(Tafsir QS al-Muthaffifin [83]: 14-17)
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ، كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ، ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُو الْجَحِيمِ، ثُمَّ يُقَالُ هَذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُونَ
Sekali-kali tidak demikian. Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka. Kemudian sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. Lalu dikatakan (kepada mereka), “Inilah azab yang dulu selalu Kami dustakan.” (QS al-Muthaffifin [83]: 14-17).
Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang adanya kitab catatan khusus tentang amal perbuatan orang-orang durhaka. Catatan itu berada di Sijjîn. Kemudian disampaikan ancaman siksa yang pedih bagi orang-orang yang mendustakan Hari Kiamat. Ditegaskan pula, bahwa tidak ada yang mendustakan perkara keimanan itu kecuali orang yang melampaui batas, banyak berbuat dosa, dan menyebut al-Quran sebagai dongengan orang-orang dulu.
Kemudian ayat membantah perkataan dan menerangkan perkara yang sebenarnya, bahwa pangkal sebenarnya adalah perilaku maksiat dan dosa mereka yang membuat mereka hati tertutup menerima kebenaran.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Kallâ bal râna ‘alâ qulûbihim mâ kânû yaksibûna (Sekali-kali tidak [demikian], sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka). Kata kallâ dalam ayat ini bermakna rad’[un] wa zajr[un] (mencegah dan menghalangi).1 Maknanya, perkara sebenarnya tidak seperti yang mereka klaim bahwa al-Quran itu adalah asâthîr al-awwalîn (dongengan orang-orang dulu). Sesungguhnya yang menyelubungi dan menutupi hati mereka adalah pengaruh dosa-dosa dan kejahatan sehingga menghalangi hati mereka untuk mengetahui kebenaran dan menerimanya.2
Dalam ayat itu disebutkan râna ‘alâ qulûbihim mâ kânû yaksibûna. Pada asalnya, kata ar-rayn (mashdar dari kata râna) berarti ash-shada` (karat). Dikatakan, “Râna ‘alayhi adz-dzanbu wa ghâna ‘alayhi” (Dosa itu menutupi dan menyelubungi dirinya).3
Adapun yang dimaksud dengan mâ kânû yaksibûna adalah kesalahan-kesalahan dosa-dosa mereka.4 Ayat ini memang masih melanjutkan ayat sebelumnya yang menerangkan tentang mu’tad[in] atsîm (orang yang melampaui batas dan banyak melakukan dosa) lagi melecehkan al-Quran, yang disebutkan sebagai sifat orang-orang yang mendustakan Hari Kiamat. Dengan demikian ayat ini dapat dipahami bahwa yang menutup hati mereka sehingga menolak beriman dan tidak mau menerima kebenaran adalah pelanggaran terhadap syariah, banyaknya dosa yang mereka kerjakan, dan pelecehan mereka terhadap al-Quran.
Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Hati mereka dikuasai, diselubungi dan diliputi oleh dosa-dosa mereka sehingga dosa itu menutup hatinya.”5
Ibnu Katsir juga berkata, “Sesungguhnya yang menutupi hati mereka untuk beriman adalah kotoran yang telah melekat lantaran banyaknya dosa-dosa dan kesalahan.”6
Mujahid pun berkata, “Yaitu seseorang yang berbuat dosa. Lalu dosa itu meliputi hatinya. Kemudian dia berbuat dosa lagi dan dosa itu kian meliputi hatinya hingga dosa-dosa itu pun menutupi hatinya.”7
Bakar bin Abdullah memberikan perumpamaan agak berbeda dengan makna yang sama. Dia berkata, “Sesungguhnya hamba, jika berbuat dosa, maka terdapat di hatinya seperti tertusuk jarum. Kemudian dia berbuat dosa lagi, maka hatinya akan seperti itu lagi. Lalu ketika telah banyak dosa, hatinya seperti ayakan atau saringan yang tidak memahami kebaikan dan tidak ada lagi kebaikan di dalamnya.”8
Abu Muadz an-Nahwi berkata, “Ar-Rayn adalah hitamnya hati karena dosa. Ath-Thab’u adalah tertutupnya hati. Ini lebih parah daripada ar-rayn. Adapun al-iqfâl (hati yang telah terkunci) lebih parah daripada ath-thab’.9
Dikatakan pula Hasan al-Bashri, “Ar-Rân artinya dosa di atas dosa hingga hati menjadi buta dan akhirnya mati.”
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Mujahid, Qatadah, Ibnu Zaid dan lain-lain.10
Kesimpulan para mufassir ini juga didasarkan pada hadis Nabi saw. yang menjelaskan ayat ini. Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ (كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ(
Sesungguhnya seorang hamba, jika melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Jika ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertobat, hatinya dibersihkan. Jika ia kembali (melakukannya) maka (akan) ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutup hatinya. Itulah yang diistilahkan dengan sebutan “ar-rân” yang Allah sebutkan: Kallâ bal râna ‘alâ qulûbihim mâ kânû yaksibûn (QS al-Muthaffifîn [83]: 14).” (HR al-Tirmidzi dari Abu Hurairah ra.).
Kemudian Allah SWT berfirman: Kallâ innahum ‘an Rabbihim yawmaidzin lamahjûbûn (Sekali-kali tidak. Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari [rahmat] Tuhan mereka). Kata kallâ di sini juga bermakna rad’[un] wa zajr[un] (mencegah dan menghalangi). Artinya, tidaklah seperti yang mereka katakana; sesungguhnya pada saat itu mereka terhalangi dari Tuhan mereka.11
Sebagaimana ayat sebelumnya, kata yawmaydzin menunjuk pada Hari Kiamat. Dengan demikian peristiwa yang diberitakan ayat ini terjadi pada Hari Kiamat. Pada hari itu mereka mahjûbûn dari Tuhan mereka. Kata mahjûb merupakan bentuk maf’ûl dari kata hijâb. Secara bahasa, kata tersebut bermakna mencegah sampainya sesuatu.12
Dengan demikian, ketika disebutkan mereka mahjûbûn dari Tuhan mereka, berarti mereka terhalang dari Tuhannya.
Menurut sebagian mufassir, yang terhalang dari Tuhannya adalah rahmat dan kemuliaan-Nya. Ibnu Abbas, Qatadah dan Ibnu Mulaikah menyatakan, “Mereka terhalang dari rahmat-Nya.” Ibnu Kaisan, “Dari kemuliaan-Nya.” Mujahid berkata, “Mereka terhalang dari kemuliaan dan rahmat-Nya.”13
Sebagian lainnya memahami bahwa yang terhalang dari Tuhan mereka adalah pandangan mereka. Pada Hari Kiamat, mereka tidak bisa melihat Allah SWT karena pandangan mereka mahjûb (terhalang) dari-Nya. Dikatakan al-Alusi, “Mereka tidak melihat Allah SWT. Padahal Dia hidup dan melihat mereka. Ini berbeda dengan orang-orang Mukmin. Dengan demikian hijâb (penutup) merupakan kiasan dari tidak melihat. Sebab, mahjûb (yang tertutup, terhalang) berarti tidak melihat apa yang ditutupi, atau al-hujub adalah al-man’ (menghalangi). Kalimat ini menghilangkan mudhâf, asalnya ‘an ru’yah Rabbihim’ (dari melihat Tuhan mereka) karena terhalangi sehingga mereka tidak dapat melihat-Nya.”14
Dikatakan al-Khazin, pengertian ayat adalah mereka terhalang melihat Allah SWT merupakan pendapat sebagian besar para mufassir.15
Kedua penafsiran tersebut tidak saling bertentangan sehingga keduanya bisa diambil. Artinya, pada hari Kiamat mereka terhalang dari rahmat dan kemuliaan-Nya, juga terhalang pula pandangan mereka dari Tuhan mereka.
Kemudian Allah SWT berfirman: Tsumma innahum lashâlû al-jahîm (Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka). Kata ash-shaly pada asalnya berarti al-îqâd bi al-nâr (menyalakan api).16 Dalam ayat ini dan ayat lainnya dengan konteks yag sama, berarti masuk ke dalam neraka. Menurut al-Qurthubi, ayat ini memberikan makna: Mereka menetap di dalamnya, tanpa keluar darinya. Ini sebagaimana firman Allah SWT:
كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ
Setiap kali kulit mereka hangus, Kami mengganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab (QS an-Nisa’ [4]: 56).
كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا
Tiap-tiap kali nyala api Jahanam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya (QS al-Isra’ [17]: 97).17
Allah SWT berfirman: Tsumma yuqâlu hadzâ al-ladzî kuntum bihi tukazdzibûn (Kemudian dikatakan [kepada mereka]: “Inilah azab yang dulu selalu kalian dustakan.”).
Setelah mereka dimasukkan ke dalam neraka, kemudian dikatakan kepada mereka perkataan demikian. Menurut al-Alusi, itu dikatakan mereka sebagai taqrî’ wa tawbîkh (celaan dan dampratan) terhadap mereka.18 Perkataan ini diucapkan oleh para malaikat penjaga neraka. Bisa juga oleh penghuni surga.
Demikianlah balasan yang bakal diterima orang-orang yang mendustakan Hari Kiamat dan berbagai perkara iman lainnya.
Nasib Orang yang Mendustakan Hari Kiamat
Terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat ini. Pertama: kemaksiatan menjadi pangkal penyebab hati tertutup. Hal ini dengan jelas dapat dipahami dari ayat ini: bal râna ‘alâ qulûbihim mâ kânû yaksibûna. Sebagaimana telah dipaparkan, ayat ini memberikan pemahaman bahwa yang menutup dan menyelimuti hati sehingga menolak keimanan adalah perbuatan melampaui batas, banyak berbuat dosa, dan sikap melecehkan al-Quran.
Menurut Mujahid, hal ini juga diterangkan dalam firman Allah SWT:
بَلَى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
(Bukan demikian), yang benar: Siapa saja berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya (QS al-Baqarah [2]: 81).19
Oleh karena itu, siapa pun yang tidak ingin hatinya tertutup, bahkan terkunci mati, tidak ada pilihan lain kecuali meninggalkan semua perbuatan maksiat, berhenti melakukan perbuatan dosa serta memuliakan al-Quran dan menjadikannya sebagai petunjuk bagi kehidupannya.
Kedua: Di antara kenikmatan bagi penghuni adalah dapat melihat Allah SWT di akhirat. Kesimpulan ini didasarkan pada firman Allah SWT: Kallâ innahum ‘an Rabbihim yawmaidzin lamahjûbûn (Sekali-kali tidak. Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari [rahmat] Tuhan mereka).
Secara zhahir, ayat ini memberitakan bahwa pada Hari Kiamat orang-orang kafir terhalang pandangannya terhadap Tuhan mereka. Sebaliknya, orang-orang kafir dihalang untuk itu. Hal ini bisa dipahami, bahwa orang-orang Mukmin yang menjadi penghuni surga dapat melihat Allah SWT. Abdullah asy-Syafi’i berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa orang-orang Mukmin pada Hari Kiamat akan melihat Allah SWT.”
Ini didasarkan pada mafhûm ayat ini. Sebagaimana pula ditunjukkan secara manthûq oleh firman Allah SWT:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS al-Qiyamah [75]: 22-23).20
Imam asy-Syafii juga berkata, “Ketika Dia menghalangi suatu kaum karena murka, menunjukkan pula bahwa kaum lainnya dapat melihat-Nya karena ridha.”21
Al-Zajjaj juga berkata, “Di dalam ayat ini terdapat dalil bahwa Allah SWT dapat terlihat pada Hari Kiamat. Seandainya tidak begitu, maka tidak ada manfaatnya dalam ayat ini dan kedudukan kafir tidak hina karena mereka dihalangi (untuk melihat Allah SWT).”22
Menurut Ibnu Katsir, selain ayat ini, juga ditunjukkan oleh hadis-hadis mutawatir yang memberitakan bahwa kaum Mukmin akan melihat Allah SWT di akhirat dengan mata kepala mereka di halaman rumah dan kebun-kebun surga.23
Ketiga: Orang-orang yang mendustakan Hari Kiamat akan dimasukkan ke dalamnya. Ini dengan jelas diberitakan dalam firman Allah SWT: Tsumma innahum lashâlû al-jahîm (Kemudian sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka). Di dalamnya mereka menerima aneka siksa yang amat pedih. Mereka juga dilecehkan karena mendustakan Hari Kiamat.
Allah SWT berfirman: Tsumma yuqâlu hadzâ al-ladzî kuntum bihi tukazdzibûn (Kemudian dikatakan [kepada mereka]: “Inilah azab yang dulu selalu kalian dustakan.”).
Demikianlah nasib orang-orang yang melampaui batas, banyak melakukan perbuatan dosa dan melecehkan al-Quran. Mereka harus menerima akibatnya. Di dunia hati mereka tertutupi sehingga sulit menerima kebenaran dan menolak untuk beriman. Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari hal demikian.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1994), 259.
2 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 536.
3 Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 279.
4 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 536.
5 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 286.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm,vol.8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 347.
7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 259-260.
8 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 261.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 261.
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,vol.8, 347.
11 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 261.
12 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qlam, 1992), 220.
13 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 429.
14 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 280.
15 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wî fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Berut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 405.
16 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 490
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 259.
18 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 280.
19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 259.
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm,vol.8, 347.
21 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 429.
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm,vol.8, 347.
23 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 261.
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm,vol.8, 347.