Wali diangkat oleh Khalifah. Karena itu Khalifah wajib mengontrol kinerja para walinya. Apa saja yang wajib dilakukan Khalifah terkait hal ini.
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Negara Islam pasal 60, yang berbunyi: “Khalifah wajib mengontrol setiap aktivitas para wali dan melakukan pengawasan secara ketat terhadap para wali. Khalifah dapat menunjuk orang yang mewakili dirinya untuk menyelidiki kondisi mereka dan melakukan audit atas mereka. Khalifah wajib mengumpulkan para wali atau sebagian dari mereka pada satu kesempatan atau kesempatan lainnya. Khalifah juga harus senantiasa mendengarkan keluhan-keluhan masyarakat atas para wali itu.” (Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, hlm. 19).
Menguji Kompetensi Bakal Wali
Khalifah wajib menguji kompetensi bakal wali. Dengan cara ini, Khalifah akan mengetahui layak-tidaknya seseorang menjadi wali yang akan mewakili dirinya dalam menjalankan roda pemerintahan. Terkait hal ini Rasulullah saw. pernah menanyai para wali ketika mengangkat mereka, sebagaimana yang pernah beliau lakukan terhadap Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-‘Asy‘ari. Beliau pernah bertanya kepada Muadz ketika hendak mengutus dia menjadi qadhi di Yaman: “Dengan apa engkau akan menghukumi?” Muadz berkata, “Aku akan menghukumi dengan Kitab Allah.” Rasul bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tidak menemukan dalam Kitab Allah?” Muadz berkata: “Dengan Sunnah Rasulullah.” Rasul bertanya lagi, “Bagaimana jika engkau tidak menemukannya?” Muadz berkata: “Aku akan berijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan melampaui batas.” Lalu, Rasulullah saw. bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah atas perkara yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Talkhish al-Habir, mengutip perkataan Ibnu Thahir, menyatakan bahwa hadis ini mempunyai dua jalan sanad; keduanya tidak shahih. At-Tirmidzi berkata bahwa hadis ini tidak kami kenal kecuali dengan jalan ini, juga bukan merupakan hadis muttashil (sanad-nya bersambung). Akan tetapi kepopuleran hadis ini di antara manusia, dan penerimaan mereka terhadap hadis tersebut merupakan perkara yang menguatkan hadis ini (‘Atha’ bin Khalil, Taisîr al-Wushul ila al-Ushul, hlm. 262).
Beliau juga pernah memberitahu mereka beberapa perkara penting seperti yang beliau lakukan terhadap Aban bin Said ketika beliau mengangkat dia sebagai wali di Bahrain. Sebagaimana yang disebutkan dalam Ath-Thabaqât al-Kubra-nya Ibnu Saad, bahwa Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada ‘Ala’ bin al-Hadhrami untuk mengirim kepada beliau dua puluh orang dari kabilah Abdi Qays. Kemudian dikirimlah dua puluh orang yang dipimpin oleh Abdullah bin Auf al-Asyaj. Selama kepergiannya bersama dua puluh orang tersebut, Al-‘Ala’ menjadikan al-Mundzir bin Sawa pemimpin sementara di Bahrain. Lalu, delegasi kabilah Abdi Qays itu mengadukan ‘Ala’ bin al-Hadhrami sehingga Rasulullah saw. memberhentikan dia. Selanjutnya Rasulullah saw mengangkat Aban bin Said al-‘Ash untuk menjadi wali di Bahrain. Kepada Aban Rasulullah saw. bersabda, “Mintalah nasihat kebaikan kepada Abdi Qays dan muliakanlah para pemuka mereka.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqat al-Kubra, IV/361).
Mengontrol Para Wali
Khalifah tidak cukup hanya menguji kompetensi para walinya. Khalifah juga wajib terus mengontrol kinerja mereka ketika mereka telah diangkat menjadi wali, yaitu dengan meminta pertanggungjawaban para wali, menyelidiki kondisi mereka, dan mendengarkan berita tentang mereka yang disampaikan kepada Khalifah. Dalam hal ini, terdapat nas (dalil) bahwa Rasulullah saw. pernah meminta pertanggungjawaban wali yang mengurusi harta yang dikeluarkan dan pengeluarannya. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abu Humaid as-Sa‘idi: Nabi saw. pernah mengangkat seorang laki-laki dari Bani Asad, yang dikenal dengan nama Ibnu Lutbiyah, sebagai amil untuk mengurusi zakat (Bani Sulaim). Ketika ia kembali kepada Rasulullah saw., ia berkata, “Ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk aku.” Lalu Nabi saw. bangkit menuju mimbar. Sufyan juga berkata, “Lalu beliau naik ke atas mimbar.” Setelah menyampaikan tahmid dan pujian kepada Allah SWT, beliau bersabda, “Apa yang ada dalam pikiran seorang amil saat kami telah mengutus dia. Ketika kembali ia bekata, ‘Ini untuk kamu dan ini untuk aku.’ Mengapa ia tidak duduk di rumah bapak dan ibunya saja. Lalu, lihat apakah ada orang yang akan memberi dia hadiah, atau tidak. Demi Zat Yang jiwaku ada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seorang mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia datang pada Hari Kiamat dengan dikalungi sesuatu yang bukan haknya itu di pundaknya; jika unta, ia bersuara seperi unta; jika sapi, ia bersuara seperti sapi; dan jika kambing, ia bersuara seperti kambing.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, dan bersabda, “Ingatlah, sudahkah aku menyampaikan,” dengan diulang tiga kali.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Khalifah Umar bin al-Khaththab sangat ketat mengontrol para wali. Beliau menunjuk Muhammad bin Maslamah untuk menyelidiki kondisi mereka dan mengaudit mereka. Beliau mengumpulkan para wali pada musim haji untuk melihat apa yang telah mereka lakukan. Beliau mendengarkan keluhan-keluhan rakyat terhadap mereka, mengingatkan mereka tentang urusan-urusan kepemimpinan, dan untuk mengetahui kondisi mereka (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 202; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 77).
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab bahwa ia pernah berkata pada suatu hari kepada orang-orang yang berada di sekitarnya, “Bagaimana pendapat kalian jika aku mengangkat amil bagi kalian dari orang yang terbaik yang aku ketahui. Lalu, aku perintahkan ia agar berlaku adil. Apakah dengan itu aku telah menunaikan apa yang dibebankan kepadaku?” Mereka menjawab: “Benar.” Umar berkata, “Tidak, hingga aku menyelidiki aktivitas-aktivitasnya. Apakah ia melakukannya sesuai dengan yang aku perintahkan atau tidak.” (HR al-Baihaqi dalam as-Sunan dari Thawus).
Khalifah Umar juga sangat ketat dalam meminta pertanggungjawaban para wali dan amilnya. Begitu ketatnya Khalifah Umar dalam meminta pertanggungjawaban sampai salah seorang dari mereka diberhentikan karena suatu syubhah (kesamaran) yang tidak didukung oleh bukti. Khalifah Umar telah memberhentikan sejumlah wali dan amil karena adanya keraguan yang bahkan tidak sampai derajat syubhah (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 202; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 78; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 180).
Pada suatu hari, Khalifah Umar pernah ditanya tentang pemberhentian sejumlah wali dan amil itu, lalu ia berkata, “Ini sesuatu yang mudah. Yang menjadikan suatu kaum lebih baik adalah aku mengganti untuk mereka seorang amir yang baru menggantikan posisi amir yang lama.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqat al-Kubra, III/284).
Karena besarnya perhatian Umar bin al-Khaththab terhadap kinerja pawa wali dan amilnya ini, beliau dikenal dengan slogan yang membuat merinding para pejabat pemerintah di bawahnya:
خَيْرُ لِي أَنْ أَعْزِلَ كُلَّ يَوْمٍ وَالِياً مِنْ أَنْ أَبْقِيَ ظَالِماً سَاعَةَ نَهَارٍ
Bagiku, lebih baik setiap hari memberhentikan seorang wali daripada membiarkan seorang zalim berkuasa walau sebentar saja pada siang hari.
Beliau juga berkata:
أَيُّمَا عَامِلٍ لِي ظَلَمَ أَحَداً فَبَلَغَنِي مَظْلِمَتُهُ فَلَمْ أُغَيِّرْهَا فَأَنَا ظَلَمْتُهُ
Siapapun amil yang aku angkat, yang menzalami seseorang, lalu kezalimannya sampai kepadaku, sementara aku tidak mengubah dia, maka sungguh aku telah menzalimi dirinya (Ash-Shalabi, Fashl al-Khithab fi Sirah Ibn al-Khaththab Amirul Mu’minin Umar Ibn al-Khaththab, hlm. 402).
Meskipun sedemikian ketatnya Khalifah Umar terhadap para wali, beliau tetap bersikap terbuka terhadap mereka dan memelihara kemuliaan mereka dalam (menjalankan urusan) pemerintahan. Beliau biasa mendengarkan mereka dan memperhatikan argumentasi mereka. Jika argumentasi mereka memuaskan, beliau tidak menyembunyikan kepuasannya atas argumentasi tersebut. Bahkan setelah itu ia memberikan pujian kepada amilnya (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 202; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 78; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 180).
Pada suatu hari, telah sampai berita, bahwa amilnya di Himsh, yaitu Umair bin Saad, berkata dan ketika itu ia sedang berada di atas mimbar, “Ingatlah, bahwa Islam itu dinding yang kokoh dan pintu yang kuat. Dinding Islam adalah keadilan. Pintunya adalah kebenaran. Jika dindingnya rusak dan pintunya pecah, maka mulailah mencari keselamatan. Sungguh, Islam akan tetap kokoh selama penguasa itu bersikap keras. Sikap keras penguasa itu bukan berupa pembunuhan dengan pedang atau pukulan dengan cemeti, tetapi memutuskan perkara secara benar dan mengambil secara adil.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqat al-Kubra, IV/375).
Lalu Khalifah Umar berkata tentang kelebihan yang ada pada Umair bin Saad ini, “Aku merasa senang seandainya aku mempunyai lelaki semisal Umair bin Saad, pasti aku akan meminta tolong kepada dia untuk mengurusi aktivitas-aktivitas kaum Muslim.” (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 202; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 78; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 181).
Dr. Abdullah Qadiri dalam Al-Kafa’ah al-Idariyah berkata, “Ketika Khalifah melakukan kontrol yang ketat terhadap para walinya, ini tidak dimaksudkan untuk mengintervensi setiap tindakan wali; menyulitkan, memata-matai, atau meminta dia agar mencabut setiap kesalahan ijtihad yang terjadi pada mereka. Semua ini dilakukan untuk memastikan bahwa para wali itu benar-benar telah menjalankan kewajibannya.”
WalLahu a’lam bish-shawab. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
‘Atha’ bin Khalil, Taysir al-Wushul ila al-Ushul, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan III (edisi revisi), 2000.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Ibnu Saad, Muhammad bin Saad bin Muni’ Abu Abdillah al-Bashri az-Zuhri, ath-Thabaqât al-Kubrâ, (Beirut: Dar Shadir), Cetakan I, 1968.
Al-Shalabi, DR. Ali Muhammad Muhammad, Fashlul Khithab fi Sirah Ibn al-Khaththab Amirul Mu’minin Umar Ibn al-Khaththab, (Kairo: Maktabah at-Tabi’in), Cetakan I, 2002.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadimi, Nizham al-Hukm fi al-Islam (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.