Menegakkan Khilafah ar-Rasyidah yang akan menerapkan syariah secara total adalah wajib. Kewajiban itu dinyatakan dalam banyak nash baik al-Quran, Hadis Nabi saw. maupun Ijmak Sahabat. Kewajiban menegakkan Khilafah dengan mengangkat seorang imam/khalifah ini telah disepakati oleh seluruh ulama Sunni, Syiah, Muktazilah dan Khawarij (dari kalangan mazhab akidah); juga ulama Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali (dari kalangan mazhab fikih). Bahkan para ulama telah menyebut kewajiban ini sebagai kewajiban paling agung.
Rasulullah saw. memberikan bisyârah (kabar gembira) bahwa Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah akan kembali lagi. Imam Ahmad di dalam Musnad-nya berkata: Telah berkata Abdullah; telah berkatabapakku; telah berkata Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi; telah berkata Dawud bin Ibrahim al-Wasithi; telah berkata Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir bahwa Hudzaifah ibn al-Yaman berkata, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ» ثُمَّ سَكَتَ
“Di tengah-tengah kalian ada zaman Kenabian. Atas kehendak Allah zaman itu akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkat-nya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian. Khilafah itu akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkat Khilafah itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (pemerintahan) yang zalim. Kekuasaan zalim ini akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (pemerinta-han) diktator yang menyengsarakan. Kekuasaan diktator itu akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan muncul kembali Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian.” (Hudzaifah berkata): Kemudian beliau diam(HR Ahmad dan al-Bazzar).
Saat seruan penegakan Khilafah makin gencar dan sambutan umat pun makin besar, ada suara-suara yang ingin melemahkan hal itu. Mereka menyatakan bahwa hadis tentang bisyarah kembalinya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah ini lemah, karena di dalamnya terdapat perawi Habib bin Salim. Perawi ini dituduh tidak kredibel. Alasannya, karena Imam al-Bukhari berkomentar tentang Habib bin Salim ini: fîhi nazhar (ia perlu diteliti).
Benarkah dengan ungkapan itu Imam al-Bukhari menilai Habib bin Salim perawi dha’if sehingga hadis bisyarah di atas juga dha’if? Jika diteliti dengan seksama ternyata tidak seperti itu.
Tentang Habib bin Salim, Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan: Habib bin Salim al-Anshari maula an-Nu’man bin Basyir sekaligus penulisnya: Abu Hatim berkomentar, “Tsiqqah.” Al-Bukhari berkomentar, “Tentang dia, harus diteliti (fîhi nazhar).” Abu Ahmad bin ‘Adi berkomentar, “Di dalam matan-matan hadisnya tidak terdapat satu pun hadis mungkar.” Aku [Ibn Hajar] berkomentar, “Al-Ajiri menuturkan dari Abu Dawud, “Tsiqqah.” Ibn Hibban menyebutkannya dalam kitabnya “At-Tsiqqât”. Dia pun disebutkan di sana.” (Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, II/161).
Al-Hafizh Ibn Hajar juga menyebutkan di dalam Taqrîb at-Tahdzîb poin 1095: Habib bin Salim al-Anshari mawla an-Nu’man bin Basyir sekaligus penulisnya, ia: lâ ba’tsa bihi min ats-tsâlitsah.
Ibn Hajar juga menyebutkan nama Habib bin Salim, tetapi Habib bin Salim yang lain. Tentang ini, beliau menulis: “Jika ia bukan mawla an-Nu’man [bin Basyir], saya tidak tahu, siapa dia. Al-‘Uqaili telah menolak hadisnya dari an-Nu’man.” (Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, II/161).
Ibn Abi Hatim di dalam Jarh wa at-Ta’dil mengatakan tentang Habib bin Salim al-Anshari, “Bapakku (yakni Abu Hatim) berkata: Ia tsiqah.”
Mengenai maksud perkataan Imam al-Bukhari “fîhi nazhar” (harus diteliti) ketikamengomentari Habib bin Salim, tepatnya dalam kitabnya At-Târîkh al-Kabîr (II/318), al-Bukhari pada poin 2606 berkomentar: “Habib bin Salim, mawla (bekas budak) Nu’man bin Basyir al-Anshari, meriwayatkan hadis dari an-Nu’man; juga meriwayatkan [hadis] dari dia: Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad bin al-Muntasyir, Khalid bin ‘Arfathah dan Ibrahim bin Muhajir. Dia [Habib bin Salim] adalah penulis/sekretaris Nu’man, dia perlu diteliti.” (Lihat: Al-Bukhari, At-Târîkh al-Kabîr, II/318).
Pada poin ke-3347, ketika Imam al-Bukhari menyatakan bahwa Yazid bin an-Nu’man bin Basyir sebagai sahabat Umar bin Abdul Aziz, beliau mengutip pernyataan Habib bin Salim (yang beliau nilai dengan ungkapan: fîhi nazhar).
Perkataan al-Bukhari “fîhi nazhar” (dia harus diteliti) ini sudah banyak dijelaskan oleh para ulama. Al-‘Iraqi berkata dalam kitabnya Syarh al-Alfiyah: ”[Perkataan] “fîhi nazhar” (dia harus diteliti) dan “fulan sakatû ‘anhu” (si Fulan telah didiamkan) merupakan dua perkataan yang diucapkan oleh al-Bukhari mengenai periwayat hadis yang hadisnya ditinggalkan.” (Lihat: Al-‘Iraqi, Syarh al-Alfiyah, II/11).
Adz-Dzahabi berkata dalam mukadimah kitabnya, Mizânu al-I’tidâl: “Perkataan al-Bukhari “fîhi nazhar” (dia harus diteliti) dan ”fî hadîtsihi nazhar” (hadisnya perlu diteliti) tidaklah diucapkan oleh al-Bukhari, kecuali mengenai orang-orang yang dia nilai [tidak kredibel] pada galibnya.” (Lihat: Adz-Dzahabi, Mizânu al-I’tidâl, I/3-4).
Namun, kutipan di atas juga bisa menunjukkan kaidah umum dari perkataan al-Bukhari “fîhi nazhar” (dia harus diteliti), yang memang menunjukkan lemahnya kredibilitas periwayat hadis, namun bukan berarti hadisnya dha’if.
Al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam Al-Ba’its al-Hatsîts fi Ikhtishâri Ulûm al-Hadîts menjelaskan, bahwa jika al-Bukhari berkata tentang perawi (hadis) sakatû ‘anhu atau fîhi nazhar, itu artinya: fa innahu yakûnu fi adna al-manâzili wa ardâ’iha ‘indahu, lakinnahu lathîf al-‘ibârah fi at-tajrîh (perawi itu ada pada tingkat terendah dan beban terberat bagi al-Bukhari, tetapi (al-Bukhari) menggunakan ungkapan yang halus dalam tajrih (menyatakan jarh).”
Namun, dalam kasus Habib bin Salim, perkataan al-Bukhari ini bukanlah merupakan jarh yang kemudian melemahkan hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Pasalnya, terdapat dua qarinah (indikasi) yang dapat mempertahankan kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadis yang dia riwayatkan.
Indikasi pertama: Al-Bukhari menilai sahih hadis yang di dalamnya ada periwayat Habib bin Salim. Kedua: seorang perawi yang dinilai al-Bukhari dengan kalimat “fîhi nazhar” (dia perlu diteliti) boleh jadi dianggap kredibel oleh ahli hadis lain.
Indikasi pertama telah ditunjukkan oleh at-Tirmidzi dalam kitabnya Al-‘Ilal al-Kabîr (I/33). Disebutkan, at-Tirmidzi suatu saat pernah bertanya kepada al-Bukhari mengenai suatu hadis. Hadis ini diriwayatkan oleh Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir, bahwa Nabi saw. dalam dua shalat Id dan shalat Jumat telah membaca surat Sabbihisma Rabbikal A’la dan surat Hal Atâka Hadîstul Ghâsiyah; dan bisa jadi keduanya (Id dan Jumat) bertemu pada satu hari dan Nabi saw. membaca kedua surat itu. Al-Bukhari berkomentar, “Huwa hadits shahih (Itu hadis sahih).” (Lihat: At-Tirmidzi, Al-‘Ilal al-Kabîr, I/33).
Ini jelas menunjukkan bahwa al-Bukhari telah menilai sahih hadis yang perawinya dia nilai sebagai “fîhi nazhar”. Fakta ini menunjukkan, ketika al-Bukhari menilai seorang perawi dengan mengucapkan “fîhi nazhar”, tidaklah selalu berarti hadisnya otomatis lemah (dha’if) dan tak dapat dijadikan hujjah. Contohnya kasus Habib bin Salim ini.
Yang mungkin menjadi pertanyaan, mengapa al-Bukhari tetap mensahihkan hadis yang perawinya ia komentari dengan ungkapan “fîhi nazhar”? Menurut Khalid Manshur Abdullah ad-Durais, hal itu karena al-Bukhari tidak sampai derajat yakin, bahwa Habib bin Salim telah bertemu (liqâ’) atau mendengar (as-samâ’) hadis dari an-Nu’man bin Basyir. Imam al-Bukhari ragu (syakk), apakah Habib bin Salim pernah bertemu (mendengar) hadis tersebut dari Nu’man bin Basyir (Lihat:Khalid Manshur Abdullah ad-Durais, Mawqif al-Imâmayni al-Bukhari wa Muslim min Isytirath al-Liqâ’ wa as-Samâ’, Maktabah ar-Rusyd, t.t., hlm. 120-121).
Namun, ketidakyakinan al-Bukhari ini tak berarti ia secara mutlak tak memercayai Habib bin Salim. Dengan mencermati deskripsi al-Bukhari mengenai biografi Habib bin Salim, akan dapat disimpulkan bahwa al-Bukhari sebenarnya mempunyai dugaan kuat (zhann ghâlib), bahwa Habib bin Salim pernah bertemu (liqâ’) atau mendengar (samâ’) dari Nu’man bin Basyir, walau tak sampai derajat yakin.
Ada dua alasan untuk itu. Pertama: Al-Bukhari menyebut Habib bin Salim adalah mawla (bekas budak). Artinya, dulu Habib bin Salim adalah budak milik Nu’man bin Basyir, lalu Nu’man memerdekakan Habib bin Salim. Jadi, sangat mungkin Habib bin Salim mendengar hadis dari Nu’man bin Basyir. Kedua: Al-Bukhari menyebut Habib bin Salim adalah penulis atau sekretaris Nu’man bin Basyir. Pada galibnya, seorang penulis sering bertemu atau mendengar perkataan dari atasannya. Jadi, sangatlah mungkin Habib bin Salim mendengar hadis dari Nu’man bin Basyir. Kedua alasan inilah kiranya yang menjadikan al-Bukhari tetap menilai sahih hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim (Lihat: Khalid Manshur Abdullah ad-Durais, Mawqif al-Imâmayni al-Bukhari wa Muslim min Isytirath al-Liqâ‘ wa as-Samâ’, Maktabah ar-Rusyd, tt, hlm. 121).
Indikasi kedua: Seorang perawi yang dinilai al-Bukhari dengan kalimat “fîhi nazhar” bisa jadi tetap dianggap kredibel oleh ahli hadis lainnya. Ini sungguh terjadi dan contohnya banyak.
Sebagai contoh Habib bin Salim. Meski al-Bukhari menilai dia dengan “fîhi nazhar”, menurut Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, Ibn ‘Adi, Abu Hatim, Abu Dawud dan Ibn Hiban, Habib bin Salim dianggap tidak ada masalah. Contoh-contoh lainnya banyak diberikan oleh Syaikh Syuaib al-Arna’uth, yang men-tahqiq kitab Siyar A’lam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi (XII/439). Di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, perawi bernama Tamam bin Najih. Al-Bukhari menilai dia: “fîhi nazhar”. Namun, Tamam bin Najih dianggap tsiqah oleh Yahya bin Ma’in. Abu Dawud dan at-Tirmidzi juga tidak meninggalkan hadisnya.
Kedua, perawi bernama Rasyid bin Dawud ash-Shan’ani. Al-Bukhari menilai dia: “fîhi nazhar”. Namun, Yahya bin Ma’in menganggap dia tsiqah. Ibn Hibban memasukkan namanya dalam kitabnya, Ats-Tsiqât. An-Nasa’i juga meriwayatkan hadis dari dia.
Ketiga, perawi bernama Tsa’labah bin Yazid al-Hammani. Al-Bukhari menilai dia: “fî hadîtsihi nazhar” (harus diteliti). Namun, an-Nasa’i berkata, dia tsiqah. Ibn ‘Adi mengatakan, “Aku tidak melihat hadisnya mungkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah) dalam kadar yang dia riwayatkan.”
Demikan seterusnya, banyak sekali.
Jadi, penilaian al-Bukhari “fîhi nazhar” kepada seorang perawi tidak berarti hadis yang dia riwayatkan secara mutlak tertolak atau selalu tertolak. Pasalnya, bisa jadi para ahli hadis lain menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (perawi terpercaya), yang menghimpun karakter ‘adil (taqwa) dan dhabith (kuat hapalannya).
Apalagi tentang Habib bin Salim ini, ia termasuk rijal dalam Shahîh Muslim. Imam Muslim, salah satu murid Imam al-Bukhari, di dalam kitab Shahih-nya pada hadis nomor 2065, juga meriwayatkan hadis dari Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir tentang Rasulullah saw. yang di dalam dua shalat Id dan shalat Jumat membaca “Sabbihisma Rabbika al-A’lâ” dan “Hal atâka hadits al-ghâsyiyah”.
Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam mukadimah kitab sahih beliau. Karena itu bisa dimengerti mengapa Al-Hafizh Ibn Hajar di dalam Taqrîb at-Tahdzîb menyatakan tentang Habib bin Salim ini: lâ ba’sa bihi (tak ada masalah). As-Sakhawi di dalam kitab Fath al-Mughîts menjelaskan bahwa ungkapan lâ ba’sa bihi menurut ulama ilmu ushul al-hadits secara umum adalah tingkat paling rendah untuk menggolongkan perawi sebagai perawi tsiqah. Ibnu Ma’in, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh Ibn Katsir, juga mengungkapkan hal yang senada.
Karena itu hadis tetang kembalinya Khilafah ar-Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah di atas bukanlah hadis dha’if. Al-Hafizh al-‘Iraqi dalam kitab Mahajjat al-Qarbi ilâ Mahabbat al-‘Arab menegaskan bahwa hadis tersebut sahih. Ibrahim bin Dawud al-Wasithi, di-tsiqah-kan oleh Abu Dawud ath-Thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rijal sisanya (termasuk) dijadikan hujjah di dalam (kitab) sahih. Al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawâid mengomentari hadis tersebut, “Diriwayatkan oleh Ahmad dalam tarjamah An-Nu’man, dan al-Bazar lebih lengkap darinya dan Ath-Thabrani dengan sebagiannya dalam Mu’jam al-Awsath, dan para perawi (rijâl)-nya tsiqah.”
Hadis tersebut juga dinilai sahih oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Syuaib al-Arna’uth.
Dengan demikian anggapan bahwa bisyarah nabawiyah akan kembalinya Khilafah adalah dha’if merupakan anggapan yang tidak benar dan keliru. Apalagi bisyarah akan kembalinya Khilafah itu bukan hanya didasarkan pada satu riwayat Imam Ahmad itu saja. Masih banyak hadis lain yang secara maknawisejalan dengan hadis sahih di atas.
Kesimpulan
Kembalinya Khilafah adalah pasti karena merupakan janji Allah dan bisyarah Nabi-Nya. Karena itu menyerang nash-nash syariah, baik al-Quran maupun as-Sunnah, atau memutarbalikkan maknanya demi imbalan dunia yang tidak seberapa, hanya akan sia-sia belaka. Umat Islam pun kini sudah lebih cerdas dan paham tentang Khilafah. Mereka tidak lagi bisa ditipu, siapapun yang menipu mereka.
Maka dari itu, daripada bersusah-payah menghabiskan energi untuk mengaburkan, menyerang atau membelokkan konsep Khilafah, lebih baik berjuang bersama-sama demi tegaknya kembali Khilafah. Pasalnya, apapun upaya untuk menghalangi tegaknya Khilafah tidak akan pernah berhasil karena melawan janji Allah dan bisyarah Nabi-Nya. Padahal janji Allah dan bisyarah Nabi-Nya itu pasti!
WalLahu a’lam. [(Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI)]