Pada tahun 2014 , lagi Israel menunjukkan kebiadabannya. Serangan massif dilakukan tentara pendudukan Yahudi mulai awal Juli hingga awal Agustus 2014. Selama serangan 50 hari itu penduduk Gaza mengalami penderitaan yang luar biasa. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, 1.880 warga Palestina terbunuh (79,7% di antaranya laki-laki) dan 9.400 lainnya luka-luka, 80% di antaranya adalah warga sipil. Kebanyakan di antaranya berusia antara 16 dan 35 tahun. Angka yang mendekati sama disampaikan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs. Dalam laporannya disebutkan bahwa 1.717 warga Palestina terbunuh, 85% di antaranya adalah warga sipil. Lebih dari 269.800 orang yang kehilangan tempat tinggal mengungsi di sekolah-sekolah PBB. Sebanyak 138 sekolah dan 26 fasilitas medis rusak. Selain itu, lebih dari 14.130 rumah hancur atau rusak akibat serangan udara.
Atas tindakan itu, organisasi HAM Amnesty International pada awal Desember 2014 mengatakan Israel telah melakukan kejahatan perang di Gaza dengan penghancuran “secara sengaja dan langsung” empat bangunan gedung tinggi yang dihuni warga sipil. Dalam laporan Senin (8/12), Amnesty mengatakan militer Israel tidak mengambil langkah-langkah pencegahan yang memadai guna memperkecil jumlah korban dan harta-benda sipil dalam perang selama 50 hari dengan Hamas. Amnesty mengatakan banyak warga Gaza cedera dan ratusan lainnya kehilangan rumah, bisnis dan barang pribadi akibat pemboman itu. Amnesty juga mengatakan pemerintah Israel tidak menanggapi permintaan untuk merespon berbagai tuduhan dalam laporan itu.
Blokade Zionis Yahudi ini telah membuat rakyat Gaza hidup di bawah garis kemiskinan. Komite Rakyat Melawan Blokade mengatakan bahwa 90 persen warga di Jalur Gaza, terutama kalangan mudanya, hidup di bawah garis kemiskinan. Komite menyatakan dalam siaran pers, pada hari Jumat (17/10), bahwa Jalur Gaza yang diblokade Israel sejak tahun 2006, saat ini tercatat sebagai wilayah dengan tingkat kemiskinan tertinggi.
Selama serangan brutal Zionis Yahudi ke Gaza tidak terlihat ada upaya nyata dari Dunia Islam untuk menghentikan agresi itu. Yang dilakukan hanyalah sebatas retorika kutukan atau persiapan untuk pengiriman bahan makanan, obat-obatan, peralatan dan tenaga medis. Itupun, seperti yang sudah-sudah, belum tentu bisa lancar masuk ke wilayah Gaza karena terhambat di perbatasan atau sengaja dihalang-halangi Israel. Akibatnya, korban lama tidak segera mendapat pertolongan, sementara korban baru terus berjatuhan.
Yang paling keterlaluan adalah Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas. Di tengah situasi seperti itu, alih-alih bersikap tegas, ia malah mengiba. Dalam konferensi perdamaian yang diselenggarakan di Tel Aviv pada 8 Juli ia memohon untuk normalisasi hubungan dan perdamaian dengan entitas penjajah Yahudi, apa yang dia sebut sebagai “tetangga kami Israel”. Sementara itu, rezim Mesir dan negara Arab lain tetap bungkam, tak berbuat apapun, seolah di depan mereka tidak terjadi apa-apa.
Pengkhianatan yang nyata dilakukan oleh Mesir. Alih-alih mengirimkan pasukannya untuk membebaskan Gaza, Mesir selama serangan malah menghalang-halangi masuknya tim medis serta bantuan obat-obatan dan pangan masuk ke Gaza melalui Pintu Raffah. Padahal Pintu Raffah merupakan harapan satu-satunya Rakyat Gaza selama ini untuk mendapatkan bantuan pangan dan obat-obatan.
Tak hanya itu, setelah serangan masif berakhir, Mesir malah menutup Pintu Raffah. Rezim diktator Mesir membangun zona penyangga perbatasan Mesir dan Gaza dengan menghancurkan perumahan di Sinai untuk kepentingan keamanan Zionis Israel. Sebagaimana yang diwartakan BBC online (31/10), militer Mesir memberikan waktu 48 jam kepada penduduk di sepanjang perbatasan Palestina untuk pergi.
Proyek membangun wilayah penyangga ini tidak lain merupakan kepatuhan rezim militer Mesir terhadap zionis Israel, untuk menjaga keamanan mereka. Secara militer, Israel melihat selama ini torowongan telah digunakan pejuangan Palestina untuk memasukkan senjata. Zona penyangga ini merupakan proyek Israel untuk melemahkan perlawanan.
Surat kabar Israel itu mengatakan zona penyangga dibangun sepanjang 14 km dan lebar 300 meter. Untuk menghindari penyelundupan, dibuat saluran air berasal dari laut yang dalamnya 50 meter dan lebarnya 20 meter, di sepanjang perbatasan Mesir dengan Jalur Gaza, hingga penyeberangan “Kerem Shalom” Israel. Inilah proyek yang sekarang tengah dilaksanakan di dalam wilayah Mesir.
Keputusan Mesir untuk menutup perbatasannya dengan Jalur Gaza telah menyebabkan ribuan warga Palestina di sisi perbatasan Mesir terlantar, sementara sekitar seribu orang di Gaza merasa putus asa untuk keluar agar bisa mendapatkan perawatan medis di Mesir. Sekitar 6.000 warga Palestina kini terjebak di Mesir atau negara-negara ketiga. Mereka menunggu untuk kembali ke Gaza. Sebanyak 1.000 orang lain yang menderita masalah medis termasuk gagal ginjal, kanker dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan darah berusaha mendapatkan pengobatan atau diagnosis lebih lanjut di Mesir.
Pengkhianatan yang sama ditunjukkan oleh negara-negara Arab yang kaya. Untuk menunjukkan perhatian mereka kepada Palestina, mereka memberikan bantuan untuk rekonstruksi Palestina. Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengajukan permintaan $4 miliar di Konferensi Donor Internasional yang diselenggarakan di Kairo, Mesir, hari Ahad (12/10). Qatar, sebagai negara donor terbesar, berjanji akan memberi dana 1 miliar dolar. Amerika Serikat juga diketahui menjanjikan bantuan sebesar 212 juta dolar untuk Palestina.
Bantuan yang diberikan negara-negara tersebut untuk rekonstruksi Gaza jelas tidak menyelesaikan masalah Palestina, karena bukan menghentikan serangan brutal Zionis Israel. Dukungan Amerika dan sekutunya serta diamnya negara-negara Arablah yang menjadi penyebab kenapa penjajah Zionis Israel bisa leluasa membunuhi penduduk Gaza. Tanpa menghentikan kebiadaban Zionis Yahudi, rumah yang akan dibangun itu nanti akan kembali hancur. Bantuan itu sesungguhnya hanya sekadar menutupi pengkhianatan penguasa Arab yang diam saja saat Gaza diserang.
Satu-satunya yang bisa menghentikan kebiadaan Zionis Israel adalah dengan mengusir mereka dari bumi Palestina. Upaya ini hanya bisa dilakukan dengan mengirim pasukan perang dari negeri-negeri Islam, bukan sekadar dengan bantuan kemanusiaan. Akan tetapi, mobilisasi pasukan tersebut sulit dilakukan karena pengkhianatan yang dilakukan penguasa negeri Islam. Jadi jelaslah, karena kekosongan politik Dunia Islam akibat ketiadaan Khilafah Islam, Tragedi Gaza dan lainnya yang menimpa umat Islam bisa terjadi. Karena itu perjuangan Khilafah menjadi penting sebab Khilafah akan menjadi pemersatu, pelindung dan pembebas negeri-negeri Islam yang dijajah.
Berkaitan dengan serangan terhadap Gaza ini, Juru Hizbut Tahrir Indonesia, dalam keterangan persnya mengutuk serangan Israel ke wilayah Jalur Gaza; juga mengutuk pemerintah AS dan negara Barat lain yang nyata-nyata mendukung serangan biadab itu. Hizbut Tahrir Indonesia melakukan aksi yang diselenggarakan di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia mengecam serangan brutal yang berulang ini.
HTI juga mengingatkan penguasa negara dari negeri-negeri Muslim bahwa seharusnya mereka bisa bertindak nyata menghentikan serangan itu. Cara paling efektif adalah mengirimkan tentara ke wilayah Gaza. Bila masing-masing negara mengirim sedikitnya 500 tentara saja, maka paling tidak bisa dihimpun 25 ribu tentara dari lebih 50 negeri Muslim, termasuk dari Indonesia, yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam). Hanya dengan cara ini sajalah rakyat di Jalur Gaza bisa dilindungi dan sekaligus serangan yang dilakukan oleh Israel bisa dihentikan.
Terus berdiam diri, tidak melakukan langkah apa pun dan hanya sebatas mengecam, tidak bisa diartikan lain kecuali bahwa para kepala negara dari negeri-negeri Muslim itu telah secara langsung membiarkan pembantaian di Jalur Gaza, dan secara tidak langsung telah mendukung Israel melakukan kebiadaban di wilayah Palestina itu. Ini adalah penghianatan keji terhadap umat Islam seluruh dunia, khususnya yang tinggal di wilayah Jalur Gaza.[]