mencakup segala sesuatu di wilayahnya selain tiga struktur di atas. Hanya saja, kepolisian masuk dalam struktur keamanan dalam negeri sehingga administrasinya ada dalam kekuasaan Departemen Dalam Negeri, sedang operasionalnya di bawah kontrol wali (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 194).
Wali Tak Wajib Mepalor kepada Khalifah
Meskipun wali dalam menjalankan tugas pemerintahannya adalah wakil dari Khalifah, ia tidak wajib melapor kepada Khalifah tentang apa yang dilakukan di wilayah kekuasaannya. Hal ini ditegaskan dalam Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Negara Islam pasal 55.
Dalilnya adalah bahwa Rasulullah saw. telah mengangkat para wali. Namun, beliau tidak pernah meminta mereka untuk melaporkan semua aktivitas yang mereka lakukan. Para wali juga tidak pernah melaporkan sesuatu kepada beliau. Bahkan mereka melakukan semua aktivitasnya benar-benar secara independen. Masing-masing memimpin wilayahnya dengan pendapat sendiri. Begitulah yang dilakukan Muadz, Atab bin Usaid dan Ala’ bin al-Hadhrami; juga semua para wali yang diangkat oleh Rasulullah saw. Semua ini menunjukkan bahwa wali tidak melaporkan aktivitasnya sedikit pun kepada Khalifah.
Dalam hal ini, wali berbeda dengan Mu’awin Tafwidh. Mu’awin Tafwidh wajib melaporkan kepada Khalifah setiap aktivitas yang dia lakukan. Khalifah pun wajib mengontrol semua aktivitas yang dilakukan Mu’awin Tafwidh. Sebaliknya, Khalifah tidak wajib mengontrol setiap yang dilakukan oleh walinya. Meski demikian, Khalifah wajib mengetahui keadaan para wali dan mengontrol berita-berita tentang mereka. Dengan demikian, wali diberi kebebasan secara mutlak untuk mengatur wilayahnya. Oleh karena itu, Muadz berkata kepada Rasulullah saw. ketika beliau mengutus dia untuk menjadi wali di Yaman, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku.”
Apa yang dikatakan oleh Muadz dalam hadis Ahmad ini menjadi dalil bahwa wali tidak wajib melapor kepada Khalifah, namun ia cukup dengan melakukan ijtihad berdasarkan pendapatnya sendiri. Hanya saja, tidak dilarang jika seorang wali mengambil (meminta) pendapat Khalifah terkait persoalan-persoalan penting. Sebaliknya, terkait hal-hal yang tidak penting, wali tidak perlu mengambil (meminta) pendapat Khalifah agar kepentingan masyarakat tidak terabaikan karena masih menunggu pendapat Khalifah.
Namun, jika terjadi sesuatu di luar konteks wewenang yang diberikan kepada dia, wali tidak boleh memutuskan sendiri. Ia harus menunggu pendapat Khalifah. Sebab, pengangkatan untuk memimpin suatu wilayah adalah penyerahan Khalifah kepada wali untuk memimpin negeri atau wilayah, dan berkuasa atas semua warganya, serta menyelesaikan semua perkara yang masuk dalam konteks wewenangnya. Dengan begitu, jika terjadi sesuatu di luar konteks wewenangnya, wali tidak boleh menyelesaikannya. Ia harus menunggu referensi dari Khalifah. Namun, jika tidak segera diselesaikan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan, maka wali harus mengambil tindakan cepat, dan kemudian melaporkan kepada Khalifah, sebab perkara tersebut di luar konteks wewenang yang diberikan kepada dirinya sebagai wali (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 194).
WalLahu a’lam bish-shawab. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), Http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.