HTI

Refleksi (Al Waie)

Korupsi Makin Menggila, Rakyat Makin Sengsara

Korupsi pada tahun 2014 makin merajalela dengan sejuta metamorfosis. Menurut Deputi Pencegahan KPK Johan Budi Sapto Pribowo, koruptor di Indonesia beregenerasi dan beralih bentuk dengan cepat. Buktinya, koruptor kini cenderung berusia lebih muda. Selama tahun 2014, selain puluhan pejabat pusat-daerah, politisi Senayan, bupati/walikota juga sudah empat profesor yang terjerat kasus dugaan korupsi. Ustadz pun ada yang terjerat.

Selain itu jika sebelumnya perilaku korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan tua atau yang mulai memasuki masa pensiun, saat ini kecenderungan itu berubah—korupsi menjangkiti orang berusia relatif muda. Gayus Tambunan, Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum adalah contoh pelaku korupsi dengan usia relatif muda.

Sebagian korupsi melibatkan pejabat atau pegawai pemerintah daerah dan kementerian. Menteri Dalam Negeri 2009-2014, Gamawan Fauzi menyebutkan bahwa sebanyak 86,22 persen kepala daerah di Indonesia tersangkut kasus korupsi. Fakta bahwa korupsi paling banyak dilakukan pegawai pemerintah daerah tentu memprihatinkan. Pasalnya, pemerintah pusat menganggarkan sangat besar untuk transfer ke daerah setiap tahun. Namun, uang yang sejatinya untuk membangun daerah malah dikorupsi.

Beberapa kasus korupsi ‘besar’ yang ditangkap oleh KPK selama tahun 2014 di antaranya bekas Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Anas Urbaningrum ditangkap atas tuduhan skandal penyuapan seputar pembangunan stadion olahraga di Hambalang, Jawa Barat. Lalu Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Setelah menjadi tersangka kasus korupsi penanganan sengketa pemilihan kepala daerah Lebak, Banten, dan pengadaan alat kesehatan di Banten, Atut pun menjadi tersangka gratifikasi. Ada lagi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA). Hadi dijerat dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004. Ketika itu BCA mengajukan keberatan pajak atas nonperformance loan yang nilainya Rp 5,7 triliun. Hadi diduga menyalahi prosedur, dengan menerima surat permohonan keberatan pajak BCA tersebut. Juga ada pejabat eselon 1. Pada Bulan April 2014, KPK menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto, sebagai tersangka korupsi. Dia disangka korupsi pengadaan e-KTP. Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan kewena-ngannya dalam proyek pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012, dengan nilai anggaran mencapai Rp 6 triliun. Bukan hanya pejabat ese-lon 1, KPK juga menetapkan pejabat setingkat menteri. Menteri Agama, Suryadharma Ali, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013. Dia disangka terlibat dalam penyelewengan akomodasi haji dengan total anggaran Rp1 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari masyarakat. Lalu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi terkait dengan pengadaan proyek di Kementerian ESDM pada 2011-2013. Jero dituduh memeras dan menyalahgunakan kekuasaan dan diduga menggelembungkan anggaran kementerian hingga hampir Rp 10 miliar melalui kegiatan terlarang. Yang paling akhir adalah KPK menetapkan Gubernur Riau, Annas Maamun, sebagai tersangka kasus suap terkait pengurusan alih fungsi lahan kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Annas menjadi tersangka penerima suap senilai sekitar Rp 2 miliar dari Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Provinsi Riau, Gulat Medali Emas Manurung.

Korupsi memang melibatkan semua kalangan. Bukan hanya eksekutif, tetapi juga kalangan yudikatif dan pejabat penegak hukum. KPK menetapkan dua mantan hakim, yakni Pasti Serefina Sinaga dan Ramlan Comel, sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara korupsi dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, tahun anggaran 2009-2010. Lalu mantan Wakil Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo, ditahan setelah menjadi tersangka korupsi proyek simulator SIM. Dia menjadi tersangka bersama mantan Kepala Korlantas Polri, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo yang telah sebelumnya diadili.

Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi selama tahun 2014, sebagian besar tersangka adalah pejabat/pegawai pemerintah daerah (pemda) dan kementerian, yakni 42,6 persen. Tersangka lain merupakan direktur/komisaris perusahaan swasta, anggota DPR/DPRD, kepala dinas dan kepala daerah. Apabila dibandingkan dengan 2013, menurut ICW, peningkatan jumlah tersangka yang paling signifikan terjadi pada jabatan kepala daerah. Pada 2013, jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi sebanyak 11 orang. Namun, pada 2014, jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 25 orang. Hal itu terjadi karena biaya politik transaksional cenderung semakin mahal. Kepala daerah tergoda korupsi untuk memenuhi kebutuhan dana politik demi ambisi kekuasaan.

Indeks Persepsi Korupsi 2014, yang dirilis Transparency International, menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 107 dari 175 negara dengan Indeks 34. 2013, posisi Indonesia ada di peringkat 114 dengan Indeks 32. Rata-rata indeks persepsi korupsi dunia dari 175 negara adalah 43, sedangkan ASEAN 39. Posisi Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN. Indonesia menduduki posisi kelima setelah Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina dalam peringkat korupsi. Singapura adalah negara dengan peringkat tertinggi di Asia Tenggara, yakni di peringkat tujuh dunia dengan indeks 84. Itu artinya Indonesia adalah negara paling korup se-ASEAN.

Ada beberapa faktor yang memicu meningkatnya korupsi. Pertama: sistem sekularisme telah menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal yang built in menyatu dalam diri politisi, pejabat, aparatur dan pegawai. Akhirnya, semuanya hanya bersandar pada kontrol eksternal, dan pengawasan dari atasan, inspektorat dan aparat hukum. Masalahnya, mereka semuanya tidak jauh beda bahkan sama saja.

Kedua: sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah apalagi presiden. Untuk menjadi kepala daerah saja butuh puluhan bahkan ratusan miliar, tidak akan tertutupi dari gaji dan tunjangan selama menjabat. Untuk balik modal, terjadilah cara-cara “legal tapi curang” atau “curang tapi legal”, seperti proses tender yang sudah diatur, dsb, yang sudah menjadi rahasia umum. Cara tersingkat adalah korupsi.

Ketiga: hukuman terhadap koruptor tidak menciptakan efek jera dan gentar. Berdasarkan riset ICW, sebagian besar koruptor hanya dihukum 2-5 tahun oleh pengadilan. Setelah dikurangi remisi dan pengurangan masa tahanan lain, koruptor sebenarnya hanya menjalani hukuman penjara yang singkat.

Keempat: sebagian besar koruptor yang tertangkap berada dalam ‘link’ kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa koruptor yang ‘terbabat’ lebih karena tebang pilih atau karena ‘apes’ saja. Sebab, faktanya betapa banyak pihak-pihak yang sudah ‘terduga kuat’ sebagai koruptor tetap saja melanggang kangkung bebas. Sebagai misal, koruptor kasus BLBI dan koruptor kasus Bank Century. Semua adalah pemangku jabatan bahkan penggerak rezim yang ada. Namun semua ‘lolos’. Bahkan kasusnya pun menguap begitu saja.

Kelima: sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga sangat ringan. Jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor pun tidak jera.

WalLahu a’lam. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*