HTI

Refleksi (Al Waie)

Rezim Baru Naik, Harga BBM Naik

Salah satu isu ekonomi yang menonjol dan cukup mendapat perhatian masyarakat dan para intelektual serta politikus pada akhir tahun 2014 dan awal kepemimpinan Rezim Jokowi–JK adalah isu kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM sebenarnya bukan pertama kali dilakukan oleh rezim di negeri ini. Siapapun yang memimpin negeri ini, selama paradigmanya kapitalis-liberal, maka kenaikan harga BBM sulit dihindari. Penolakan yang dilakukan oleh partai politik hanya alat yang mereka gunakan untuk meraih kepentingan politiknya. Itulah yang terjadi saat ini. PDIP yang mengusung Jokowi-JK adalah partai politik yang selama 10 tahun terakhir konsisten menolak kenaikan harga. Namun, saat mereka berkuasa, kado pertama yang diberikan kepada rakyat adalah kenaikan harga BBM.

Kenaikan harga BBM dilakukan Jokowi hanya sehari setelah kepulangannya dari pertemuan puncak negara-negara G-20. Presiden Joko Widodo segera mengumumkan kenaikan harga premium (Ron 88) dan solar masing-masing sebesar Rp 2000 perliter sehingga harga Solar menjadi Rp 7.500,- dan Premuim menjadi Rp 8.500,-. Seperti bisa, alasan Pemerintah menaikkan harga BBM adalah untuk melakukan efisiensi anggaran. Pemerintah mengklaim, selama ini beban subsidi yang ditanggung Pemerintah sudah sangat besar. Subsidi selama ini juga dipandang tidak tepat sasaran sebab lebih banyak dinikmati oleh penduduk kaya ketimbang penduduk miskin. Disparitas harga subsidi dan non-subsidi juga menjadi penyebab banyaknya terjadi penyelundupan dan penyalahgunaan BBM bersubsidi.

Namun demikian, fakta berbicara lain. Penduduk menengah bawah merasakan dampak terbesar kenaikan tersebut. Harga barang dan jasa meroket pasca pengumuman tersebut. Pasalnya, efek domino kenaikan BBM tidak hanya pada kenaikan biaya transportasi, namun juga pada barang dan jasa lainnya. Meski diberlakukan pada pertengahan bulan November, inflasi bulan tersebut mencapai 1,5%. Angka inflasi diperkirakan masih akan tinggi setidaknya dalam dua bulan ke depan. Celakanya, skema kompensasi dampak kebijakan tersebut terhadap penduduk miskin didesain secara sembrono. Data penerima Program Simpanan Kesejahteraan Sosial (PSKS) masih menggunakan data tahun 2011 sehingga banyak penduduk miskin yang justru tidak mendapatkan kompensasi. Kartu-kartu yang dijanjikan juga sebagian besar baru akan dicetak tahun 2015.Alasan APBN jebol akibat subsidi BBM tentu saja tidak tepat. Pasalnya, harga minyak mentah saat ini telah justru turun ke kisaran 67 dolar perbarel, merosot 30% dari posisi pada bulan Juni lalu. Dengan demikian biaya pokok produksi BBM, baik yang diimpor maupun yang diproduksi di dalam negeri, ikut merosot di bawah harga jualnya saat ini. Jika mengacu pada skema perhitungan Pertamina, maka dengan asumsi harga US$70 perbarel, kurs Rp12.000/US$, dan biaya operasional 7%, maka biaya pokoknya hanya sekitar   Rp5.600/liter. Dengan kata lain, Pemerintah justru surplus dengan harga jual saat ini sehingga tidak ada lag i yang namanya subsidi BBM. Jika demikian, argumentasi-argumentasi Pemerintah selama ini menjadi tidak relevan lagi.

Alasan-alasan di atas sebenarnya hanya kamuflase untuk menutupi alasan sebenarnya, yaitu menyerahkan harga BBM ke harga pasar sesuai dengan amanat UU Migas. Ini semua terjadi karena paradigma pengelolaan sumberdaya alam menggunakan paradigma kapitalis-liberal. Bank Dunia, IMF dan para ekonomi kapitalis tidak pernah kenal lelah terus-menerus menyerang kebijakan subsidi BBM. Berbagai dalih mereka kemukakan agar kenaikan BBM diterima oleh rakyat. Bahkan mereka selalu mengatasnamakan rakyat atau untuk kesejahteraan rakyat ketika akan menaikkan BBM.   Karena itulah sejak Tahun 2008, Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) sudah “mengejar-ngejar” Pemerintah Indonesia agar memastikan penghapusan subsidi BBM. Pada 1 November 2010, Sekjend OECD, Angel Gurria, menemui sejumlah pejabat tinggi Indonesia, termasuk Wapres Boediono dan Menkeu waktu itu Agus Martowardoyo. OECD menyakinkan Pemerintah Indonesia agar segera menghapus subsidi BBM dan listrik hingga 2014. Selain itu, forum G-20 di Pittsburgh (2009) dan Gyeongju (2010), juga mendesak penghapusan subdisi BBM. Di Gyeongju, Korea Selatan, Pemerintah Indonesia menjanjikan akan melaksanakan penghapusan subdisi energi, khususnya BBM dan TDL, dimulai pada tahun 2011.

Begitu juga di tengah hiruk-pikuk kampanye Pilpres, Bank Dunia kembali menekan Pemerintah Indonesia dan juga presiden yang terpilih agar bisa mengurangi bahkan menghapus subsidi energi, khususnya subsidi BBM. Bank Dunia meminta presiden baru nanti bisa menaikkan harga BBM subsidi menjadi Rp 8.500/liter. Menurut Direktur Kemiskinan Bank Dunia untuk Asia Pasifik Timur, Sudhir Shetty, kesejahteraan bisa dirasakan semua orang asalkan subsidi BBM dikurangi, bahkan dihilangkan, kemudian dialihkan ke program masyarakat miskin yang membutuhkan. “Ini perlu dipikirkan oleh pengambil keputusan,” tegasnya dalam Seminar Bank Dunia, Indonesia: Avoiding The Trap, Senin 23/6) di Hotel Mandarin, Jakarta.

Kenaikan harga BBM tersebut tentu saja menguntungkan investor asing yang bergerak di sektor hilir migas. Perusahaan-perusahaan asing selama ini tidak dapat berkompetisi di sektor hilir yang kini dikuasai Pertamina. Pasalnya, harga jual produk BUMN tersebut, khususnya bensin dengan Oktan 88 dan solar, masih lebih rendah dibandingkan produk mereka. Karena itu ketika BBM subsidi naik perusahaan SPBU asing seperti Shell dan Total pesta-pora dengan semakin meningkatnya omzet penjualan mereka. Begitu juga konsumsi pertamax mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Menurut Wakil Presiden Senior Pemasaran dan Distribusi BBM Pertamina, selama satu pekan sejak kenaikan BBM konsumsi pertamax naik menjadi 5.200 kilo liter perhari atau naik 137 %. Padahal 90% kebutuhan pertamax masih impor.

Karena itulah sangat pantas dan wajar Bank Dunia memuji rezim Jokowi karena perintah Bank Dunia, yakni menaikkan harga BBM dan mencabut subsidi secara total, dituruti dan dilaksanakan oleh rezim Jokowi-JK. Akibatnya, lengkaplah liberalisasi sektor migas mulai dari sektor hulu sampai sektor hilir. Jadi, benarlah salah satu statement Hizbut Tahrir dalam aksi penolakan kenaikan harga BBM, “Harga BBM Naik: Asing Untung, Rakyat Buntung!” []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*