HTI

Iqtishadiyah

Alasan Palsu Di Balik Kenaikan Harga BBM

Salah satu isu yang mendapat perhatian masyarakat, para intelektual dan politikus pada awal kepemimpinan rezim Jokowi–JK adalah rencana kenaikan harga BBM. Sepertinya siapapun rezimnya, selama paradigma ekonomi kapitalis dengan liberalisasi pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) sebagai dasar pijakan dalam pengelolan SDA, kenaikan harga BBM sulit dihindarkan. Penolakan oleh partai politik hanya alat yang mereka gunakan untuk meraih kepentingan politiknya. Itulah yang terjadi saat ini. PDIP yang mengusung Jokowi-JK adalah parpol yang selama 10 tahun terakhir konsisten menolak kenaikan harga. Namun, saat Jokowi/PDIP berkuasa, kado pertama kali yang diberikan kepada rakyat justru kenaikan harga BBM.

Alasan Palsu

Kenaikan BBM sebenarnya konsekuensi logis dari pelaksanaan sistem ekonomi kapitalis dan pengelolaan sumberdaya alam dengan paradigma kapitalis liberal. Namun, agar kenaikan harga BBM diterima oleh rakyat maka dibuatlah alasan-alasan palsu. Semuanya hanyalah lagu lama yang selalu diputar kembali: subsidi tak tepat sasaran, subsidi membebani APBN, subsidi bikin rakyat malas dan boros dan—yang sekarang ditekankan oleh rezim Jokowi—subsidi BBM adalah bentuk pembakaran uang yang sia-sia karena ratusan triliun rupiah hanya jadi asap. Benarkah semua alasan tersebut?

1. Subsidi BBM tak tepat sasaran?

Berdasarkan data Korp Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia, jumlah kendaraan yang beroperasi di seluruh Indonesia tahun 2013 adalah 104, 211 juta unit terdiri dari 86,253 juta unit (82,7%), mobil penumpang 10,54 juta unit (10,1%), mobil barang (truk, pick up dan lainnya), 5,156 juta unit (5%) dan mobil bus 1,962 juta (1,9%) dan sisanya kendaraan khusus (Kompas.com,14/04/2014).

Dari sisi pengguna, berdasarkan data BPH Migas tahun 2013, pengguna BBM bersubsidi adalah 1% transportasi laut, 2% untuk keperluan rumah tangga, 5% untuk perikanan dan sisanya 92% untuk transportasi darat. Sebesar 92% transportasi darat penggunanya terdiri dari: 40% sepeda motor, 53% mobil pribadi, 4% mobil barang dan 3% BUS (kata dan data.co.id, 6/06/14). Mungkin dianggap tak tepat sasaran karena 53% pengguna BBM subsidi itu mobil pribadi. Padahal faktanya, tidak semua mobil pribadi itu mobil mewah. Banyak mobil pribadi itu adalah mobil-mobil yang sudah tua yang digunakan oleh orang menengah ke bawah untuk mencari nafkah baik sebagai angkutan orang maupun sebagai alat distribusi produk hasil industri kecil dan menengah.

Data Susenas tahun 2010 mungkin bisa menjadi pembanding: pengguna BBM terdiri dari kelompok menengah bawah dan miskin 65%, menengah 27%, menengah ke atas 6% dan kaya 2%.

Fakta lain menunjukkan, ketika BBM naik maka jumlah orang miskin bertambah. Berdasarkan data BPS tahun 2013, misalnya, setelah terjadi kenaikan BBM, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2013 mencapai 28,55 juta orang (11,47 persen), bertambah 0,48 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 yang sebanyak 28,07 juta orang (11,37 persen). Hal serupa terjadi ketika harga BBM naik pada tahun 2005 yang mengakibatkan kenaikan penduduk miskin dari 35,10 juta menjadi 39,10 juta orang pada tahun 2006. Berdasarkan data tersebut, ketika BBM dinaikkan maka masyarakat yang paling menderita adalah masyarakat miskin. Jadi ketika ketika BBM dinaikkan dan yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat miskin, apakah subsidi itu salah sasaran?

  1. Subsidi membebani APBN?

Subsidi membebani APBN, apakah benar? Benar, kalau sudut pandangnya adalah ekonomi kapitalis. Pasalnya, dalam pandangan kapitalis subsidi adalah barang “haram”. Sebaliknya, dalam sudat pandang ekonomi Islam   “subsidi” adalah bagian dari ri’ayah (pengurusan) seorang kepala negara atau khalifah terhadap rakyatnya. Artinya, subsidi bukan beban negara, tetapi sarana bagi negara untuk mengurus kepentingan rakyatnya.

Apalagi Pemerintah dan para intelektual kapitalis sering tak jujur dalam mengungkap APBN. Mereka selalu menyalahkan “subsidi”. Padahal bicara APBN adalah bicara penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi penerimaan, mengapa tidak pernah ada upaya untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pengelolaan SDA; selalu yang jadi fokus adalah pajak (tahun 2014, misalnya, sumber APBN sebesar 80% dari pajak), yang berarti sebagiannya dari rakyat juga). Lalu di kemanakan hasil SDA kita yang begitu banyak dan beragam?

Dari sudut pengeluaran, mengapa pula yang selalu digugat itu “subsidi”?   Pemerintah dan para ekonom kapitalis jarang menganggap beban pembayaran utang baik pokok maupun bunganya sebagai masalah. Padahal dalam pengeluaran APBN 2014, misalnya, terdapat pos untuk membayar bunga utang dan cicilannya yang mencapai Rp 221 triliun; pembayaran bunga utang sebesar Rp 154 triliun dan cicilan pokok sebesar Rp 66,9 triliun. Siapakah yang menikmati bunga utang tersebut? Tentu negara-negara kreditur seperti Jepang, dan AS, juga lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia dan ADB serta segelintir investor baik individu maupun korporat, yang memegang surat-surat utang yang diterbitkan Pemerintah.

  1. Subsidi untuk kepentingan konsumtif?

Presiden Jokowi dan para ekonom kapitalis menyatakan: Rp 714 triliun subsidi BBM hanya jadi asap.Pernyataan ini mirip dengan ungkapan seorang bapak kepada anaknya, “Sia-sia Bapak memberi kamu makan selama ini karena hanya akan menjadi kotoran yang di buang ke WC.”

Padahal dengan BBM dibakar menjadi asap, jutaan nelayan bisa melaut mencari ikan; jutaan petani bisa menggerakkan traktornya untuk membajak sawah; ribuan perusahaan bisa mendistribusikan barang hasil produksinya; jutaan pelajar dan mahasiswa bisa sampai ke kampus mereka; dst. Hal ini terbukti ketika solar langka akibat pembatasan penyaluran BBM bersubsidi jenis solar. Ribuan Nelayan di Pusong, Lhoksemawe Aceh Tidak tidak melaut (Berita Merdeka, 29/08/14). Hal yang sama juga terjadi di Banda Aceh. Akibat pembatasan penyaluran BBM bersubsidi jenis solar, nelayan di semua daerah di Aceh kesulitan melaut sehingga tidak bisa mencari nafkah. Jika hal ini terus berlanjut, dikhawatirkan nelayan Aceh akan kelaparan (Sinar Harapan, 26/08/2014).

  1. Subsidi bikin rakyat malas?

Faktanya, rakyat selama ini harus membanting tulang untuk bisa bertahan hidup. Ribuan buruh di pabrik-pabrik giat bekerja, kadang-kadang lembur, padahal penghasilannya hanya menutupi kebutuhan ala kadarnya. Di pasar tradisional banyak orang berjualan, kadang-kadang sampai 24 jam, untuk mendapatkan uang agar bisa menghidupi anak dan istrinya. Demikian juga para petani. Mereka banyak yang pergi ke sawah setelah shalat shubuh dan kembali menjelang magrib. Apakah mereka semua dikatakan pemalas?

Justru yang sebenarnya pemalas adalah rezim neo-liberal dan intelektual kapitalis. Mereka malas berpikir kreatif untuk mencari solusi dalam mengatasi masalah migas atau energi. Selalu mereka mencari solusi cepat dan pragmatis, yaitu membatasi subsidi dan menaikkan harga BBM. Anehnya, pada saat yang sama mereka membiarkan sumberdaya alam dijarah oleh para kapitalis baik kapitalis asing maupun kapitalis pribumi. Akibatnya, pendapatan negara hanya mengandalkan dari pajak.

“Kartu Tri Sakti” sebagai Kompensasi?

Rencana kenaikan BBM bersubsidi pasti akan berdampak menyeluruh pada kenaikan harga-harga komoditas dan biaya jasa apa pun. Karena itu setiap rezim kapitalis akan menaikkan BBM selalu diikuti dengan janji manis untuk mengeluarkan berbagai kebijakan antisipatif dalam bentuk program perlindungan sosial, seperti Bantuan Langsung Tunai. Pemerintah juga sering berjanji bahwa subsidi akan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur. Faktanya, BBM sudah dinaikkan beberapa kali tetapi infrasturktur makin parah. Kalau ada pembangunan infrastruktur, itu sebenarnya sudah dianggarkan sebelumnya dalam APBN. Jadi dana hasil penghematan subsidi kadang-kadang tidak jelas, dialihkan untuk kepentingan siapa? Begitu juga rakyat miskin, walaupun mendapat bantuan, jumlahnya selalu meningkat ketika harga BBM dinaikkan. Rezim kapitalis Jokowi yang akan menaikan harga BBM (diperkirakan berkisar Rp 3.000 perliter) itu juga berjanji untuk memberikan kompensasi dalam bentuk program perlindungan sosial untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM dengan meluncurkan “Tri Sakti” yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Sejak awal program ini banyak mendapat kritikan, terutama terkait dengan sumber pendanaan dan prosedur anggaran yang tidak jelas. Karena itu saat ditanya dari mana sumber pendanaannya, jawaban Pemerintah berbeda-beda. Ada yang mengatakan berasal dari dana CSR (Corporate Social Responsibility). Saat dikritik karena dana CSR, apalagi sumbernya perusahaan swasta, pasti ada kepentingan para kapitalis, kemudian diralat dengan mengatakan sumbernya dari APBN-P. Padahal belum ada pembahasan APBN Perubahan. Pasalnya, DPR juga masih dilanda konflik kepentingan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).

Solusi Islam

Semua alasan di atas jelas palsu. Alasan sebenarnya di balik kenaikan harga BBM adalah demi menyerahkan harga BBM ke harga pasar sesuai dengan amanat UU Migas. Ini semua terjadi karena paradigma pengelolaan sumber daya alam menggunakan paradigma sekular kapitalis.

Karena itu Hizbut Tahrir mengajukan solusi Islam: hentikan pengelolaan SDA dengan paradigma sekular kapitalistik; kelola sumber dayaalam termasuk migas dengan syariah dalam institusi Khilafah Islamiyah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.

Mungkin sebagian orang termasuk kalangan intelektual muslim menganggap solusi ini muncul dari kemalasan berpikir. Padahal sejatinya ini merupakan tuntutan ideologis maupun berdasarkan fakta yang muncul dari pemahaman terhadap nash-nash syariah.

Secara faktual, sumberdaya alam sebagian besar cadangan dunia berada di negeri-negeri Muslim. Dalam kasus minyak, misalnya, cadangan terbesar itu ada di Saudi Arabia Arabia 264,6 miliar barel (19,8% cadangan dunia), Iran 137,6 miliar barel (10,3%), Irak 115 miliar barel (8,6%), Kuwait 101,5 miliar barel (7,6%), Unit Emirat Arab 97,8 miliar barel (7,3%), Libya 44,3 miliar barel (3,3%), Kazakhstan 39,8 miliar barel (3,0%) dan Indonesia 4,3 miliar barel (0,3%). Total cadangan dari negeri-negri Muslim tersebut 765,2 miliar barel atau 57,2 % dari cadangan dunia (BP Statistical Reviws of World Energy, 2010).

Secara ideologis, pengelolaan SDA menurut Islam harus oleh negara sebagai wakil dari rakyat, tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ

Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api; dan harganya haram (HR Ibnu Majah).

Ketika berbicara umat Islam tentu tidak hanya Indonesia, tetapi umat Islam yang ada di negeri-negeri Muslim saat ini yang tercerai-berai dengan sekat-sekat nasionalisme. Karena itu saat rezim kapitalis ini sering meminta Pertamina untuk mencari sumberdaya migas yang ada di luar negeri—walaupun ironis karena yang di dalam negeri malah diberikan kepada perusahaan asing—maka saat Khilafah tegak, semua itu akan menjadi milik kaum Muslim. Karena itulah kenaikan harga BBM yang muncul saat ini harus kita tolak karena zalim dan khianat, yang akan meningkatkan jumlah orang miskin baru.

WalLahu’alam. [Dr. Arim Nasim, M.Si. Ak; (Lajnah Maslahiyyah DPP HTI)]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*