Jokowi, A New Hope. Itulah judul kulit muka majalah Time Asia terbaru edisi akhir Oktober 2014 menyambut pelantikan Presiden Jokowi. Benarkah rezim baru ini memberikan harapan baru? Ini tentu menjadi pertanyaan banyak orang saat ini. Pertanyaan serupa juga dimajukan kepada saya dalam acara Halqah Islam dan Peradaban (HIP) Edisi 53 bertajuk, “Membaca Arah Rezim Baru Jokowi JK,” pada 30 Oktober 2014 lalu. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi bulanan itu Zuhairi Misyrawi (Tim Media Jokowi JK), Eggi Sudjana (Tim Kampanye Probowo Hatta), Ari Junaidi (Dosen Fisip UI) dan saya sendiri.
++++
Kapan sebenarnya kita bisa berharap sebuah pemerintahan baru akan menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik? Sesungguhnya perubahan ke arah yang lebih baik hanya bisa kita harap bila negara ini diatur dengan sistem yang baik dan dipimpin oleh orang yang baik.
Apa sistem yang baik itu? Sistem yang baik itu tentu adalah sistem yang berasal dari Zat Yang Mahabaik. Itulah Allah SWT. Dialah Yang Mahatahu atas setiap ciptaan-Nya. Dia pula Yang bisa menetapkan sistem yang terbaik buat kita, manusia ciptaan-Nya. Adapun pemimpin yang baik adalah pemimpin yang amanah dan mau tunduk pada sistem yang baik tersebut.
Apakah rezim Jokowi–JK dengan Kabinet Kerja-nya itu memenuhi kedua syarat itu? Jelas sekali rezim baru ini tidaklah memenuhi kedua syarat tadi. Karena itu bisa dipastikan, pemerintahan Jokowi JK tidak akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Pasalnya, meski pemerintahan Jokowi JK telah merencanakan banyak hal, khususnya terkait kesejahteraan rakyat, semua masih dalam kerangka sistem lama, yakni sistem sekular-kapitalis-liberal. Sebagaimana terjadi di sepanjang rezim pemerintahan sebelumnya, meski banyak hal dilakukan khususnya di bidang ekonomi, rasio gini (yang menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan masyarakat) malah terus meningkat, dari sebelumnya sekitar 0.31 menjadi 0.43. Itu artinya, sekian banyak program bidang ekonomi selama sekian puluh tahun itu ternyata tidak memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan seluruh masyarakat. Kalaupun memberi efek, efek peningkatan kesejahteraan itu hanya dinikmati segelintir orang saja. Akibatnya, kesenjangan ekonomi pun makin melebar.
Nah, keadaan serupa diyakini akan terjadi lagi di sepanjang pemerintahan Jokowi-JK karena kerangka sistem dan ideologi yang dipakai tidaklah berbeda dengan sebelumnya. Apalagi sejumlah menteri dalam kabinet Jokowi JK adalah pengusaha. Sudah lama diketahui, banyak pogram di bidang industrialisasi di negeri ini, misalnya di bidang otomotif, tidak berjalan bagus karena dikalahkan oleh kepentingan kaum pedagang. Mereka lebih suka berperan sebagai ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) bagi produk otomotif asing ketimbang memproduksi kendaraan sendiri yang memang memerlukan usaha yang lebih keras untuk melakukan riset pengembangan teknologi, disain dan sebagainya. Dengan menjadi ATPM saja mereka sudah untung besar, dengan cara yang lebih mudah dan lebih cepat.
Dominasi kepentingan kaum pedagang pula yang ditengarai amat kuat memengaruhi kebijakan Pemerintah di bidang ekspor dan impor produk pangan khususnya. Akibatnya, sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia—yang notabene adalah negara agraris-maritim dengan lahan pertanian yang sangat luas dan panjang pantai terpanjang di dunia—justru dibanjiri oleh aneka barang-barang produk pertanian dari luar negeri seperti beras, buah-buahan bahkan garam. Akibatnya, nilai tukar petani dari tahun ke tahun terus menurun. Nilai tukar petani (NTP) adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani. Nilai tukar petani merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani. Jadi, alih-alih Pemerintah berhasil mengangkat derajat kesejahteraan mereka, yang terjadi sebaliknya, kebijakan Pemerintahlah yang justru makin memurukkan kehidupan ekonomi para petani.
Oleh karena itu, pantas dipertanyakan: Untuk siapa sebenarnya Pemerintah selama ini bekerja? Pertanyaan serupa tentu layak pula dialamatkan kepada rezim Jokowi-JK. Keputusan Jokowi-JK menaikkan harga BBM menjadi buktiJokowi-JK bekerja bukan demi rakyat, tetapi demi memenuhi kepentingan perusahaan migas asing. Mereka memang sudah lama berharap tidak ada lagi BBM murah sehingga mereka bisa ikut jualan BBM eceran lewat SPBU yang mereka dirikan.
Contoh lain, tahun 2017 nanti, Blok Mahakam yang selama lebih dari 30 tahun dikelola oleh Total Indonesie, perusahaan migas Prancis, akan berakhir masa kontraknya. Kita akan lihat, beranikah Jokowi-JK menarik Blok yang kaya gas itu untuk dikelola sendiri? Selain Blok Mahakam, kontrak tambang emas Freeport juga akan berakhir pada tahun 2021. Mereka telah mengajukan perpanjangan kontrak hingga 2041. Beranikah Jokowi JK menyetop kontrak Freeport itu, dan mengambilnya untuk dikelola sendiri? Bila kontrak Blok Mahakam untuk Total dan Freeport diperpanjang, maka kita juga bisa menilai: untuk siapa sebenarnya mereka bekerja. Yang pasti, rezim Jokowi JK punya beban untuk memenuhi janji-janji kepada sejumlah konglomerat (Kwik Kian Gie dalam acara ILC TV One beberapa minggu lalu dengan tegas menyebut 9 taipan) yang telah mendukung dia. Dari sini saja kita bisa melihat, rezim Jokowi-JK pasti bekerja untuk kepentingan 9 taipan itu.
Jadi, masih percayakah bahwa Jokowi adalah a New Hope?
++++
Kebaikan bisa dilahirkan hanya bila kita hidup dalam sistem kehidupan Islam melalui penerapan syariah Islam secara kaffah. Inilah satu-satunya sistem yang akan membawa rahmatan lil’alamin atau kebaikan bagi negeri ini, sekarang dan yang akan datang. Dengan syariah Islam, seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan diatur dengan cara yang benar. Ekonomi akan tumbuh, stabil dan akan memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat. SDA yang melimpah itu akan dikelola oleh negara untuk rakyat. Dengan syariah akan terwujud sistem pendidikan dan budaya yang akan membentuk SDM yang beriman dan bertakwa serta mampu menjawab tantangan kemajuan zaman.
Karena itu penting sekali kita tetap istiqamah menggerakkan dakwah politis (dakwah siyasiyah). Itulah dakwah demi suatu perubahan politik ke arah Islam berupa tegaknya kehidupan Islam yang di dalamnya diterapkan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah. []