Wali adalah seorang kepala daerah yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa dan pemimpin di suatu wilayah (provinsi). Tugas Wali adalah menjalankan semua wewenang yang diwakilkan oleh Khalifah kepada dirinya, baik urusan pemerintahan maupun administrasi, di wilayah ia ditempatkan.
Agar Wali mampu membuat kebijakan yang cepat dan tepat dalam menjalankan tugas-tugasnya, Wali membutuhkan masukan, saran dan informasi dari pihak-pihak yang tahu persis fakta-fakta wilayahnya. Siapakah mereka itu dan apa saja wewenangnya?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Negara Islam pasal 56, yang berbunyi:
Di setiap wilayah terdapat majelis yang para anggotanya dipilih oleh penduduk setempat dan dipimpin oleh seorang wali. Majelis berwenang turut serta dalam penyampaian saran (pendapat) dalam urusan-urusan administratif, bukan dalam urusan kekuasaan (pemerintahan). Hal itu untuk dua tujuan. Pertama: memberikan informasi penting kepada Wali tentang fakta wilayah (provinsi) dan kebutuhannya serta menyampaikan pendapat dalam masalah itu. Kedua: mengungkapkan persetujuan atau pengaduan tentang pemerintahan Wali kepada mereka. Pendapat Majelis dalam masalah pertama tidak bersifat mengikat. Namun, pendapat Majelis dalam masalah kedua bersifat mengikat. Jika Majelis mengadukan Wali maka Wali tersebut diberhentikan (Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, hlm. 17).
Majelis Wilayah
Majelis Wilayah adalah dewan yang mewakili rakyat di pemerintahan daerah. Dalam sejarah tidak dikenal bahwa para wali yang diangkat oleh Rasulullah saw. memiliki Majelis Wilayah. Bahkan tidak ada satu pun dalil bahwa Rasulullah saw. pernah membentuk Majelis Wilayah. Begitu juga halnya dengan Khulafaur-Rasyidin sesudahnya. Dengan demikian Majelis Wilayah tidak termasuk bagian dari struktur pemerintahan, juga tidak termasuk ke dalam ketentuan hukum syariah. Pasalnya, struktur pemerintahan itu adalah setiap kegiatan pemerintahan yang memiliki dalil syariah. Yang tidak memiliki dalil syariah tidak termasuk ke dalam struktur pemerintahan.
Namun, perlu diperhatikan, jika keberadaan suatu perkara merupakan kegiatan cabang yang terkait erat dengan kegiatan yang memiliki dasar/dalil syariah, maka keberadaannya mengikuti kegiatan yang memiliki dasar tersebut. Perkara tersebut termasuk ke dalam uslub (cara) dan wasilah (sarana) yang boleh dilakukan, yakni keberadaannya termasuk ke dalam bidang administratif, yang berfungsi membantu pelaksanaan tugas Wali dengan baik. Jika suatu perkara merupakan kegiatan dasar, atau kegiatan cabang yang memiliki dalil syariah, maka perkara itu harus dijalankan sesuai dengan ketentuan dalil syariah (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 197).
Majelis Wilayah merupakan kegiatan cabang yang terkait dengan kegiatan pemerintahan wilayah (daerah). Wali bertugas untuk menjalankan pemerintahan dan administrasi di wilayah kekuasaannya. Penduduk di wilayahnya adalah yang lebih mengetahui daripada Wali tentang fakta dan realita di wilayahnya. Untuk itu Wali harus memiliki banyak informasi yang membantu dia dalam menjalankan semua tugasnya. Semua informasi itu ada pada penduduk wilayahnya. Jadi, Wali harus merujuk pada penduduk wilayah saat menjalankan kepemimpinannya. Ini dari satu sisi.
Dari sisi yang lain, kepemimpinan Wali atas suatu wilayah harus jauh dari kebencian penduduk di wilayahnya. Pasalnya, jika seorang wali telah dibenci oleh penduduk di wilayahnya, maka Khalifah harus memecat dia. Rasulullah saw. pun pernah memecat al-Ala’ bin al-Hadhrami, seorang amil (penguasa daerah) di Bahrain, karena delegasi Abdi Qais telah mengadukan dia, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqat (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 198).
Dengan demikian keberadaan Majelis Wilayah sebagai dewan yang mewakili rakyat di pemerintahan daerah merupakan keharusan untuk membantu pelaksanaan tugas Wali agar berjalan dengan sempurna. Kaidah fikih menyatakan:
مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Jika suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula.
Orang yang pertama kali menggagas Majelis Wilayah ini adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz adalah wali di Madinah. Jika ia menghadiri Dewan Pimpinan, ia memerintah dan memberikan kebebasan kepada dua orang laki-laki dari kalangan intelektual dan tokoh masyarakat yang ada di depannya. Kepada keduanya ia berkata, “Ini adalah majelis syirrah wa fitnah (pengungkapan kesalahan dan penyimpangan). Tugas kalian berdua adalah mengawasi aku. Jika kalian melihat sesuatu pada diriku yang tidak sesuai dengan kebenaran, maka hendaklah kalian menegur aku dan mengingatkan aku karena Allah SWT.”
Hukum asalnya, Wali merujuk pada penduduk wilayah, dan mereka mengawasi aktivitas Wali. Untuk bisa merujuk pada mereka, maka di sisi Wali harus ada Majelis Wilayah (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 198).
Wewenang Majelis Wilayah
Dalam hal ini Hizbut Tahrir mengadopsi keharusan adanya pemilihan Majelis Wilayah karena dua tujuan. Pertama: untuk memberikan informasi yang selayaknya tentang realita wilayah dan kebutuhan-kebutuhan wilayah tersebut. Hal itu untuk membantu Wali dalam melaksanakan tugasnya dengan bentuk yang dapat memberikan kehidupan yang tenteram dan aman bagi penduduk wilayah tersebut; juga untuk memudahkan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka serta menyediakan pelayanan bagi mereka. Kedua: untuk menampakkan kerelaan dan pengaduan atas pemerintahan Wali kepada penduduk wilayah itu. Dalam hal ini, pengaduan Majelis Wilayah secara mayoritas terhadap kepemimpinan seorang wali mengharuskan pencopotan wali tersebut.
Untuk yang pertama, pendapat Majelis Wilayah tidak mengikat. Untuk yang kedua, pendapat Majelis Wilayah bersifat mengikat; artinya jika Majelis mengadukan Wali dan menunjukkan ketidaksukaannya, maka Wali itu harus dipecat (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 198; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 152).
Keanggotaan Majelis Wilayah
Anggota Majelis Wilayah adalah calon anggota Majelis Umat. Keanggotaannya sama dengan Majelis Umat, yakni setiap Muslim yang memiliki kewarganegaraan Daulah Khilafah. Jika ia sudah balig dan berakal sehat maka ia memiliki hak untuk dipilih menjadi anggota Majelis Wilayah. Ia pun memiliki hak untuk memilih anggota Majelis Wilayah, baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu karena Majelis Wilayah tidak termasuk ke dalam jabatan pemerintahan, juga tidak termasuk dalam cakupan hadis yang melarang seorang wanita menjadi penguasa. Akan tetapi, keberadaan Majelis Wilayah adalah dari sisi syura (menyampaikan pendapat, saran dan masukan). Syura adalah hak wanita, sebagaimana juga menjadi hak pria.
Pada tahun ketiga belas Kenabian, pernah datang kepada Rasulullah saw. 75 orang Muslim yang terdiri dari 73 orang laki-laki dan dua orang wanita. Mereka semuanya membaiat Rasulullah saw. dengan Baiat Aqabah II. Baiat ini merupakan baiat untuk siap bertempur dan berperang, juga merupakan baiat politik. Setelah selesai melaksanakan baiat, Rasulullah saw. bersabda kepada mereka:
«أَخْرِجُوا إِلَيَّ مِنْكُمْ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا يَكُونُونَ عَلَى قَوْمِهِمْ»
Pilihlah untuk aku 12 orang naqib (pemimpin) dari kalian yang bertanggung jawab atas kaum mereka.
Hadis ini merupakan penggalan dari sebuah hadis panjang yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Kaab bin Malik. Perintah Rasulullah saw. dalam hadis tersebut ditujukan kepada semua orang, yakni agar mereka memilih dari kalangan mereka semuanya, tidak dikhususkan untuk laki-laki saja dengan mengecualikan wanita, baik dari sisi orang yang memilih maupun yang dipilih. Nas tersebut bersifat mutlak sehingga tetap berlaku menurut kemutlakannya selama tidak terdapat dalil yang membatasi nas tersebut. Begitu juga dengan nas yang bersifat umum, ia tetap berlaku keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkan nas itu. Di sini terdapat nas yang bersifat umum sekaligus bersifat mutlak. Sebaliknya, tidak terdapat satu dalil pun yang mengkhususkan atau membatasi nas tersebut. Karena itu hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan dua orang wanita tersebut untuk memilih naqib (pemimpin), juga memberikan hak bagi keduanya untuk dipilih oleh kaum Muslim sebagai dua orang naqib di antara mereka (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 154).
Pada suatu hari, Rasulullah saw. pernah duduk dengan ditemani oleh Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab untuk dibaiat oleh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Baiat tersebut tidak lain adalah baiat atas pemerintahan, bukan baiat atas Islam, karena mereka sudah menjadi Muslim. Setelah Baiat Ridhwan yang terjadi di Hudaibiyah, para wanita juga membaiat beliau (Lihat: QS al-Mumtahanah [60]: 12).
Wanita juga memiliki hak untuk mewakili orang lain baik wanita atau laki-laki dalam menyampaikan pendapat dan mewakilkan penyampaian pendapat mereka itu kepada orang lain. Karena wanita memiliki hak meyampaikan pendapat, maka ia juga berhak mewakilkan penyampaian pendapat itu kepada orang lain; karena dalam wakalah (akad perwakilan) tidak disyaratkan laki-laki. Dengan demikian wanita juga berhak mewakili orang lain.
Bahkan Khalifah Umar bin al-Khaththab, ketika menghadapi suatu persoalan, meminta pendapat dan masukan kaum Muslim dalam persoalan itu, baik dalam persoalan yang berhubungan dengan hukum syariah, berhubungan dengan pemerintahan, atau berhubungan dengan salah satu aktivitas negara. Ketika datang suatu persoalan, Khalifah Umar bin al-Khaththab memanggil kaum Muslim ke Masjid. Beliau memanggil laki-laki maupun perempuan. Beliau meminta pendapat dan masukan mereka tanpa kecuali. Beliau pernah menarik pendapatnya sendiri ketika seorang wanita membantah beliau dalam masalah pembatasan besarnya mahar (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 154).
Sebagaimana kaum Muslim berhak untuk menjadi anggota Majelis Wilayah, orang-orang non-Muslim juga berhak memiliki wakil di Majelis Wilayah. Mereka yang mewakili non-Muslim adalah hasil dari pemilihan di antara mereka untuk menyampaikan pendapat sebagai representasi dari orang-orang non-Muslim dalam masalah keburukan penerapan hukum-hukum Islam terhadap mereka dan atas kezaliman yang menimpa mereka yang dilakukan oleh pemerintah.
Hanya saja, non-Muslim tidak memiliki hak menyampaikan pendapat dalam masalah-masalah hukum syariah, karena syariah Islam hanya terpancar dari akidah Islam. Padahal orang non-Muslim meyakini akidah yang bertentangan dengan akidah Islam. Mereka juga meyakini pandangan hidup yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Karena itu pendapat mereka tidak boleh diambil sama sekali dalam masalah hukum-hukum syariah. Adapun terkait yang lainnya, kedudukan non-Muslim dalam Majelis Wilayah sama dengan Muslim dalam menyampaikan pendapat (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 155).
Masa kenaggotaan Majelis Wilayah sama dengan masa keanggotaan Majelis Umat, yaitu lima tahun. Ini adalah pendapat yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 155).
WalLahu a’lam bish-shawab. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mujibah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.