Oleh: Muhammad Rahmat Kurnia (DPP Hizbut Tahrir Indonesia)
Saat ini Negara diurus dengan sangat amatir. Tanpa kompetensi. Semua menteri dan presiden ingin membuat berita setiap hari,” ungkap Prof. Ryaas Rasyid saat bersilaturahmi dengan DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), awal Desember 2014.
Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden masa SBY ini segera menambahkan, “Saat ini pemimpin tidak profesional. Namun, pemimpin sekarang diuntungkan oleh dua kondisi. Kondisi rakyat yang diam dan ‘bodoh’. Kalaupun ada yang pintar, mereka berada dalam posisi apatis.”
Kegelisahan ini bukan hanya milik Pak Ryaas, begitu saya biasa memanggil beliau. Mantan Wakil Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Sadu, mengatakan hal senada, “Sistem sekarang sangat parah. Indonesia tinggal menunggu kehancuran. Cepat atau lambat.”
Perumus UU Desa ini pun memaparkan, “Sistem yang diterapkan di Indonesia Kapitalisme yang sangat liberal. Pertarungan-nya sekarang adalah ideologi Kapitalisme dengan Islam. Tinggal kita menunggu siapa yang menang.”
Saya pikir wajar belaka kegelisahan itu terjadi. Pada awal pemerintahan, Kementerian Agama tidak ada dalam Kabinet Jokowi. Kementerian ini akan dihilangkan. Beberapa perlawanan muncul dari masyarakat, khususnya kalangan agama. Jawaban enteng pun keluar, “Itu tidak benar!”
Sikap serupa dilakukan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, saat menyatakan bahwa kolom agama di dalam KTP akan dihapuskan. Namun, saat umat Islam bereaksi keras, dia pun mengelak. “Yang dikosongkan itu mereka yang memiliki agama dan keyakinan di luar agama resmi,” dalihnya.
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, dalam beberapa seminar yang diadakan oleh Kementerian Agama juga menyampaikan perlunya menjaga keragaman dan toleransi, termasuk menjadikan Baha’i sebagai agama dan mengakui kelompok sesat Ahmadiyah. Umat Islam pun tak tinggal diam. Reaksi keras muncul di mana-mana. “Media salah kutip,” elaknya.
Belakangan, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan menegaskan bahwa kini tengah ada evaluasi untuk mengubah tatacara berdoa dalam membuka dan menutup pelajaran di sekolah. “Pihak minoritas tidak merasa nyaman,” ungkap dia.
Tokoh umat Islam pun menentang dengan sangat keras. Menyikapi hal ini, sang menteri mengatakan, “Itu baru wacana.”
Upaya untuk menggerus Islam terus dilakukan. Saat umat diam, ‘wacana’ itu ditetapkan sebagai kebijakan bahkan undang-undang. Sekadar contoh: BPJS. Saat itu, penolakan sangat minim. Akibatnya, muncullah UU BPJS yang memalak rakyat. Kini masyarakat mulai berteriak. Sebaliknya, jika umat ini lantang melawan, tak jarang upaya tersebut dihentikan dengan serta-merta.
Para tokoh Islam pun merasakan hal serupa. Sekadar contoh, Ketua Dewan Pusat Sarikat Islam Indonesia, M Mufti, melihat adanya kondisi yang sangat mencemaskan bagi umat Islam. Beliau memandang perlunya konsolidasi umat Islam. “Kiranya diskusi dan silaturahmi antarormas Islam diperlukan untuk menjawab keadaan sekarang,” ungkapnya dengan semangat. “HTI perlu menjadi perekat dan pendobrak,” putusnya.
Kesadaran akan tantangan pun makin nyata, bukan hanya dari dalam negeri melainkan juga dari luar negeri.
Pada tanggal 13 Desember 2014, saya berbahagia dapat bersilaturahmi dengan para intelektual di Kota Hujan Bogor. Dalam kesempatan itu kami berdiskusi di seputar Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Semua hadirin sepakat bahwa MEA bukan tantangan, bukan peluang, melainkan penjajahan. Prof. Gani menyampaikan, “Kita tak cukup hanya memberikan pandangan. Kita perlu kerja riil.”
Intelektual lain, Dr. Yusuf Ridwan, menyampaikan, “Kita perlu terus menghadapi kondisi ini dengan perubahan mendasar. Itulah Kekhalifahan. Namun, kita juga tetap perlu memberikan solusi terhadap masalah kekinian sebisa yang dapat kita lakukan.”
Indonesia memang butuh solusi. Ini pula barangkali yang mendorong diselenggarakan pertemuan Pra Kongres Umat Islam di kantor Majelis Ulama Indonesia, pertengahan Desember 2014. Tajuk pertemun itu adalah ‘Penguatan Peran Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban’. Dalam acara itu berbagai pandangan muncul. Anggota Lajnah Fa’aliyah DPP HTI, Budi Darmawan, mengungkapkan dengan lantang dalam pertemuan itu, “Kita sebaiknya menentukan lebih dulu apa akar masalah dari persoalan yang kita hadapi sekarang ini. Banyak persoalan kita seperti kemunduran umat Islam, kemiskinan, penindasan, pembunuhan, korupsi. Belum lagi ide pluralisme, liberalisme, sinkretisme dan relativisme. Semua itu sangat berbahaya bagi Islam dan umatnya. Kita harus berani menimbang kembali apakah sistem politik dan sistem ekonomi yang kita terapkan sekarang ini sudah islami atau belum. Ini harus kita gali benar-benar supaya kita mendapatkan bonggol-nya. Lalu akar masalah inilah yang akan kita selesaikan bersama.”
Menanggapi hal itu, Slamet Effendi Yusuf mengatakan, “Sudah sejak tahun 1922 ada Konggres Umat Islam. Saya minta konggres nanti kita harus berpikir keindonesiaan.”
Namun, salah satu pengurus PBNU, Ustadz Farozi mengatakan, “Mestinya umat Islam, termasuk PBNU, bersyukur dan mengucap alhamdulillah ada HTI, karena dalil Khilafah itu kuat dan tidak bisa ditentang.”
Tampak, di satu sisi pemimpin abai terhadap kepentingan Islam. Di sisi lain ada pemimpin umat yang bersungguh-sungguh hendak memberikan solusi dengan Islam sekalipun ada pula segelintir pihak yang disebut tokoh umat masih enggan mencari solusi dari ajaran agamanya.
Berkaitan dengan hal ini, saya teringat pada salah satu hadis. Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun kamarau yang panjang. Pada waktu itu orang yang berdusta dikatakan benar dan orang yang benar dikatakan berdusta. Orang khianat akan disuruh memegang amanah dan orang yang amanah dikatakan pengkhianat. Orang yang berpeluang bercakap hanyalah golongan Ruwaibidhah.” Sahabat bertanya: “Apakah Ruwaibidhah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang kerdil dan sebenarnya hina dan tidak mengerti urusan khalayak ramai.” (HR Ibnu Majah).
Patut direnungkan pernyataan Imam Al-Gazali, “Fasâdul umarâ bi fasâd al-‘ulamâ.” Rusaknya para pemimpin dimulai dengan kerusakan para ulama. Saat pemimpin (umara’) berbuat kerusakan, lalu banyak ulama mendiamkan, maka yang diperlukan adalah pihak yang menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa. Itulah yang disebut oleh Nabi saw.: pemimpin syuhada (sayyidusy-syuhada)! []