(Tafsir QS al-Insyiqaq [83]: 1-6)
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ، الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ، وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ، أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ، لِيَوْمٍ عَظِيمٍ، يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ،
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang jika menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan jika mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurang. Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, yaitu hari saat manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? (QS al-Muthaffifin [83]: 1-6).
Surat ini dinamakan al-Muthaffifin, diambil dari salah satu kata pada ayat pertamanya. Terdapat perbeda-an pendapat tentang status surat ini, apakah terkatagori Makkiyyah atau Madaniyyah. Menurut Ibnu Mas’ud, adh-Dhahhak dan Muqatil, surat ini tergolong Makiyyah.1 Demikian menurut pula Fakhruddin ar-Razi dan az-Zamakhsyari.2 Menurut az-Zamakhsyari, surat ini turun setelah al-Ankabut dan surat terakhir yang turun di Makkah.3 Di antara alasan mengapa dimasukkan sebagai surat Makkiyyah adalah penyebutan kata asâthîr. Peristiwa kecurangan dalam takaran dan timbangan itu terjadi di Makkah meskipun juga terjadi pada setiap umat, apalagi yang disertai dengan kekufuran mereka.4
Namun, al-Hasan dan Ikrimah menggolongkan surat ini sebagai Madaniyyah. Menurut Ibnu Abbas dan Qatadah, surat ini tergolong Madaniyyah kecuali delapan ayat mulai dari firman Allah SWT: Inna al-ladzîna ajramû. 5
An-Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Saat Nabi saw. datang ke Madinah, penduduknya paling buruk dalam soal takaran. Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya: Wayl li al-muthaffifîn. Akhirnya, mereka pun memperbaiki takaran setelah itu.”6
Lain lagi dengan al-Kalbi dan Jabir bin Zaid. Menurut mereka, surat ini turun di antara Makkah dengan Madinah.7
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wayl[un] li al-muthaffifîn (Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang). Ada beberapa penjelasan tentang makna wayl. Menurut al-Khazin, kata wayl merupakan kata celaan, yang disebutkan saat terjadi bala’ (musibah, bencana). Dikatakan: wayl lahu atau wayl ‘alayhi (celaka dia).8 Menurut Ibnu Athiyah, pengertian wayl adalah ats-tsubûr wa al-hazan wa asy-syaqâ’ al-adûm (kecelakaan, kesedihan dan kesengsaraan yang langgeng).9
Dalam konteks ayat di atas, kata wayl berarti azab yang pedih di akhirat;10 kebinasaan yang permanen lagi besar di setiap keadaan dunia maupun akhirat.11 Menurut Ibnu Abbas, wayl adalah sebuah lembah di Neraka Jahanam yang di dalamnya mengalir nanah-nanah para penghuni neraka.12 Pendapat ini juga diambil oleh Ibnu Jarir ath-Thabari.13 Dalam hadis penuturan dari Abu Said al-Khudri disebutkan Rasulullah saw. pernah bersabda:
وَيْلٌ وَادٍ فِي جَهَنَّمَ ، يَهْوِي فِيهِ الْكَافِرُ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا قَبْلَ أَنْ يَبْلُغَ قَعْرَهُ
Wayl adalah lembah di Neraka Jahannam, orang kafir dijatuhkan ke dalamnya selama empat puluh tahun sebelum akhirnya sampai ke dasarnya (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan al-Hakim).
Kecelakaan, azab yang pedih dan lembah di Neraka Jahanam itu ditimpakan kepada al-muthaffifîn. Kata tersebut berasal dari kata ath-thafîf, artinya al-qalîl (sedikit, ringan).14 Al-Tathfîf berarti mengambil sesuatu yang amat sedikit pada takaran dan timbangan.15 Selain barang yang diambil sedikit, juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebab, jika yang diambil banyak, tentu akan dilarang (oleh mitra jual-belinya). Meskipun sedikit, namun terlihat, juga akan dilarang. Oleh karena itu, ath-tathfîf adalah mengurangi sesuatu yang sedikit pada takaran dan timbangan secara tersembunyi.16
Kata al-muthaffif merupakan bentuk fâ’il (kata benda pelaku) dari kata ath-tathfîf. Dengan demikian al-muthaffif adalah al-muqill (orang yang mempersedikit atau mengurangi) hak pemiliknya dengan mengurangi haknya dalam takaran dan timbangan.17
Al-Muthaffif juga bermakna, “Orang yang mempersedikit hak pemiliknya untuk diberikan secara penuh dan sempurna dalam takaran dan timbangan.18
Al-Zajjaj berkata, “Sesungguhnya pelakunya disebut muthaffif karena dia nyaris tidak mencuri dari takaran dan timbangan kecuali hanya amat sedikit dan ringan.19
Gambaran tentang orang-orang yang berlaku curang itu kemudian disebutkan dalam ayat berikutnya: al-ladzîna idzâ [i]ktâlû ‘alâ al-nâs yastawfûn ([yaitu] orang-orang yang jika menerima takaran dari orang lain minta dipenuhi). Ini merupakan sifat khusus al-muthaffifîn yang diturunkan ayat ini untuk mereka; atau sifat yang menyingkap keadaan mereka dan menjelaskan cara kecurangan mereka yang berhak mendapatkan al-wayl.20
Kata al-iktiyâl berarti al-akhdz bi al-kayl (menerima dengan takaran), sebagaimana al-ittizân berarti menerima dengan timbangan.21 Ayat ini menggambarkan bahwa ketika mereka menerima sesuatu dari orang lain dalam pembelian dan semacamnya, mereka mendapatkannya dengan takaran yang sempurna.22
Menurut ath-Thabari, “Orang-orang yang jika menerima takaran dari orang lain berupa sesuatu yang menjadi hak mereka, mereka meminta untuk dipenuhi sehingga mereka pun menerima sesuatu dari mereka dengan takaran yang sempurna.”23
Bahkan tak hanya sempurna, kata yastawfûn di sini juga berarti memperoleh hak mereka secara sempurna beserta ada kelebihan.24
Kemudian dibeberkan lagi sifat lainnya dengan firman-Nya: Wa idzâ kâlûhum aw wazanûhum yukhsirûn (dan jika mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi). Sikap berbeda mereka tunjukkan manakala mereka berposisi sebagai penjual. Ketika mereka menakar dan menimbang barang untuk orang lain, mereka: yukhsirûn.
Menurut Ibn Katsir, pengertian yukhsirûn di sini adalah yanqishûn (mengurangi). Penafsiran yang sama juga dikemukakan ath-Thabari.25 Menurut Ibnu Athiyah, “Mereka merugikan jika menakar dan menimbang.”26
Kemudian Allah SWT berfirman: Alâ yazhunnu ulâika annahum mab’ûtsûn (Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan). Frasa alâ yazhunnu merupakan bentuk inkâr wa ta’jîb ‘azhîm (pengingkaran dan keheranan yang besar) disebabkan oleh keadaan mereka yang berani melakukan kecurangan. Seolah-olah tidak terbayang dalam benak mereka dan sama sekali tidak menyangka bahwa annahum mab’ûtsûn (sesungguhnya mereka dibangkitkan) dan amal mereka dihisab hingga sebesar dzarrah dan biji sawi.27
Al-Baidhawi juga berkata, “Sesungguhnya orang yang menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan, tidak akan berani melakukan tindakan tercela itu. Lalu bagaimana dengan orang yang meyakininya? Di sinilah terdapat pengingkaran dan menyatakan keheranan atas keadaan mereka.”28
Dilanjutkan dengan firman-Nya: Li yawm[in] ‘azhîm[in] (pada suatu hari yang besar). Mereka dibangkitkan pada yawm ‘azhîm (hari yang besar). Yang dimaksud dengan yawm ‘azhîm (hari yang besar) itu adalah Hari Kiamat.29 Disebut demikian karena besarnya urusan, yakni: urusan yang menyeramkan dan amat mengerikan.30
KemudianAllah SWT berfirman: Yawma yaqûm al-nâs li Rabb al-‘âlamîn ([yaitu] hari [ketika] manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam). Ayat ini menerangkan tentang hari terjadinya peristiwa mereka dibangkitkan itu, yakni pada hari ketika manusia berdiri menghadap kepada Tuhannya.
Menurut Ibnu Katsir, ketika itu mereka berdiri dalam keadaan telanjang, tidak menggunakan alas kaki, dan tidak bersunat. Orang-orang-orang jahat berada dalam posisi yang sulit, sempit dan susah; diliputi dengan sesuatu yang melemahkan kekuatan dan indera mereka.31
Beberapa Perkara Penting
Banyak perkara penting yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Pertama: haramnya berbuat curang dalam timbangan dan takaran serta ancaman keras kepada pelakunya. Sebagaimana telah diterangkan, kata wayl merupakan celaan. Kata ini biasa disebutkan ketika terjadi bencana. Dalam konteks ayat ini, kata tersebut berarti azab yang pedih di akhirat atau nama sebuah lembah di neraka. Semua hukuman itu ditimpakan kepada orang-orang yang melakukan kecurangan dalam timbangan dan takaran.
Selain ayat ini, perintah menyempurnakan timbangan dan takaran dalam jual-beli serta larangan untuk berbuat curang juga disebutkan dalam beberapa ayat lain (Lihat, misalnya, QS ar-Rahman [55]: 9; QS al-Isra’ [17]: 35 dan al-A’am [6]: 152). Hal yang sama terdapat pula dalam beberapa Hadis Nabi saw.
Selain hukuman yang bersifat individual, kecurangan yang meluas juga akan mengundang bencana yang menimpa suatu masyarakat secara massal. Dari Ibnu Umar ra:
أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ – وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
Rasulullah menghadap kami lalu mengatakan, “Hai orang-orang Muhajirin, ada lima perkara yang jika kalian tertimpa dengan itu—dan aku berlindung kepada Allah untuk kalian tertimpa dengan itu— … (lalu beliau mengatakan) dan tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka tertimpa oleh paceklik, kesusahan (dalam memenuhi) kebutuhan dan kejahatan penguasa…” (HR Ibnu Majah).
Patut dicatat, keberadaan takaran dan timbangan dalam jual-beli merupakan sesuatu yang amat penting. Dengan takaran dan timbangan itulah dapat diukur jumlah barang yang dibeli dapat diukur dengan tepat. Jika timbangan dan takaran yang digunakan sebagai pedoman sudah bermasalah dan tidak tepat, lalu dengan ukuran apa manusia melangsungkan jual-beli secara adil dan tidak dirugikan?
Selain itu, kewajiban memenuhi timbangan dan ancaman keras bagi pelakunya merupakan salah satu bentuk perlindungan Islam terhadap harta manusia; bahwa harta kepemilikan tidak boleh diambil secara tidak sah. Jika mengambil hak orang lain dengan jumlah yang amat sedikit saja seperti itu hukumannya, maka betapa kerasnya siksa yang diterima oleh orang-orang yang mengambil harta orang lain dengan jumlah yang lebih banyak!
Kedua: Kepastian manusia dibangkitkan pada Hari Kiamat dan berdiri menghadap Allah SWT. Ini merupakan perkara akidah yang wajib diimani dan haram diingkari.
Mengenai bagaimana manusia berdiri pada hari itu diberitakan dalam banyak hadis. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
(يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ) حَتَّى يَغِيبَ أَحَدُهُمْ فِى رَشْحِهِ إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ
Pada hari manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam, ada salah seorang di antara mereka yang terbenam dengan keringatnya sampai pada kedua daun telinganya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ketiga: Keterkaitan iman dan amal. Dalam ayat ini dapat dipahami dengan jelas bahwa perilaku curang mereka disebabkan karena mereka tidak mengimani Hari Kiamat. Seandainya mereka beriman dan meyakini bahwa mereka akan dibangkitkan pada Hari Kiamat, dihisab semua amalnya dan diberi balasan atas semua amalnya, niscaya mereka tidak akan melakukan perbuatan yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka itu. Jika sudah terlanjur, mereka segera bertobat, berhenti dan tidak akan mengulangi.
Dengan demikian pelanggaran manusia terhadap syariah merupakan tanda bagi lemahnya, bahkan tiadanya iman pada diri orang tersebut. Sebaliknya, keimanan yang lemah, atau bahkan tidak ada akan mendorong pelakunya berbuat maksiat.
Amat banyak ayat dan hadis yang mengaitkan antara keduanya. Misalnya, Allah SWT mempertanyakan orang-orang yang mengaku beriman namun justru lebih memilih berhukum kepada thaghut (QS an-Nisa’ [4]: 60).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 346.
2 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 82; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 718.
3 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 718.
4 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 449.
5 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 346.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 346.
7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1964), 250.
8 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 403; Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 82.
9 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 449.
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 250; As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 556.
11 Al-Biqa’, Nazhm ad-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islamiy, tt), 311.
12 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 250.
13 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Rislah, 2000), 277.
14 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 250.
15 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1996), 482; Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-A’Arabiy, 1998), 294; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 718;
16 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 82.
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 250.
18 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 277.
19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 250; As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 556.
20 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 274.
21 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 82.
22 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 274.
23 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 278.
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 346.
25 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 346l; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 278.
26 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 450.
27 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 719.
28 Al-Baidhawi, Anwâal-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 294.
29 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 450; As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 556
30 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 278.
31 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 347.