Era reformasi yang telah berlangsung lebih dari 15 tahun ternyata tidak mengikis keinginan memisahkan diri beberapa daerah di Indonesia. Benih-benih disintegrasi justru kian menguat pada tahun 2014. Padahal berbagai jurus telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengikis semangat disintegrasi tersebut.
Pemekaran Provinsi Papua menjadi dua, yakni Papua dan Papua Barat, tak serta-merta memuaskan sebagian rakyat di wilayah tersebut terhadap pelayanan pemerintah pusat. Justru gerakan yang menginginkan kemerdekaan kian meluas. Jika dulu hanya berkonsentrasi di Jayapura, kini gerakannya telah melebar ke Sorong, Ibukota Papua Barat. Pemberian Otonomi Khusus dengan pengucuran dana triliunan rupiah pun tak mengangkat kesejahteraan rakyat setempat. Sebaliknya, uang yang begitu banyak memunculkan koruptor-koruptor baru. Terbukti puluhan anggota DPRD Papua terpaksa harus mendekam di penjara karena terlibat penggelapan uang rakyat.
Kemiskinan masih menjadi persoalan utama di wilayah paling timur Indonesia. Padahal di sisi lain, wilayah ini adalah memiliki kekayaan alam yang melimpah-ruah. Papua adalah penghasil emas terbesar di dunia. Ini belum termasuk mineral dan tambang lainnya, serta hasil hutan. Ketimpangan inilah yang mendorong sebagian rakyat Papua menginginkan kemerdekaannya. Mereka melakukan dua upaya sekaligus untuk mendorong Papua agar lepas dari Indonesia, yakni secara persuasif dan fisik.
Aksi fisik dilakukan dengan mengangkat senjata. Sudah puluhan kali kelompok bersenjata Papua—Pemerintah menyebut mereka Organisasi Papua Merdeka (OPM)—menyerang aparat keamanan Indonesia (TNI dan Polri) serta warga sipil. Jumlah korban meninggal dan luka-luka sudah lebih dari 40 orang. Ada tentara, polisi, tukang ojek, pegawai negeri sipil, sampai sopir. Hampir setiap bulan ada penyerangan oleh OPM ini. Serangan-serangan sporadis paling tidak terus mengangkat isu Papua ke level nasional. Beberapa kali serangan terjadi di sekitar lokasi tambang PT Freeport, menjadikan isu Papua ini terangkat ke dunia internasional.
Bersamaan dengan aksi fisik ‘pemberontakan’ ini, sebagian warga Papua melakukan kampanye baik nasional maupun internasional untuk referendum. Mereka membuat perwakilan di beberapa negara seperti Inggris, Belanda dan Australia. Mereka juga meluncurkan situs/laman ‘Papua Merdeka’. Tak hanya itu, mereka terus mencari dukungan ke Amerika dan Eropa.
Di dalam negeri ini, aksi kampanye mereka semakin terbuka. Kebanyakan ini dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Misalnya saja di Manado pada Agustus 2014. Sekelompok mahasiswa yang menamakan dirinya Solidaritas Pemuda Mahasiswa dan Masyarakat Papua berunjuk rasa untuk memboikot Pilpres 2014. Menurut mereka, Pilpres bukan solusi bagi Papua. Mereka menginginkan referendum untuk penyelesaian persoalan di Papua.
Puncak aksi mereka terjadi di Jakarta Senin (1/12/2014) bertepatan dengan apa yang mereka sebut sebagai Hari Organisasi Papua Merdeka. Mereka tak segan lagi untuk memperlihatkan identitas mereka. Mereka membawa bendera Papua Merdeka. “Kami bukan NKRI, kami Bintang Kejora!” kata salah satu oratornya.
Dalam aksinya, mereka membawa banner yang berisi antara lain ‘menolak segala bentuk paket UU NKRI di Papua’, ‘menolak pengiriman militer TNI Polri di seluruh Papua’, ‘menolak integrasi Papua lewat Pepera 1969’ dan menolak segala bentuk aturan atau kebijakan yang diatur oleh kolonialis Indonesia di Papua’.
Pendemo mengenakan kaos warna putih berlambang bintang kejora. Di bagian depan kaos terdapat tulisan ‘Free West Papua’. Di bagian belakang kaos, terdapat tulisan ‘hak menentukan nasib sendiri solusi demokratis bagi Papua’.
Keinginan untuk merdeka ini ternyata bukan hanya milik rakyat Papua. Suara-suara menuntut referendum pun muncul pada awal pemerintahan Jokowi-JK. Sekelompok orang di Kalimantan Timur pun menginginkan opsi referendum terkait tidak terwakilinya provinsi ini dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK. Benih-benih keinginan untuk mendapatkan otonomi khusus dan referendum ini telah disuarakan dua tahun sebelumnya.
Yang mengagetkan, November 2014, ada 10 desa di Kabupaten Mahakam Hulu, Kaltim, ingin menjadi bagian dari wilayah Malaysia. Pasalnya, desa-desa di Kecamatan Long Apari, sebuah kecamatan yang berbatasan darat dengan Malaysia, mengalami kelaparan dan kemiskinan yang sangat parah. Mereka merasa tak mendapat perhatian dari Pemerintah. Untungnya, setelah TNI mengirimkan berbagai kebutuhan pokok ke sana, keinginan itu bisa teredam untuk sementara.
Di Kalimantan Barat, keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI bahkan dipelopori oleh gubernurnya sendiri. Gubernur Kalimantan Barat Cornelis yang juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mengancam akan mengajukan referendum bagi provinsi atau daerah jika Jokowi dijegal atau Pilkada tetap dipilih oleh DPRD.
Di Aceh, suara untuk memisahkan diri pun masih terdengar. Pada awal rezim Jokowi-JK, puluhan mahasiswa berunjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menuntut pemerintah pusat menuntaskan turunan Undang-Undang Pemerintah Aceh. Jika tidak diselesaikan hingga Februari 2015, massa yang tergabung dalam Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh (FPMPA) itu mengancam akan melakukan konsolidasi dengan seluruh masyarakat untuk menuntut referendum.
Munculnya semangat distintegrasi di berbagai daerah ini tak lepas dari sistem politik demokrasi. Demokrasi memberikan jaminan kepada semua warganya untuk menyatakan pendapatnya, berserikat dan berkumpul, bahkan melepaskan diri dari sebuah wilayah—hak menentukan nasibnya sendiri. Contoh yang paling nyata adalah lepasnya Timor Timur dari NKRI.
Di sisi lain, sistem kapitalisme dan liberalisme di bidang ekonomi menjadi biang terjadinya kemiskinan struktural. Alih-alih meningkatan kesejahteraan rakyat, sistem kapitalisme justru memunculkan kesenjangan yang kian menganga antara di kaya dan si miskin. Orang-orang kaya—pemilik modal—mendapatkan akses yang lebih luas untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sementara kaum miskin justru kian sulit mendapatkan penghidupan.
Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak asing dan kalangan tertentu untuk mendorong munculnya disintegrasi. Sudah menjadi pengetahuan umum, keinginan referendum di Papua mendapat dukungan dari dunia internasional dan gereja. Bahkan sebagian anggota Kongres Amerika pun secara nyata menyatakan dukungan tersebut dan pernah berkunjung ke Papua. Demikian pula LSM-LSM internasional ada di balik aksi tuntutan referendum Papua. Dukungan gereja terlihat ketika hasil sidang sinode GKI (Gereja Kristen Indonesia) Oktober 2011 yang mendorong Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi orang Papua. Pesan ini sejalan dengan rekomendasi World Allinance of Reform Church 2004.
Berbagai peristiwa di Papua dan tuntutan referendum ala Cornelis memunculkan benang merah peran kalangan Kristen untuk mengobok-obok Indonesia dan menancapkan kukunya. Ini mengingatkan pada peristiwa pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Mereka pun mengancam akan memisahkan diri dari NKRI jika ada tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Gereja ini tidak berjalan sendiri. Mereka mendapat dukungan imperialis, kapitalis dan LSM asing yang notabene seagama, serta suasana yang kondusif bagi sebuah pemisahan diri, yakni adanya hak menentukan nasib sendiri dalam demokrasi. WalLahu a’lam. []