HTI

Ekonomi dan Bisnis

Liberalisasi di Balik Pencabutan Subsidi

pembatasan subsidi solarTepat tanggal 1 Januari 2015, Pemerintah mengumumkan penurunan harga Premium dan solar menjadi Rp 7.600 dan Rp 7.250, yang sebelumnya dinaikkan dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500. Bahkan Pemerintah berjanji akan kembali menurunkan harga BBM (Jenis Premium) dari Rp 7.600/liter menjadi sekitar Rp 6.400 – Rp 6.500. Hal ini disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam acara Indonesia Outlook 2015  dengan tema, “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian,” di Hotel Borobudur, Jakarta (Detikfinance, 15/1/2015).

Kebijakan penurunan harga ini  mendapat tanggapan positif dari sebagian masyarakat. Namun, banyak juga yang menuduh bahwa ini hanyalah sebuah pencitraan yang dilakukan oleh Jokowi karena BBM seharusnya tidak dinaikkan karena harga minyak dunia sedang turun. Saat yang sama, harga barang-barang  yang sudah naik tidak otomatis turun ketika harga BBM diturunkan. Sebenarnya bukan hanya barang-barang tidak mudah untuk turun kembali, tetapi kebijakan penurun BBM yang dilakukan oleh rezim neoliberal ini juga diikuti dengan kebijakan yang sangat ditunggu-tunggu oleh para kapitalis  lokal maupun asing, yaitu liberalisasi sektor hilir minyak dan gas untuk melengkapi liberalisasi  sektor hulu migas yang sudah lama dilakukan.

Liberalisasi Sektor Energi

Walaupun harga premium diturunkan, sebenarnya Pemerintah secara resmi mencabut subsidi BBM jenis premium sehingga harganya mengikuti mekanisme pasar. Adapun BBM diesel atau solar diberi subsidi tetap (fixed subsidy) Rp 1.000/liter. Pada saat yang hampir bersamaan, Pemerintah juga mencabut subsidi harga jual listrik PLN kecuali Rumah Tangga 450-900 va. Pemerintah bahkan telah mewacanakan untuk mengevaluasi harga gas elpiji tiga kilogram karena subsidinya terus membengkak hingga Rp 55 triliun.1

Pencabutan subsidi ini, menurut Pemerintah, akan memberikan tambahan anggaran untuk membiayai belanja-belanja non-subsidi, terutama pembangunan infrastruktur yang dipandang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih agresif.

Penetapan harga BBM berdasarkan mekanisme pasar saat harga minyak merosot tajam hingga di kisaran 50 dolar perbarel membuat biaya produksi dan pengadaan BBM juga semakin murah. Rakyat pun merasa diuntungkan. Namun demikian, jika harga minyak di pasar global kembali naik,  harga BBM juga akan terkerek naik. Kembali melambungnya harga minyak di pasar global sangat berpotensi terjadi. Pasalnya faktor-faktor penentu harga komoditas tersebut bukan hanya didorong oleh faktor permintaan dan penawaran, namun juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti perubahan geopolitik, terutama di negara-negara produsen minyak, juga faktor spekulasi.

Merosotnya harga minyak mentah saat ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain meningkatnya suplay minyak global dan menurunnya permintaan akibat krisis yang terjadi negara-negara Eropa dan perlambatan ekonomi Tiongkok. Meningkatnya produksi shale oil di Amerika Serikat juga mendorong peningkatan suplay minyak global. Shale oil sendiri adalah minyak yang diperoleh dari lapisan bebatuan di dasar laut melalui injeksi air dan  bahan kimia tertentu. Di sisi lain, saat harga minyak mentah cenderung menurun, negara-negara organisasi negara-negara penghasil minyak (OPEC) terutama Arab Saudi tidak memangkas produksi mereka sebagaimana lazimnya, agar harga minyak tidak terus anjlok. Strategi tersebut sengaja ditempuh oleh OPEC dengan maksud agar harga minyak tetap rendah. Dengan demikian, daya tarik untuk memproduksi shale oil menjadi kurang menarik sebab harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya produksi minyak konvensional.2

Namun demikian, Amerika Serikat tentu tidak akan tinggal diam untuk untuk terus mendorong produksi minyaknya agar tidak terlalu bergantung pada impor termasuk dari OPEC. Secara politik, AS dapat saja melakukan tekanan-tekanan politik baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memaksa Arab Saudi agar mengurangi produksinya sehingga dapat mengangkat kembali harga minyak.3Dengan demikian, harga minyak berpotensi untuk kembali naik.

Di sisi lain, harga minyak global juga dipengaruhi oleh para spekulan di bursa komoditas berjangka. Spekulan sendiri adalah pihak yang bukan produsen dan juga bukan pengguna komoditas. Namun, mereka mengambil risiko atas modal mereka untuk memperdagangkan komoditas tertentu pada masa yang akan datang. Harapannya, mereka mendapatkan keuntungan dari perubahan harga. Para spekulan inilah yang ikut menentukan harga di bursa komoditas Nymex di New York dan Intercontinental Exchange Futures di London. Spekulan-spekulan tersebut didominasi oleh institusi keuangan raksasa seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley, Citigroup dan JP Morgan Chase serta sejumlah hedge fund dan institusi pengelola danapensiun. Dalam beberapa kasus beberapa lembaga investasi terbukti bersalah di pengadilan karena terbukti melakukan kartel dan manipulasi harga. JPMorgan, UBS, dan Credit Suisse, misalnya, pernah didenda karena terbukti berkomplot merekayasa suku bunga acuan di London (LIBOR). JP Morgan juga terungkap menimbun aluminium dan minyak mentah untuk tujuan spekulasi.

Dengan demikian, penetapan harga minyak berdasarkan harga pasar akan membuat harganya berfluktuatif. Jika harga meroket tajam, bukan hanya harga BBM yang naik namun juga barang-barang komoditas lainnya. Dengan demikian, harga-harga menjadi tidak stabil. Masyarakat terutama kalangan menengah bawah paling dirugikan dengan kebijakan tersebut. Pasalnya, belanja BBM merupakan pengeluaran terbesar kedua masyarakat di Indonesia setelah perumahan. Setiap bulannya penduduk kota dan desa masing-masing menghabiskan rata-rata Rp 43.500 dan 24.000 hanya untuk membeli bensin (BPS, 2014). Kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 pada pertengahan November lalu, misalnya, membuat inflasi tahun 2014 meroket hingga 8,36 persen saat kenaikan harga makanan mencapai 10,6 persen.

Liberalisasi Ekonomi

Pencabutan subsidi BBM, TDL dan harga elpiji  sejatinya telah direncanakan sejak lama sebagaimana yang didesakkan oleh lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia, IMF, USAID dan ADB. Berbagai alasan dibuat untuk mendukung kebijakan tersebut. Subsidi, misalnya, dipandang mendistorsi pasar sehingga perusahaan-perusahaan swasta termasuk asing tidak dapat berkompetisi secara sehat di negara ini. Subsidi juga dipandang sebagai beban fiskal yang tidak memberikan manfaat bagi perekonomian. Subsidi pun dianggap sebagai biang kerok tidak berkembangnya Pertamina dan PLN yang menjadi pelaksana subsidi sebagaimana halnya perusahaan-perusahaan swasta.

Padahal di negara-negara yang saat ini masuk dalam kategori negara-negara maju seperti Inggris dan AS, mereka menjadi besar karena dulunya justru menerapkan proteksi dan subsidi serta berbagai rangkaian kebijakan yang besar untuk memperkuat fundamental ekonomi mereka agar mereka dapat bersaing. Ini paradoks dengan apa yang saat ini mereka serukan kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.4

Banyak dari negara-negara industri (terutama Jepang, Finlandia dan Korea Selatan) membatasi masuknya modal asing untuk melindungi industri domestik mereka. Pemerintah Korea, misalnya, pada tahun 1970-an memberikan  bantuan  keuangan besar-besaran untuk mengembangkan industri kapal, baja dan elektronik di negara tersebut.5

Dengan demikian, apa yang dilakukan Pemerintah saat ini lebih menunjukkan kepatuhan mereka pada konsep-konsep kapitalisme yang oleh para penyerunya justru diabaikan. Semua ini tidak lain agar mereka dapat dengan mudah menjajah dan menjerumuskan Indonesia dalam kubangan kapitalisme.

Solusi Islam

Islam telah membagi kekayaan di dunia ini menjadi tiga jenis kepemilikan: kepemilikan individu, kolektif dan dan negara. Islam telah mengakui adanya kebutuhan manusia mendorong mereka untuk mendapatkan alat pemuasnya dan menggunakannya dalam koridor yang telah disyariatkan sehingga mencegah terjadinya kerusakan dan ketimpangan akibat perbedaan akal, fisik dan kebutuhan yang harus dipenuhi manusia. Oleh karena itu, Islam melarang adanya penghilangan kepemilikan seperti dalam Komunisme. Namun, Islam pun menentang kebebasan kepemilikan seperti dalam Kapitalisme.

Dalam kontek penetapan harga, syariah  Islam telah  menetapkan bahwa harta yang masuk dalam kategori milik individu memang harganya diserahkan ada mekanisme pasar. Negara bahkan dilarang untuk melakukan tas’ir (pembatasan harga) baik harga tertinggi maupun harga terendah.  Namun, untuk barang yang masuk dalam kategori milik umum dan milik negara, larangan tas’ir tersebut tidak berlaku.  Pasalnya, pengelolaan harga berbagai barang publik seperti BBM dan bahan tambang yang depositnya besar serta sumberdaya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu  diserahkan kepada negara melalui ijtihad Khalifah sebagai wakil umat untuk mengurus dan mensejahterakan rakyatnya. Dengan demikian, kepemilikan pada kategori barang-barang milik umum ini tertutup untuk swasta dalam pengelolaannya.

 Islam juga menetapkan harta milik negara yang dikelola oleh Khalifah seperti jizyah, fai dan kharaj. Alokasinya dapat dikhususkan kepada sebagian kalangan yang dipandang membutuhkan. Dengan begitu Khalifah mampu melakukan fungsi pelayanan secara optimal terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.6

Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah dalam penetapan harga saat ini bertentangan dengan syariah Islam. Harga barang-barang atau jasa yang harusnya penetapan harganya diserahkan kepada mekanisme pasar ditetapkan oleh Pemerintah. Sebaliknya, harga barang-barang milik umum yang harusnya ditetapkan oleh Pemerintah malah diserahkan pada mekanisme pasar.

Karena itu sudah saatnya umat dan para tokoh umat, politikus Muslim  untuk segera menghentikan sistem ekonomi kapitalis dalam pengelolaan SDA. Setelah itu, mereka harus menegakkan sistem penggantinya, yakni sistem ekonomi Islam, yang diterapkan oleh Khilafah ar-Rasyidah untuk mewujudkan keberkahan bagi seluruh umat manusia.

WalLahu a’lam bi ash-shawab [MI/AN]

Catatan kaki:

      http://industri.bisnis.com/read/20141125/44/275415/subsidi-elpiji-3-kg-bakal-dievaluasi

2       Majalah TheEconomist, Sheikhs v Shale, edisi 6 Desember 2014.

3       Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, “Al-Asbab al-Hubuth al-Mufaji li As’ari an-Nafth, 7/1/2015.

4       Ha-Joo Chang (2010).23 Things They Don’t Tell You about Capitalism.England: Penguin Book, hlm. 77.

5       Ibid, hlm.136

6       Abu Musa, “Al-Faqru baina al-Islam wa ar-Ra’sumaliyyah (Mafhuman wa Mu’alajatan),” Majalah Al-Waie no. 225)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*