Adz-Dzimmiy berasal dari adz-dzimmah yangberasal dari dzamma–yadzummu–dzamman; artinya celaan. Lalu diberi makna lain. Di dalam Mu’jam al-Wasîth, kata adz-dzimmah adalah al-‘ahdu (perjanjian), al-amân (keamanan), al-kafâlah (jaminan), al-haqq (kebenaran) dan al-hurmah (keharaman). Al-Jurjani menjelaskan, adz-dzimmah secara bahasa artinya al-‘ahdu, sebab membatalkannya (sepihak) mewajibkan celaan.
Murtadha az-Zubaidi di dalam Tâj al-‘Arûsy mengatakan orang dzimmiy yakni ia memiliki ‘ahdu (perjanjian). Al-Jauhari berkata, ahlu adz-dzimmah adalah ahlu al-‘aqdi. Az-Zubaidi lalu mengatakan, mereka adalah orang yang menunaikan jizyah yakni dari orang-orang musyrik seluruhnya. Dikatakan pula, adz-dzimmah adalah jaminan keamanan dan disebut adz-dzimmiy karena ia masuk dalam jaminan keamanan kaum Muslim.
Rawas Qal’ah ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ mengatakan, ‘aqdu adz-dzimmah adalah perjanjian yang diberikan kepada warga non-musim di dalam Daulah Islam agar nyawa dan harta mereka dilindungi dan agama mereka tidak disentuh. Adz-Dzimmiy adalah orang yang padanya terealisasi akad dzimmah.
Di dalam Mawsû’ah Fiqhiyah al-Kuwaytiyah, yang dimaksud dengan ahlu adz-dzimmah dalam istilah para fukaha adalah ad-dzimmiy. Adz-Dzimmiy merupakan penisbatan kepada adz-dzimmah, yakni perjanjian dari imam—atau orang yang mewakili dia—dengan keamanan atas jiwanya dan hartanya paralel dengan komitmennya membayar jizyah dan pelaksanaan hukum-hukum Islam.
Dengan akad adz-dzimmah itu, non-Muslim menjadi rakyat Daulah Islamiyah dengan tetap pada agamanya. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz II (hlm. 227) pada bab Ahkâm adz-Dzimmiy, adz-dzimmiy adalah setiap orang yang beragama selain Islam dan menjadi rakyat Daulah Islamiyah, sementara ia tetap beragama selain Islam.
Dalil tentang adz-dzimmiy di antaranya adalah firman Allah SWT:
قَٰتِلُواْ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلۡحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعۡطُواْ ٱلۡجِزۡيَةَ عَن يَدٖ وَهُمۡ صَٰغِرُونَ ٢٩
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Akhir, tidak mengharamkan apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan, tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberi al-Kitab, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS at-Taubah [9]: 29).
Makna ‘an yadin yakni ‘an qudratin (dari kemampuan). Adapun frasa wa hum shâghirûn, dinukil dari Imam asy-Syafii, maknanya adalah penerapan hukum-hukum Islam terhadap mereka (Tafsîr al-Alusi, tafsir QS at-Taubah [9]: 29).
Jadi, ayat ini menjelaskan, jika non-Muslim itu mau tunduk pada hukum Islam—yakni terhadap mereka diterapkan hukum-hukum Islam dan mereka membayar jizyah—maka perang dihentikan atas mereka. Artinya, mereka menjadi warga negara Daulah Islamiyah tetapi tetap beragama dengan agama mereka, tidak dipaksa masuk Islam. Hal itu ditegaskan dalam surat Rasul saw. kepada penduduk Yaman:
إِنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُوْدِيَتِهِ أَوْ نَصْرَانِيَتِهِ فَإِنَّهُ لاَيُفْتَنُّ عَنْهَا وَ عَلَيْهِ الجِزْيَةُ
Sesungguhnya siapa saja yang tetap dalam keyahudiannya atau kenasraniyannya tidak dipaksa (meningalkan agamanya) dan dia wajib membayar jizyah (HR Abu Ubaid).
Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib menceritakan:
اِلَى مَجُوْسِ هَجَرٍ يَدْعُوْهُمْ صلى الله عليه وسلم كَتَبَ رَسُوْلُ اللهِإِلَى اْلإِسْلاَمِ فَمَنْ أَسْلَمَ قُبِلَ مِنْهُ وَ مَنْ لاَ ضُرِبَتْ عَلَيْهِ الجِزْيَةُ فِيْ اَنْ لاَ تُؤْكَلَ لَهُ ذَبِيْحَةٌ وَلاَ تُنْكَحُ لَهُ اِمْرَأَة
Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada Majusi Hajar menyeru mereka masuk Islam. Siapa saja yang masuk Islam diterima. Siapa saja yang tidak mau masuk Islam ditetapkan atas dia kewajiban membayar jizyah dengan ketentuan sembelihannya tidak boleh dimakan dan wanitanya tidak boleh dinikahi (oleh Muslim). (HR Abu Ubaid).
Akad dzimmah itu diterima dari semua non-Muslim baik Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) atau selain mereka, kecuali orang musyrik Arab sebab dari mereka tidak diterima kecuali Islam atau mereka diperangi.
Jizyah hanya dipungut dari dzimmiy laki-laki yang dewasa dan berakal serta mampu. Jizyah tidak dipungut dari wanita, anak-anak orang tua dan orang yang tidak mampu. Abu Ubaid meriwayatkan dari Nafi’ dari Aslam mawla Umar bin al-Khaththab bahwa Khalifah Umar pernah menulis surat kepada para amir pasukan agar mereka menetapkan pungutan jizyah—kecuali atas wanita dan anak-anak—atas orang yang sudah balig.
Terhadap adz-dzimmiy diterapkan semua hukum Islam, kecuali dalam perkara akidah, ibadah dan keyakinan mereka. Akidah dan ibadah mereka tidak diusik. Jika sesuatu termasuk dalam bab keyakinan (akidah) mereka, meski bagi kita tidak, mereka tidak boleh diganggu dan mereka dibiarkan dengan keyakinan mereka. Jika khamr dan babi dalam keyakinan agama mereka boleh, maka mereka boleh meminum, mempertukarkan dan menjualbelikannya di antara mereka; tetapi tidak secara demonstratif dan tidak ditengah kaum Muslim. Mereka boleh mengenakan pakaian keagamaan mereka. Namun, dalam kehidupan publik, mereka harus mengenakan pakaian sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Dalam hal muamalah, jual-beli, syirkah, ijarah, wakalah, dsb, terhadap adz-dzimmiy diberlakukan hukum Islam. Rasul saw. menulis kepada penduduk Najran yang masih Nashrani:
إِنَّ مَنْ بَايَعَ مِنْكُمْ بِالرِّباَ فَلاَ ذِمَّةَ لَهُ
Siapa saja dari kalian yang berjual-beli dengan riba maka tidak ada dzimmah untuk dia (HR Ibn Abi Syaibah).
Itu artinya, mereka sebagai adz-dzimmiy dalam jual-beli dan muamalah lainnya harus terikat dengan hukum Islam. Ini juga berlaku atas semua adz-dzimmiy.
Terhadap adz-dzimmiy juga diberlakukan ‘uqubat Islam. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn Umar ra. bahwa pernah ada orang Yahudi yang datang kepada Nabi saw. menghadapkan laki-laki dan wanita yang berzina. Lalu Nabi saw. memerintahkan agar keduanya dirajam. Imam al-Bukhari juga meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah menghukum bunuh seorang Yahudi yang membunuh seorang wanita.
Jadi adz-dzimmiy menjadi rakyat dan warga negara Daulah Islamiyah, seperti rakyat dan warga negara pada umumnya. Mereka memiliki hak sebagai rakyat dan warga negara dan hak atas pelakuan lemah-lembut. Ia berhak bergabung dan berperang bersama pasukan kaum Muslim, tetapi mereka tidak punya kewajiban berperang. Mereka memiliki hak dan kewajiban seperti halnya kaum Muslim secara adil dan proporsional. Di depan penguasa, qadhi, dalam ri’ayah syu’un serta penerapan muamalah dan ‘uqubat, mereka diposisikan sama dengan kaum Muslim tanpa deskriminasi. Jadi wajib bersikap adil terhadap mereka sebagaimana wajib bersikap adil terhadap kaum Muslim.
Seorang non-Muslim bisa menjadi adz-dzimmiy melalui beberapa cara. Pertama: melalui akad dzimmah yang direalisasi dengan ijab dan qabul oleh orang non-Muslim itu dengan Imam/Khalifah atau wakilnya. Di dalam akad dzimmah ini juga bisa ditambahkan syarat-syarat spesifik seperti akad dzimmah Nasrani Syam dengan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.
Kedua: melalui qarinah (indikasi) yang menujukkan keridhaannya menjadi adz-dzimmiy. Setidaknya ada tiga qarinah:
- Menetap di wilayah Daulah melebihi setahun. Seseorang tidak bisa menetap di wilayah Daulah dalam waktu lama kecuali seorang dzimmiy. Seseorang bisa tinggal dalam waktu singkat di wilayah Daulah dengan mendapat al-amân (visa) dan disebut al-musta’min. Jumhur fukaha mengatakan waktunya tidak boleh sampai setahun. Jika ia tetap tinggal di wilayah Daulah sampai lebih setahun, ia berubah menjadi adz-dzimmiy dan dari dia dipungut jizyah.
- Jika seorang wanita kafir harbi menikah dengan seorang Muslim atau dzimmiy, lalu tinggal bersama suaminya di wilayah Daulah, apalagi mencapai minimal setahun, maka dia menjadi dzimmiy.
- Jika non-Muslim musta’min membeli tanah kharajiyah dan menanaminya lalu dipungut kharaj darinya, ia menjadi dzimmiy. Sebab, kharaj tidak dipungut kecuali dari orang yang mukim. Jika belum sampai dipungut kharaj, maka tidak menjadi dzimmiy.
Ketiga: karena mengikuti status dzimmiy orang lain. Anak-anak berstatus dzimmiy mengikuti status orangtuanya yang dzimmiy. Jika suami-istri musta’min, lalu si suami menjadi dzimmiy, atau seorang wanita harbi menjadi musta’min lalu menikah dengan seorang dzimmiy atau seorang Muslim, atau laki-laki musta’min menikahi wanita musta’min dan laki-laki itu menjadi dzimmiy, maka dalam ketiga kondisi ini wanita musta’min itu menjadi dzimmiy karena status suaminya.
Keempat: melalui jihad atau penaklukan. Jika kaum Muslim menaklukan suatu daerah, lalu daerah itu ditetapkan oleh Imam sebagai tanah kharajiyah dan terhadap penduduknya ditetapkan jizyah, maka mereka menjadi dzimmiy.
Akad dzimmah bisa berakhir dengan beberapa hal: (1) jika masuk Islam; (2) jika menanggalkan akad dzimmiy; (3) jika berpindah ke negara lain dan berganti kewarganegaraan; (4) melanggar isi syarat akad dzimmah yang jika dilanggar akad dzimmah itu berakhir.
Masih ada sebab-sebab lain yang diperselisihkan oleh para ulama. Semua ketentuan tentang dzimmiy itu dibahas luas oleh para ulama dan fukaha dalam ahkam adz-dzimmiy sehingga bisa dirujuk ke situ.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]