HTI

Ibrah (Al Waie)

‘Menunggu Godot’

Waiting for Godot (Menunggu Godot) adalah naskah klasik karya seorang sastrawan Irlandia bernama Samuel Beckett (1906-1989). Karya ini bercerita tentang penantian dua sahabat karib, Vladimir dan Estragon. Dua sahabat ini menunggu Godot; sesuatu yang tak jelas sampai akhir cerita: apakah Godot itu manusia, dewa, Tuhan, penyelamat, uang, atau binatang. Namun, keduanya sepakat untuk tetap setia menunggu Godot.

Sambil menunggu, mereka ngobrol, berdebat, kadang sampai bertengkar meributkan sesuatu yang tak jelas. Ironisnya, mereka meributkan tentang apa yang sebaiknya dilakukan, namun kemudian mereka tak melakukan apapun. Mereka berdebat tentang rencana tidur selama menunggu Godot, namun kemudian tak jadi tidur karena takut Godot akan datang tanpa mereka ketahui. Mereka sepakat untuk gantung diri karena frustasi menunggu Godot yang tak kunjung datang. Namun, rencana ini batal karena mereka tak menemukan kata sepakat tentang siapa yang harus pertama kali bunuh diri. Begitu selalu. Mereka sibuk berdebat tanpa berbuat.

Entah berapa lama mereka melakukan penantian. Yang pasti, keduanya tak lagi sanggup mengingat apakah telah menunggu seharian, seminggu, sebulan, setahun, atau bahkan puluhan tahun.

Cerita berakhir dengan tragedi. Saat waktu terus berlalu, wajah dua sahabat itu makin keriput dan rambutnya memutih. Adapun Godot yang ditunggu tak kunjung tiba. Lalu saat datang seseorang, yang lagi-lagi mereka pikir adalah Godot, ternyata orang itu adalah Malaikat Kematian. Akhirnya, hingga kematian itu menjemput, Godot tak pernah datang. Alhasil, menunggu Godot tak hanya menunggu ketidakpastian, tetapi juga merupakan kesia-siaan atau penantian penuh kekonyolan. Dari sini muncullah istilah ‘Menunggu Godot’.

*****

Banyak orang, di negeri ini khususnya, tanpa mereka sadari, berperilaku tak beda dengan Vladimir dan Estragon. Di bawah sistem sekular-kapitalis-demokrasi, sudah lama bangsa ini menunggu-nunggu datangnya kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan segala aneka kebaikan. Paling tidak, setiap menjelang dan sehabis “pesta demokrasi” alias Pemilu, harapan tentang semua itu kembali muncul. Kita lalu menggantungkan seluruh harapan itu kepada wakil rakyat dan rezim yang baru hasil Pemilu. Kemudian kembali kita menunggu-nunggu apa yang bakal dilakukan penguasa atau rezim baru itu. Kita menunggu, menunggu dan terus menunggu. Kita menunggu para elit politik bersih dari korupsi dan berharap mereka peduli rakyat. Kita menunggu pemimpin yang benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya saat Pemilu. Kita terus menunggu dan tetap setia menunggu demokrasi benar-benar membuktikan kesejatian dirinya: berpihak kepada rakyat. Bukankah demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat?

Dalam proses menunggu itu, banyak dari kita—seperti Vladimir dan Estragon—berbual tentang harapan bahwa apa yang ditunggu-tunggu itu pasti datang. Kita menunggu perubahan dan menggantungkan harapan untuk sebuah masa depan yang lebih baik. Faktanya, perubahan ke arah yang lebih baik tak kunjung datang, sementara masa membeku sepanjang waktu kita menunggu. Akhirnya, kita bagaikan orang yang terpenjara. Ya, kita terpenjara oleh harapan semu, bahkan palsu, yang ironisnya diciptakan oleh diri kita sendiri.

Mengapa? Kitalah yang terlanjur memercayai demokrasi. Kita telah lama tersihir oleh namanya ‘daulat rakyat’. Kita terbuai oleh jargon-jargon ‘indah’ seperti: “demokrasi mendatangkan kesejahteraan”, “demokrasi meniscayakan keadilan”, “demokrasi adalah keniscayaan”, bahkan “demokrasi adalah sistem politik terbaik”. Demikianlah, demokrasi ibarat mantra yang harus terus kita rapalkan. Karena itu saat ternyata demokrasi hanya mewariskan mimpi—mimpi tentang kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan kebaikan—banyak orang tetap yakin bahwa yang salah bukan demokrasinya, tetapi para aktor politik yang hanya menjadikan demokrasi sebagai topeng. Demokrasi tak mungkin salah. Demokrasi tetap istimewa. Demokrasi tetap menjadi kredo yang tak boleh dibantah. Akhirnya, tak ada seorang pun yang berani menggugat demokrasi sebagai sebuah sistem gagal. Padahal demokrasi hanya sukses dalam satu hal: memperdaya rakyat justru atas nama rakyat. Hampir setiap usai ‘pesta demokrasi’ alias Pemilu, lalu lahir rezim baru, rakyat kembali ditipu, rakyat lagi-lagi dizalimi, rakyat kembali dibuat sengsara, justru atas nama demokrasi. Pada akhirnya, rakyat hanya dibuat terus menunggu dan menunggu. Padahal yang ditunggu-tunggu—yakni segala kebaikan yang dijanjikan demokrasi—tak akan pernah benar-benar datang, seperti halnya Godot. Tak ada kemakmuran. Tak ada kesejahteraan. Tak ada keadilan. Jika pun ada, semua itu hanyalah bagi segelintir orang. Alhasil, kita sering hanya disuguhi janji kosong. Barangkali benar, bahwa berharap ada kebaikan pada demokrasi adalah seperti berharap Godot datang. Padahal itu hanya mitos yang diciptakan oleh demokrasi serta para pemuja dan pengusungnya untuk meninabobokan masyarakat. Jika demikian, lalu apa yang mesti kita lakukan?

Sebagai Muslim, tentu kita harus punya harapan. Allah SWT sendiri mengajari kita agar kita selalu berharap, berdoa dan bersandar kepada-Nya. Allah SWT memaklumkan kepada kita agar selalu optimis menatap masa depan. Mengapa? Karena Allah SWT sendiri yang bakal memenuhi setiap harapan, menjawab setiap doa dan mengabulkan setiap permohonan. Namun demikian, semua itu bukan tanpa syarat. Apa syaratnya? Tidak lain kita harus menjadi orang yang bertakwa kepada Allah SWT dengan takwa yang sebenar-benarnya. Hanya dengan takwalah harapan tentang kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan aneka kebaikan—yang terangkum dalam kata ‘keberkahan’—bisa benar-benar mewujud dalam kenyataan. Allah SWT berfirman: Jika saja penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membukakan untuk mereka pintu keberkahan dari langit dan di bumi (TQS al-A’raf [7]: 96).

Takwa yang sempurna tidak lain dengan mengamalkan dan menerapkan syariah-Nya secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, tentu dalam institusi Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Inilah yang layak kita tunggu-tunggu karena kehadiran kembali Khilafah telah di-nubuwwah-kan oleh Rasulullah saw., tentu seraya kita terus berjuang dan berupaya keras untuk mewujudkan Khilafah itu dalam realitas kehidupan kita. Jika Khilafah ‘ala mihaj an-Nubuwwah benar-benar terealisasi kembali, pasti kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan aneka kebaikan akan kita nikmati. Saat itu terjadi, ‘Godot’ mungkin sudah lama mati!

Wa ma tawfiqi illa bilLah.[Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*