HTI

Refleksi (Al Waie)

Densus 88 Masih Terus Menebar Kebiadaban

Detasemen Khusus 88 Mabes Polri tak berubah. Detasemen yang pembentukannya disponsori oleh Amerika Serikat dan Australia ini tak menggubris rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 2013.

Komnas HAM menemukan adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan di Poso terkait penganiayaan orang-orang yang tak bersalah. Di antaranya termasuk pembunuhan terhadap 12 orang yang bukan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terduga teroris. Maka dari itu, Komnas HAM mendesak Pemerintah melakukan evaluasi dan pengawasan yang sangat ketat terhadap pola kerja pemberantasan terorisme, khususnya Densus 88. Tak hanya itu, Komnas HAM mendesak Pemerintah melakukan redefinisi terhadap istilah “teroris” agar tidak dianggap sebagai stigmastisasi terhadap kelompok tertentu, yang bisa menimbulkan perasaan diskriminatif sehingga berpotensi mengusik kerukunan antar umat beragama.

Faktanya, pada awal Januari 2014, rakyat Indonesia kembali disuguhi aksi Densus 88 melakukan pembunuhan di luar pengadilan (extra judicial killing) terhadap terduga teroris di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Pembunuhan terhadap enam orang yang dituding sebagai terduga teroris ini pun bak sebuah tontonan sinetron—sama dengan dulu ketika Densus menangkap teroris di Temanggung, Jawa Tengah. Bagaimana tidak. Aksi Densus 88 itu disiarkan secara live oleh stasiun televisi—suatu yang hanya ada di Indonesia.

Dalam drama selama 10 jam itu, Densus 88 pada akhirnya menembak mati orang-orang yang diduga teroris tersebut. Aksi tersebut memunculkan banyak kecaman dari berbagai kalangan. Pasalnya, banyak kejanggalan yang muncul. Mengapa tidak bisa menangkap mereka dalam keadaan hidup? Padahal polisi lebih canggih peralatannya. Mengapa butuh waktu hingga 10 jam kalo toh akhirnya mereka harus dibunuh?

Salah satu kerabat korban yang tidak mau disebut namanya sangat yakin bahwa sebenarnya Densus 88 telah menangkap semuanya dalam keadaan hidup. “Kalau sudah mati, mengapa mereka disiksa? Kan begitu logikanya. Semua ketika masih hidup disiksa. Jadi ketika masih di dalam mungkin sudah menyerah, lalu disiksa kemudian dieksekusi di tempat. Hanya menyisakan Ato Margono,” ujarnya kepada mediaumat.com usai proses pemakaman lima dari enam korban kebiadaban Densus 88, Sabtu (4/1) di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur.

Kondisi mengenaskan terlibat pada jenazah korban. Kerabat yang turut memandikan keenam korban tersebut menyatakan semua korban mengalami luka penganiayaan serius, mulai dari atas pinggang sampai kepala. “Dapat dilihat dari semua mayat, tanpa kecuali. Yang paling parah Rizal dan Edo. Edo kepalanya hampir pecah. Kalau Fauzi itu, kita lihat hidung dan giginya patah. Kemudian di samping kuping kiri ada bekas luka tembak, sudah dijahit. Rizal mukanya hancur terutama wajah bagian kanan sehingga mata kanannya seperti hilang. Kalau saya lihat hancur karena disiksa pakai popor senjata.”

Yang menyesakkan, ketika kepolisian menggelar barang bukti yang didapatkan di rumah kontrakan di Jalan KH Dewantoro Gang H Hasan RT 04/07 Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan itu, empat di antara 31 barang bukti itu adalah al-Quran. Tindakan Densus 88 Mabes Polri menjadikan al-Quran sebagai barang bukti terorisme dianggap sebagai tendensius. Banyak kalangan mengecam tindakan tersebut.

Aksi Densus itu terus berlanjut. Densus 88 Polri menembak mati Nurdin saat dia sedang shalat Ashar di rumah orangtuanya di Desa O”o, Kecamatan Dompu, Sabtu 20 September 2014. Terjangan timah panas Densus menembus kepala dan lehernya. “Kami sekeluarga sangat terpukul dan tidak terima dengan cara Densus. Pasalnya, saat itu aku dan suamiku sedang shalat berjamaah di rumah mertuaku. Kami shalat berdua dan beliau imamnya. Namun, beberapa saat kemudian Densus langsung masuk dengan menendang pintu rumah dan langsung menembak suamiku yang sedang shalat, kepala pecah dengan otak berserakan serta bagian leher tembus oleh peluru,” ungkap istri almarhum Nurdin. Ia pun menolak tuduhan dusta aparat tentang suaminya.

“Kami juga tidak menerima penemuan sebuah bom yang ditemukan oleh Densus, karena saya yakin, sejak kami datang dari Bima, kami tidak membawa yang namanya bom,” katanya.

Di antara dua aksi eksekusi biadab tersebut, Densus melakukan sejumlah penangkapan terhadap orang-orang yang dicap sebagai teroris. Di Klaten, Densus menangkap lima orang pada Kamis (15 Mei 2014). Berikutnya pada Sabtu (9 Agustus 2014), Densus menangkap seorang yang diduga terkait jaringan teroris di sebuah rumah toko di Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat. Terduga teroris ini dikaitkan dengan jaringan teroris Aceh 2010. Tak lama berselang, Densus bersama Polda Metro Jaya mengamankan Ketua Harian Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Ustad Afif Abdul Majid alias Afif di Jatiasih. Berdasarkan informasi, Afif diduga terlibat pendanaan terhadap Ubaid di Aceh pada 2010. Tak hanya itu, kepolisian juga mensinyalir Afif terlibat deklarasi “Islamic State of Iraq and Syria” (ISIS).

Sejauh ini paradigma Densus 88 tak berubah. Mereka dengan sadis menembak orang dan belakangan baru membuat pernyataan. Bahkan kepolisian sendiri tak pernah minta maaf meskipun beberapa korban kekejian Densus 88 ini bukanlah orang yang masuk dalam DPO.   Anehnya, Pemerintah sendiri tak ambil pusing terhadap aksi eksekusi di luar pengadilan ini. Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)—organisasi yang dibentuk untuk menangani teroris—justru membuat stigmatisasi negatif terhadap umat Islam. Pemerintah belum beranjak untuk tidak menyebut bahwa teroris adalah Muslim. Orang yang diduga teroris selalu dituduh berupaya mendirikan Negara Islam, penegakan syariah dan Khilafah, serta jihad ke Suriah.

Tindakan kekejaman Densus itu sendiri telah menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat, apalagi ditambah stigmatisasi negatif. Ini akan berdampak luar biasa di tengah masyarakat. Pasalnya, masyarakat akan semakin menjauhkan diri untuk mempelajari Islam secara utuh karena khawatir akan mengundang Densus 88 berlaku sewenang-wenang.

Bila ditengok ke belakang, operasi Densus 88 tak bisa dilepaskan dari program Global War on Terrorism yang dicanangkan oleh Amerika Serikat. Ini tertuang dalam National Strategy Security 2010. GWoT-nya AS merupakan kedok untuk menutupi maksud sesungguhnya yakni memerangi Islam (war on Islam). Ketika Indonesia ikut program ini, secara langsung ataupun tidak lansung, negara ini juga ikut serta dalam memerangi Islam.

Entah kebetulan atau tidak, sebelum aksi penggerebekan oleh Densus 88 di Ciputat awal tahun 2014, beberapa jam sebelumnya Pemerintah Australia mengeluarkan Travel Warning. “Pihak berwenang Indonesia sudah memperingatkan bahwa kelompok ekstremis mungkin berencana menyerang gereja di Jakarta dan di tempat lain di Indonesia, menjelang perubahan ke tahun 2014,” demikian bunyi peringatan tersebut.

Ini mengingatkan pada peristiwa pengeboman Hotel JW Marriot dan Ritz Charlton, pertengahan 2009. Sebelum bom meledak, Pemerintah Australia memberikan travel warning kepada warganya agar tak berkunjung ke Indonesia. Hal serupa terjadi pada pengeboman lainnya: Bom Bali I dan II serta Kedubes Australia (2004). Sesaat sebelum kejadian Australia pun mengeluarkan travel warning. Inilah tabir yang mulai terbuka bahwa Densus 88 bekerja untuk mereka: memerangi Islam! []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*