Januari 2014 merupakan awal implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diamanahkan oleh UU SJSN dan UU BPJS. Dalam aspek kesehatan, program tersebut mewajibkan seluruh warga negara menjadi anggota untuk membayar premi setiap bulannya. Untuk penduduk yang dikategorikan tidak mampu mendapat subsidi APBN yang disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI). Tahun ini nilainya mencapai Rp 19.9 triliun atau sebesar Rp 19.225 perorang perbulan untuk 86,4 juta jiwa selama 12 bulan.
Kebijakan yang dibantu oleh ADB dalam persiapan teknisnya itu telah mengalihkan kewajiban untuk menanggung biaya kesehatan yang seharusnya dipikul oleh Pemerintah kepada publik. Akibatnya, beban hidup yang harus ditanggung oleh publik dalam mendapatkan hak-hak dasar mereka semakin besar. Selain itu, pola kesehatan dalam Jaminan Kesehatan tersebut sangat diskriminatif; hanya mereka yang mampu membayar lebih mahal yang dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Adapun penduduk miskin harus puas mendapat layanan kelas III. Kondisi ini diperparah dengan kapasitas layanan kesehatan seperti Rumah Sakit dan Puskesmas yang masih sangat terbatas. Akibatnya, banyak dari mereka tidak tertangani dengan baik sehingga kondisi kesehatannya menjadi lebih buruk.
Di sisi lain, dengan semakin bertambahnya peserta maka pendapatan yang dapat diraup oleh BPJS semakin besar, sementara klaim yang mereka bayarkan lebih rendah. Surplus ini selanjutnya dimanfaatkan oleh wali amanah yang bersifat independen, diinvestasikan pada lembaga-lembaga keuangan seperti perbankan dan pasar modal. Sebagaimana halnya dengan lembaga-lembaga asuransi lainnya, pendapatan yang dapat diraup oleh pengelola akan semakin besar.
Karena itulah walaupun tahun 2014 ini baru diwajibkan bagi PNS, TNI dan karyawan swasta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mulai memaksa rakyat untuk ikut dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ada isu yang berkembang bahwa BPJS memberi waktu masyarakat untuk mendaftarkan diri sebelum 2015. Jika tidak, masyarakat yang tidak memiliki kartu BPJS tidak akan mendapatkan layanan publik.
Menurut Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Nasrudin, pekan ini Pemerintah masih membahas penerapan sanksi dalam program BPJS, terutama kesehatan. Lembaga yang terlibat antara lain BPJS Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Perdagangan (Kemendag) dan Kepolisian. Sanksi yang dapat dijatuhkan bagi orang yang melanggar regulasi terkait BPJS berupa administrasi, denda dan pidana. Untuk itu dalam penerapan sanksi, terutama administratif, BPJS Kesehatan harus menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga Pemerintah yang menggelar pelayanan publik, seperti Kepolisian terkait dengan pengurusan izin mengemudi (SIM). Hal ini mengacu pasal 17 UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Nasrudin menjelaskan, pemberi kerja selain penyelenggara negara yang tidak mendaftarkan dirinya dan pekerjanya menjadi peserta BPJS serta tidak memberi data yang benar maka dijatuhi sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda dan atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Karena itulah Nasrudin mengingatkan agar perusahaan segera mendaftarkan diri dan pekerjanya menjadi peserta BPJS, khususnya Kesehatan.
Mulai 1 Januari 2015 sanksi itu secara bertahap mulai diterapkan. Ia memperkirakan untuk tahap awal, BPJS Kesehatan akan melayangkan surat teguran kepada pemberi kerja yang melanggar ketentuan dan sanksi pidana. Dikatakan Nasrudin, sebagaimana pasal 55 UU BPJS, sanksi dapat diberikan kepada pemberi kerja yang tidak menunaikan kewajibannya membayar iuran kepada BPJS. Pidana yang dijatuhkan berupa penjara paling lama 8 tahun atau denda Rp 1 miliar (http://www.hukumonline.com). Ancaman BPJS ini telah menyebar luas terutama lewat media sosial. Sebagian masyarakat ketakutan dengan ancaman tersebut sehingga mereka berbondong-bondong ke kantor BPJS. Sebagian lagi tak peduli karena memang tidak tahu. Namun, sosialisasi ‘ancaman’ itu nyata adanya. Seperti dikutip Sinarmedia, di Majalengka, Jawa Barat, misalnya, Kepala BPJS Majalengka Utami Sri Rahayu mengatakan, mulai awal tahun depan baik mandiri atau kolektif seluruh masyarakat diharapkan sudah mengikuti program BPJS kesehatan jika tidak ingin dikenakan sanksi pelayanan publik.
Ironisnya, walaupun janji-janji yang diberikan kepada peserta itu BPJS akan mendapat pelayanan yang baik, faktanya justru sebaliknya. Menurut Achmad Sya’roni, salah seorang peserta BPJS, programnya malah membuat pasien/peserta sengsara. Kalau memang tidak siap menangani hal tersebut, kembalikan saja pada program Jamsostek yang dulu atau belajar dulu pada Jamsostek yang lebih profesional. Saat ini, saya benar-benar menyatakan bahwa BPJS kesehatan adalah “Bikin Peserta Dijamin Sengsara”. (http://www.republika.co.id).
Dari sisi pengelolaan, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada lima titik rawan korupsi terkait pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan. Lima titik rawan korupsi tersebut berada pada investasi dana BPJS selaku badan, investasi dana jaminan sosial, potensi korupsi saat pengalihan aset, potensi korupsi penggunaan dana operasional dan potensi korupsi saat pembayaran fasilitas kesehatan.
Karena itulah sejak diundangkan Hizbut Tahrir menolak Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sebenarnya merupakan bagian dari Konsesus Washington dalam bentuk Program SAP (Structural Adjustment Program) yang diimplemetasikan dalam bentuk LoI antara IMF dan Pemerintahan Indonesia untuk mengatasi krisis. Namanya terdengar bagus, Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya ternyata hanya mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Artinya, itu adalah upaya privatisasi pelayanan sosial khususnya di bidang kesehatan. []