Subsidi BBM itu membebani APBN, juga salah sasaran, karena lebih banyak dinikmati orang kaya. Setiap tahun ratusan triliun rupiah subsidi BBM hangus karena BBM hanya dibakar dan jadi asap. BBM kebanyakan hanya dimanfaatkan untuk kegiatan konsumtif. Demikian kata Presiden Jokowi dengan sangat meyakinkan.
BBM naik itu agar masyarakat sejahtera. Kenaikan BBM justru membahagiakan masyarakat. Demikian kata Wapres JK dengan bangga.
Subsidi BBM selama ini telah membuat rakyat malas. Demikian kata Menteri BUMN Sudirman Said tak kalah tegas.
Itulah di antara alasan-alasan Pemerintah untuk tetap kukuh menaikkan harga BBM November lalu.
*****
Saat ini sepertinya banyak orang ‘mendadak pintar’, tetapi pintar bersilat lidah. Bukan hanya penguasa dan pejabat negara; tetapi juga para politisi, pengamat dan akademisi. Tak jarang, mereka ini pun datang dari segelintir orang yang disebut tokoh agama.
Benarkah subsidi BBM membebani APBN? Faktanya, APBN jebol bukan semata-mata karena subsidi, tetapi karena banyak faktor: korupsi, anggaran yang boros, beban cicilan pembayaran dan bunga utang luar negeri yang terus membebani, dll.
Benarkah subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang kaya? Faktanya, orang kaya di negeri ini minoritas, mayoritasnya menengah ke bawah, bahkan miskin.
Benarkah setiap tahun ratusan triliun rupiah subsidi BBM hangus karena BBM dibakar dan hanya jadi asap? Benarkah subsidi BBM selama ini hanya dimanfaatkan untuk kegiatan konsumtif? Faktanya, dengan BBM dibakar jadi asap itu, jutaan pekerja bisa pulang-pergi ke tempat kerja untuk bekerja; jutaan pelajar dan mahasiswa bisa pulang-pergi ke kampus untuk belajar; jutaan barang bisa terdistribusikan ke berbagai tempat; ribuan pelaut bisa pulang-pergi menangkap ikan di laut; ribuan petani bisa menggerakan traktornya; ribuan pabrik bisa menggerakan mesin-mesinnya; dst.
Benarkah BBM naik itu agar masyarakat sejahtera? Benarkah kenaikan BBM itu membahagiakan masyarakat? Kalau begitu logikanya, naikkan saja harga BBM setinggi-tingginya agar masyarakat makin sejahtera dan makin bahagia.
Benarkah selama ini subsidi BBM telah membuat rakyat jadi malas? Nah, kalau ini namanya ‘maling teriak maling’. Pasalnya, yang malas itu Pemerintah. Tak mau berpikir dan kerja keras. Maunya yang gampang-gampang saja. Saat APBN cekak, solusinya selalu menaikkan harga BBM, meningkatkan penerimaan pajak atau berutang ke luar negeri. Padahal kekayaan alam negeri ini berlimpah-ruah. Migas, barang tambang, hasil hutan, hasil lautnya, dll; semua itu bisa menghasilkan ribuan triliun rupiah pertahun. Mengapa tidak itu saja yang dikelola sendiri, dengan benar, tidak diserahkan kepada swasta atau asing? Anehnya, itu tak pernah mau dilakukan Pemerintah. Jadi, siapa yang pemalas?
Saat dipertanyakan, mengapa harga BBM di dalam negeri dinaikkan saat justru harga minyak dunia turun? “Turun kan sekarang, nanti juga naik lagi,” kata Menko Perekonomian Sofyan Djalil dalam sebuah wawancara dengan TV swasta nasional. Kalau ini ngeles habis namanya.
PDIP, partai penguasa saat ini, adalah partai yang konsisten dan cukup militan selama 10 tahun terakhir dalam menolak kenaikan harga BBM. Alasan PDIP, kenaikan harga BBM selama ini telah menyengsarakan rakyat kecil. Namun, itu dulu, saat PDIP belum berkuasa. Sekarang, saat banyak kalangan mempertanyakan sikap PDIP yang mendukung kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM, dengan enteng dijawab, “Kondisi dulu kan beda dengan sekarang…”
Nah, kalau yang ini namanya munafik!
Para pendukung kenaikan harga BBM pun tak mau kalah. Kata mereka, “Harga rokok rata-rata Rp 14.000 perbungkus nggak protes. Masak BBM naik cuma jadi Rp 8.500 perliter protes.”
Pernyataan ini logis jika: (1) Jumlah perokok sama dengan jumlah pengguna BBM; (2) Kebutuhan masyarakat terhadap rokok sama mendesaknya dengan kebutuhan mereka terhadap BBM; (3) Dampak kenaikan harga rokok sama dengan dampak kenaikan harga BBM terhadap berbagai kebutuhan pokok ratusan juta rakyat negeri ini.
Di suatu daerah, pendukung partai Pemerintah menyebut para penolak kenaikan harga BBM sebagai kawan setan. Mengapa? Kata mereka, subsidi BBM kan selama ini mubazir, karena tak tepat sasaran, sementara menurut agama pelaku mubazir itu kawannya setan.
Memangnya BBM ditumpahkan begitu saja, atau dibakar begitu saja, tanpa sedikitpun manfaatnya. Lagi pula setan itu pelaku kejahatan dan kemungkaran. Di antara kejahatan dan kemungkaran yang disukai setan adalah tindakan penguasa menzalimi serta membuat rakyatnya makin susah dan menderita. Bukankah itu yang terjadi saat Pemerintah menaikkan harga BBM? Jadi, jika kemungkaran ini didukung, siapa sebetulnya yang kawan setan?
Namun, ada pula kelompok yang tampak ‘bijak’ menyikapi kenaikan harga BBM ini. Tak lupa, Hadis Nabi saw. mereka sitir demi mendukung sikapnya. “Kenaikan harga BBM adalah bagian dari takdir yang harus diterima dengan sikap sabar,” kata mereka.
Takdir? Kalau begitu: biarkan saja Pemerintah menaikkan harga BBM setinggi-tingginya; biarkan sumberdaya alam, termasuk migas, tetap dikuasai oleh pihak asing; biarkan pula rakyat makin sengsara dan menderita. Toh, semua itu takdir.
Jika begitu, di mana posisi ikhtiar manusia? Di mana kita meletakkan firman Allah SWT: InnaLllah la yughayyiru ma bi qawm[in] hatta yughayyiru ma bi anfusihim (Allah tak akan mengubah keadaan suatu kaum selama kaum itu tidak mengubah sendiri keadaan mereka/QS ar-Ra’du [13]: 11)? Di mana pula posisi amar makruf nahi mungkar saat kita dihadapkan pada kezaliman penguasa?
‘Ala kulli hal, hendaknya para penguasa takut kepada Allah SWT agar tak mudah bersilat-lidah hanya demi melegitimasi setiap tindakan mereka yang mungkar, zalim dan khianat terhadap rakyat; apalagi hanya demi menyenangkan tuan-tuan kapitalis asing mereka yang notabene kaum kafir penjajah.
Kita pun wajib takut terhadap Allah SWT agar tak gegabah melontarkan pendapat yang tak didukung oleh dalil-dalil syariah yang paling rajih, apalagi tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan. Allah SWT telah berfirman (yang artinya): Janganlah kamu menyatakan sesuatu tanpa ilmu pengetahuan. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban (di Akhirat nanti) (TQS al-Isra’ [17]: 36).
Wa ma tawfiqi illa bilLah.[Arief B. Iskandar]