HTI

Syari'ah

As-Sabiy

As-Sabiy berasal dari kata sabâ–yasbî–saby[an] wa sibâ’[an]. Ibn Manzhur di dalam Lisân al-‘Arab mengatakan, as-sabiy dan as-sibâ` adalah al-asru (tawanan), sudah diketahui.  Sabâ al-‘aduwa saby[an] wa sibâ’[an] idzâ asarahu (jika ia menawannya) fahuwa sabiyyun (maka dia adalah sabiyyun).

Abu Hafshin an-Nasafi di dalam Thalabah ath-Thalabah menjelaskan, “As-Sabyu adalah al-asru (tawanan) wa al-istirqâq (menjadikan budak) dan as-sibâ` pada makna mashdar (gerund). As-Sabyu juga bermakna al-masbiyyu; di dalamnya sama antara satu (tunggal) dan jamak. As-Sabiyyu adalah juga isim al-masbiyy dan bentuk jamaknya as-sabâyâ.

Adapun di dalam hadis, Abu as-Saadat al-Jazri di dalam An-Nihâyah fi Gharîb al-Atsar mengatakan, “Sungguh berulang di dalam hadis disebutkan: as-sabyu, as-sabiyyah dan as-sabâyâ.

As-sabyu adalah an-nahbu (perampasan) serta mengambil manusia sebagai budak dan hamba sahaya.  As-Sabiyyah adalah wanita yang dirampas dalam wazan fa’îlah dengan makna maf’ûlah dan bentuk jamaknya as-sabâyâ.

Jadi secara bahasa as-sabyu atau as-sabiy artinya adalah al-asru (tawanan).  Secara bahasa tidak ada bedanya yang ditawan itu antara laki-laki dan perempuan, anak-anak dan dewasa.

Penggunaan kata as-sabiy, as-sabiyyah, as-sabyu dan as-sabâyâ di dalam hadis hanya menunjuk pada wanita dan anak-anak pihak musuh kaum kafir yang didapatkan oleh kaum Muslim di medan perang.  Karena itu secara istilah, pada galibnya para fukaha mengk-hususkan istilah as-sabiy untuk para wanita dan anak-anak, sedangkan istilah al-asru dikhususkan untuk laki-laki pasukan musuh yang ditawan.

Di dalam al-Ahkâm as-Sulthâniyah, Imam al-Mawardi mengatakan, “Ghanimah itu mencakup beberapa jenis: asrâ (tawanan perang), sabiy, tanah dan harta.  Al-asrâ  adalah laki-laki yang berperang dari kaum akfir jika kaum Muslim mengalahkan mereka dan menawan mereka dalam keadaan hidup.  Adapun as-sabiy adalah wanita dan anak-anak.”

Muhammad asy-Syarbini al-Khathib di dalam Mughni al-Muhtâj menyebutkan, “Yang dimaksud dengan as-sabyu adalah wanita dan anak-anak.”

Jadi as-sabyu beda dengan al-asra (tawanan perang). As-Sabyu hanya menunjuk pada wanita dan anak-anak. Itulah penggunaan istilah as-sabyu dan konotasi yang ditunjuk oleh istilah itu di dalam nash.

Karena itu Muhammad Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha mendefini-sikan as-sabyu adalah wanita dan anak-anak musuh, kafir muharib, yang mereka itu diambil (oleh kaum Muslim) di dalam peperangan. Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz II pada babMu’âlajah al-Istirqâq, bahwa as-sabyu adalah wanita dan anak-anak yang menyertai laki-laki di medan pertempuran untuk memperbanyak jumlah dan menyemangati pasukan.

Dengan demikian as-sabyu atau as-sabiy adalah wanita dan anak-anak yang dibawa serta oleh pasukan kaum kafir ke pertempuran, namun mereka bukan kombatan atau prajurit dan tidak ikut bertempur. Jika mereka dikuasai oleh kaum Muslim di akhir pertempuran, mereka menjadi as-sabyu atau as-sabiy.

As-Sabyu atau as-sabiy itu menurut para ulama adalah bagian dari ghanimah.  Khalifah atau Imam adalah pihak yang secara syar’i memiliki wewenang menentukan keputusan atas as-sabyu itu. Dalam hal ini, Khalifah memiliki satu dari dua opsi. Pertama: al-istirqâq (menjadikan mereka budak) seperti keputusan Rasul saw. atas as-sabyu Bani Quraizhah, Bani Hawazin, Bani Mushthaliq dan sebagian sabyu Khaybar. Rasul saw. membagikan as-sabyu itu kepada kaum Muslim yang ikut berperang. Di antara as-sabyu Khaybar itu adalah Shafiyah binti Huyay bin Akhthab, yang lalu dimerdekakan dan dinikahi oleh Rasul saw. Kedua: membebaskan mereka dan tidak ada tebusan atas mereka. Hal itu seperti yang Rasul putuskan atas sabyu Khaybar. Saat itu Nabi saw. membiarkan mereka tetap merdeka.

Tentang as-sabiy Bani Quraizhah, Imam Syafii di dalam Al-Umm (iv/73) menyebutkan, “Rasulullah saw. menjadikan as-sabiy wanita dan anak-anak Bani Quraizhah. Beliau menjual mereka kepada orang musyrik.  Abu asy-Syahmi al-Yahudi membeli keluarga binti ‘Ajuz anaknya dari Nabi saw. Rasul saw mengirimkan as-sabaya sisanya: sepertiga ke Tihamah, sepertiga ke Najad dan sepertiga lagi ke jalan arah Syam. Lalu mereka dijual dengan (bayaran berupa) kuda, senjata unta dan harta.”

Untuk as-sabyu Bani Hawazin, dituturkan oleh al-Miswar bin Makhramah, seperti diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Ringkasnya, setelah as-sabiy Hawazin dibagikan oleh Rasul, delegasi Hawazin datang untuk meminta kemurahan hati Rasul agar mengembalikan harta dan as-sabyu mereka. Rasul memberi mereka pilihan antara harta atau as-sabyu.  Mereka berkata, “Kami memilih as-sabyu kami.”

Rasul pun langsung mengembalikan as-sabyu yang menjadi bagian beliau dan Bani Abdul Muthallib.  Beliau bersabda kepada kaum Muslim kala itu, “Saudara-saudara kalian datang dan mereka sudah bertobat. Aku berpandangan untuk mengembalikan as-sabyu mereka. Karena itu siapa saja dari kalian yang rela, hendaklah dia lakukan. Siapa saja yang suka mempertahankan bagiannya sampai kami berikan kepada dia dari awal apa yang telah diberikan oleh Allah kepada kita, silakan dia lakukan.”

Akhirnya, mereka semua rela mengembali-kan as-sabyu kepada Bani Hawazin.

Adapun as-sabyu Bani Mushthaliq dituturkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra. sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud. Ringkasnya, Rasul saw. membagikan as-sabyu Bani Mushthaliq kepada kaum Muslim. Juwairiyah binti al-Harits bin al-Mushthaliq menjadi bagian Tsabit bin Qais bin Samasy. Ia membuat perjanjian untuk memerdekakan diri dari Tsabit. Lalu dia datang meminta bantuan Rasul saw.  Rasul saw membantu memerdeka-kan dia sekaligus memperistrinya.  Setelah para Sahabat mengetahui pernikahan itu, mereka memerdekakan as-sabyu Bani Mushthaliq dan para sahabat berkata, “Besan-besan Rasulullah saw”. Aisyah ra. mengatakan, “Kami tidak melihat seorang wanita yang lebih besar berkahnya terhadap kaumnya daripada dia. Berkat dia seratus orang dari keluarga Bani Mushthaliq dimerdekakan.”

Itulah hukum atas as-sabyu.  Namun harus diingat, yang bisa dijadikan as-sabyu hanyalah wanita dan anak-anak yang dibawa serta oleh pasukan kaum kafir ke medan pertempuran.  Adapun jika wanita dan anak-anak itu tetap berada di rumah mereka dan tidak dibawa serta, mereka tidak boleh diapa-apakan.

Perlakukan atau keputusan Khalifah dalam masalah istirqâq as-sabyu tidak lain berjalan menurut apa yang dituntut oleh politik perang dalam memperlakukan musuh, dan bukan maksudnya semata-mata istirqâq. Itulah muamalah perang yang keputusan tentang  itu diserahkan kepada Khalifah.  Khalifah berbuat sesuai pandangannya dan apa yang dituntut oleh sikap terhadap musuh.

Islam Menghapus Perbudakan

Islam membolehkan istirqâq as-sabyu. Namun, itu bukan berarti bahwa Islam melanggengkan perbudakan.  Sebaliknya, Islam justru memiliki serangkaian hukum yang berujung pada penghapusan perbudakan.

Untuk budak yang ada, Islam mensyariat-kan sejumlah hukum. Pertama: Islam mengembalikan martabat kemanusiaan hamba sahaya.  Islam mengharuskan perlakuan mereka secara baik oleh tuannya.  Islam melindungi darah mereka. Jika ada yang membunuh hamba sahaya maka ia dijatuhi qishash.

Kedua: Islam mendorong pembebasan budak.

Ketiga: Islam menentukan beberapa hukum yang mewajibkan pembebasan hamba sahaya.  Di antaranya, jika hamba sahaya itu memiliki hubungan kekerabatan dengan tuannya maka dia otomatis merdeka. Jika tuannya mencederai organnya atau menyiksa dan memukulnya dengan pukulan mencederai, maka kafarah-nya dengan memerdekakannya. Selain itu Islam menetapkan memerdekakan hamba sahaya sebagai kafarah untuk beberapa dosa: pembunuhan Mukmin secara keliru, melanggar sumpah, men-zhihar istri dan bersetubuh pada siang bulan Ramadhan.

Keempat, Islam memberikan hak kepada hamba sahaya untuk memerdekakan diri dari tuannya melalui akad mukatab.

Islam pun menetapkan pos tertentu di Baitul Mal untuk pembebasan budak. Pembebasan budak menjadi satu dari delapan ashnaf untuk harta zakat.

Sebelum Islam ada banyak sebab istirqâq (perbudakan), di antaranya: tawanan perang, as-sabyu, hukuman bagi kejahatan tertentu semisal pencurian, perlakuan terhadap kreditur yang tidak bisa bayar utang, untuk mendapat keturunan dari bangsawan, dan lainnya.  Islam membatalkan sebab-sebab itu dan menetapkan hukum bagi masing-masing. Islam hanya membolehkan satu sebab saja, yaitu as-sabyu. Itu pun dibatasi ketentuannya.  Hukumnya adalah boleh dan tidak harus, serta keputusannya diserahkan kepada Khalifah.  Khalifah boleh memutuskan tidak melakukan istirqâq as-sabyu.

Dengan begitu Islam telah menghapus perbudakan.WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*