Orang sering sebut abad ini sebagai Abad Komunikasi (Communication Era). Kemajuan luar biasa di bidang teknologi komunikasi dan informasi, utamanya internet, memberikan pengaruh besar pada pola kehidupan manusia di seluruh dunia, tentu saja termasuk Indonesia. Dengan pengguna internet lebih dari 50 juta orang di Indonesia (nomer 8 dunia di bawah China, AS, India, Jepang, Brazil, Rusia, Jerman), socmed atau media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan banyak lagi lainnya, tak pelak telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi hidup sebagian masyarakat, khususnya kaum terpelajar di perkotaan di negeri ini.
Untuk Twitter misalnya, Indonesia bahkan tercatat sebagai sumber pengguna terbanyak ketiga di dunia, dengan jumlah 6,5 persen. Di atas Indonesia adalah Amerika Serikat (24,3 persen), dan Jepang (9,3 persen). Posisi keempat Inggris, disusul Brazil, Spanyol, Arab Saudi, Turki dan Meksiko. Data ini dilansir Statista berdasarkan hasil penelitian PeerReach, yang menunjukkan daftar negara dengan jumlah pengguna aktif Twitter terbanyak. PeerReach mendefenisikan pengguna aktif Twitter per bulan adalah pengguna yang ngetwit. Dengan kata lain, pengguna Twitter di Indonesia termasuk paling aktif di dunia.
Tentu saja ada banyak sisi positif yang didapat dari penggunaan media sosial ini. Makin lancarnya arus komunikasi dan informasi yang mendukung berbagai bidang profesi seperti pendidikan, dakwah, jurnalistik, disain, bahkan juga perdagangan dan manufaktur membuktikan bahwa sosmed memang terbukti sangat bermanfaat. Kini, data dan informasi dengan mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam hitungan menit, bahkan detik. Begitu besarnya pengaruh media sosial, tak berlebihan bila media sosial juga disebut sebagai agen pengubah. Berkatnya, kehidupan masyarakat telah berubah secara ekonomi, sosial, budaya, bahkan juga politik.
Keberhasilan revolusi di Mesir misalnya, sebagaimana di negara Timur Tengah lain, sangat dipengaruhi oleh peran sosmed. Rakyat Mesir, yang hampir separuhnya hidup dalam kemiskinan, dan telah lama hidup dalam situasi terkekang, selama ini tak leluasa melakukan perubahan, karena mengkritisi pemerintah, apalagi kepada Presiden Mubarak bisa berujung ke penjara. Aktivitas rakyat Mesir dikontrol ketat oleh pemerintah. Bahkan ada yang menganalogikan, dinding-dinding rumah warga Mesir sebagai telinga pemerintah. Nah, di saat saluran aspirasi disumbat dan dikontrol demikian ketat, rakyat Mesir menemukan alternatif yang sangat mankus, yakni media sosial.
Mereka betul-betul memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Twitter guna menggalang dukungan bagi perubahan besar politik di Mesir. Dengan cepat opini perlawanan menyebar, dan setelah opini publik di Mesir terbangun, jutaan massa turun pun ke jalan dan berubah menjadi kekuatan rakyat (people power). Dalam demonstrasi terbesar di negara itu, Selasa 25 Januari 2011, yang digerakkan dengan bantuan sosmed, rakyat Mesir akhirnya menuntut rezim Mubarak mundur. Sejarah kemudian mencatat, itulah titik akhir rezim despot represif yang telah hampir 30 tahun berkuasa.
Hizbut Tahrir, sebagai partai politik Islam internasional yang bekerja di lebih dari 40 negara, tentu juga memanfaatkan media sosial untuk berbagai kegiatan dakwah. Melalui media sosial, tak terhitung banyaknya tulisan, gambar, audio dan video tentang ide dan informasi dakwah menyebar ke berbagai arah. Melalui media sosial juga rekrutmen bisa dilakukan. Kini, ada ribuan pengguna media sosial yang rata-rata anak-anak muda, telah mengikuti kegiatan pembinaan.
Tapi tak sedikit juga sisi negatif yang ditimbulkan dari berkembangnya media sosial. Dengan bagus, di Kompas edisi 13 Juli 2013, Darwis Tere Liye menuliskan macam-macam efek negatif dari media sosial. Diantaranya, suburnya kebiasaan berdebat tiada manfaat dan rendahnya sopan santun. Penggunaan akun media sosial seperti jadi tameng atau benteng pelindung, yang membuat orang nyaman melakukan apa pun. Jangankan saat menggunakan identitas palsu, dalam situasi menggunakan identitas asli pun banyak pengguna internet bisa melakukan apa saja (karena) tanpa perlu khawatir bertatap muka langsung seperti di dunia nyata. Pepatah lempar batu sembunyi tangan menemukan definisi terbaiknya dalam media sosial di dunia maya.
Berkurangnya sopan santun ini tecermin dalam komunikasi lewat e-mail, perpesanan, hingga interaksi bebas di media sosial, forum, dan laman lainnya. Orang seperti tidak lagi perlu harus bersopan santun saat bertamu ke beranda milik orang lain, merasa semua tempat adalah wilayah publik, sehingga bebas mau melakukan apa pun. Kolom komentar di media sosial, laman berita media massa, dan forum-forum memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk berkomentar. Saling menjelekkan, memaki dan menghina ringan sekali ditulis oleh para pengguna media sosial. Tidak ada topik, juga person, yang kebal atas situasi ini.
Pembaca yang aktif dalam media sosial tentu pernah merasakan situasi buruk seperti yang digambarkan tadi. Begitu juga saya. Cacian, makian, umpatan dan berbagai kata-kata kasar, bahkan juga ancaman fisik seperti tak pernah putus ditujukan kepada saya baik melalui SMS maupun melalui akun Twitter saya, terutama bila HTI sedang menghadapi kasus atau event tertentu, seperti demo besar menentang kenaikan harga BBM baru lalu. Ada sebagian yang merespon aksi HTI itu dengan cukup simpatik, bertanya atau berusaha mendebat dengan sopan argumen kita mengapa menolak kenaikan harga BBM. Tapi tak sedikit juga yang sekadar memaki, seolah kita ini kelompok yang bodoh, tak tahu apa-apa, yang bertindak tanpa dasar, sehingga pantas diperlakukan secara nista.
Kasus yang paling baru adalah tulisan saya di majalah al Waie edisi Januari 2015 lalu yang berjudul Hemat. Sejatinya, tulisan itu adalah kritik sangat keras kepada presiden Jokowi, yang begitu ingin menampilkan diri sebagai pemimpin yang hemat, tapi faktanya itu hanya dilakukan dalam perkara yang “kecil” seperti bepergian dengan pesawat komersial di kelas ekonomi, sementara di saat yang sama ia justru melakukan pemborosan dalam perkara yang “besar”, seperti membiarkan SDA di negeri ini terus dihisap oleh perusahaan-perusahaan asing.
Tapi, begitulah watak media sosial. Tulisan yang memang bisa dicopy paste secara bebas dari situs resmi HTI itu, dipotong begitu saja di bagian awal, kemudian disebar melalui jejaring media sosial dengan caption “Munafik”. Maksudnya, HTI itu munafik, karena katanya dulu mencaci sekarang memuji Jokowi. Kejinya lagi, caption itu dilengkapi dengan foto saya sedang duduk berdampingan dengan Jokowi. Seperti hendak menegaskan, ini loh yang biasa ngritik sekarang duduk berbaik-baik. Padahal itu foto lama yang diambil saat HTI demo gubernur Jokowi untuk tolak ijin pembangunan gedung Kedubesa AS. Enggak nyambung, kan? Selanjutnya bisa diduga. Karena pembaca berikut juga hanya membaca bagian yang memang sengaja dipotong itu, bukan tulisan utuh sebagaimana aslinya, ditambah lihat foto tadi, lalu ikut terprovokasi memberikan komentar buruk. Jadilah parade caci maki kepada HTI.
++++
Oleh karena itu, penting sekali para pegiat media sosial memiliki kendali diri yang kokoh agar terus bisa menggunakan media ini semata untuk kebaikan. Dari sana kita bisa mendapat banyak sekali manfaat, dan insya Allah juga banyak pahala. Sebaliknya, tanpa kendali yang kokoh, media sosial akan berkembang menjadi alat yang sangat destruktif, penyebar fitnah dan kebencian, serta tentu saja penambah dosa. Di sinilah, penting sekali kita memahami dan melaksanakan betul do – don’t nya (apa yang boleh dan apa yang tidak boleh) dalam bermedia sosial. Dengan begitu, insya Allah kita akan tetap selalu di jalan yang benar, dan terhindar dari berbagai macam penyakit sosial yang berkembang biak di dunia maya.
Di akhir tulisannya, Darwis Tere Liye mengingatkan kita juga tentang berkurangnya banyak waktu produktif akibat bermain media sosial tanpa kendali. Dia katakan, jika diasumsikan jumlah pengguna aktif internet di Indonesia 40 juta orang, dan rata-rata mereka mengunjungi media sosial dan sejenisnya 1 jam setiap hari, berarti ada 40 juta waktu yang telah terbuang setiap hari. Jika membangun Candi Borobudur, katakanlah, butuh 20 tahun dengan 2.000 pekerja yang bekerja 8 jam setiap hari, maka total jam kerja untuk menyelesaikan satu Candi Borobudur adalah 119 juta jam kerja. Maka, bangsa ini katanya, bisa menyelesaikan satu candi setiap tiga hari. Ilustrasi Darwis mungkin terdengar berlebihan. Tapi memang penting direnungkan, bahwa media sosial, sebagaimana produk teknologi lain, selalu memiliki dua sisi seperti pisau bermata dua. Tak pandai kita mengendalikan, tak ayal mata pisau tajam itu justru mengiris kita sendiri.