HTI

Lintas Dunia (Al Waie)

Lintas Dunia [Maret 2015]

Film American Sniper di Balik Meningkatnya Islamofobia di AS

Sebuah kelompok hak-hak sipil Arab-Amerika mengatakan dirilisnya film kontroversial American Sniper telah menyebabkan meningkatnya islamofobia di Amerika Serikat yang mengarah pada lebih banyak serangan dengan kekerasan terhadap Muslim.

Abed Ayoub, Direktur Hukum Komite Anti-Diskriminasi Amerika-Arab (ADC), mengatakan dalam sebuah wawancara dengan surat kabar The Guardian pada Kamis bahwa komentator politik sayap kanan AS juga memainkan peran penting dalam mendorong kebencian terhadap Muslim yang mengakibatkan pembunuhan terhadap tiga pemuda Muslim di North Carolina.

Ayoub menyebut film American Sniper bulan lalu menjadi “titik balik” gelombang baru sentimen anti-Arab dan anti-Muslim di Amerika Serikat. Film ini didasarkan pada otobiografi yang terkenal dari Navy SEAL Amerika, Chris Kyle, yang dikirim ke Irak dan dikenal sebagai penembak jitu paling mematikan dalam sejarah Amerika.

Dalam bukunya yang menjadi dasar film itu, Kyle menulis telah membunuh 60 orang Irak. “Biadab, kebengisan, kejahatan keji. Itulah yang kami sedang perangi di Irak.”

“Hal ini mungkin tidak langsung berhubungan dengan film. Namun, secara keseluruhan islamofobia dan sentimen anti-Arab yang berkembang di negeri ini tergambar dalam kata-kata mereka yang menonton film American Sniper,” ujar Ayoub seperti diberitakan presstv.ir, Jumat (13/2).

Republik Desak Obama Buka Kedok Perang Lawan Teroris

Partai Republik desak Presiden Obama untuk membuka kedok perang melawan teroris dengan menyebut secara langsung perang yang sebenarnya yakni: melawan Islam. Karena tidak segera menyebut demikian, Presiden Obama mendapat kritik pedas dari sesama rekannya di Partai Republik. “Kami berada dalam perang agama dengan kelompok Islam radikal,” kata Lindsey Graham baru-baru ini kepada Fox News.

Rudy Giuliani setuju, “Jika kita tidak bisa menggunakan kata-kata terorisme Islam radikal, maka kita tidak bisa menyingkirkan mereka.”

Demikian pula Ted Cruz. Di Iowa Freedom Summit pada bulan Januari dia menyatakan, “Anda tidak bisa melawan dan memenangkan perang melawan terorisme Islam radikal jika Anda tidak mau mengatakan kata-kata terorisme Islam radikal.”

Menurut aktivis Hizbut Tahrir Abdul Majeed, sikap Partai Republik memaksa Obama membuka topeng dalam rangka meraih suara pada Pemilu 2016 karena kebencian publik Amerika terhadap Islam meningkat.

Ia pun merujuk Zogby Arab-American Institute, yang telah melakukan jajak pendapat rakyat Amerika mengenai pandangan mereka tentang kelompok-kelompok agama dan etnis sejak tahun 1990-an. Berdasarkan jajak pendapat tersebut, orang Amerika yang tidak suka orang Arab dan kaum Muslim naik pesat setelah Peristiwa 11/9 dan sejak itu angkanya hampir tidak beranjak. Peringkat yang tidak menguntungkan bagi umat Islam telah menurun dari puncaknya sebesar 55 persen pada tahun 2010 menjadi 45 persen pada bulan Juli, tetapi pada saat yang sama, peringkat yang menguntungkan telah jatuh, dari 41 persen pada 2012 menjadi 27 persen pada tahun 2014. “Partai Republik ingin mengeraskan pandangan mereka terhadap Islam dalam upaya untuk memenangkan konstituen dari partai non-Republik yang meyakini bahwa Obama dan Partai Demokrat gagal dalam perangnya melawan Islam,” ujar Abdul Majeed kepada Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir baru baru ini.

Karena itu, saran Abdul Majeed, dunia Muslim perlu mempersiapkan secara memadai untuk menghadapi peperangan ini dengan mendirikan Negara Islam sejati yang mampu menyatukan dan membela umat Islam dari musuh-musuhnya. “Tanggung jawab berada pada umat Islam untuk mendirikan Khilafah Rasyidah demi mengusir campur tangan Barat di negeri-negeri Islam,” pungkasnya.

ISIS jadi Dalih Amerika Langgengkan Penjajahannya di Afganistan

ISIS menjadi dalih Amerika untuk melanggengkan penjajahannya di Afganistan. Hal itu terungkap dalam pernyataan Menteri Pertahanan Amerika Terpilih Ashton Carter saat menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh Komite Militer Senat AS tentang kekhawatiran keamanan dalam upaya meningkatkan jumlah atau evakuasi pasukan AS di Afganistan. “Saya akan mempertimbangkan kembali rencana evakuasi dalam kasus tersebut,” ungkapnya seperti dilansir Assosiated Press, baru baru ini.

Terlepas dari kenyataan bahwa pasukan Barat telah melakukan rencana lain dari rencana jahat mereka untuk mengeksploitasi tindakan ISIS, menurut aktivis Hizbut Tahrir Afganistan Saifullah Mustanir, Amerika dan negara negara kafir Barat telah mengambil keuntungan lain dari tindakan salah yang dilakukan ISIS.

“Mereka menggunakan apa yang dilakukan ISIS sebagai sarana untuk menyeret rezim-rezim boneka di negara-negara Muslim dalam rangka bersatu memerangi seruan global atas kembalinya sistem Islam, juga untuk menekan umat Islam di negara-negara mereka,” ujar Saifullah kepada Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir, Senin (9/2).

Saifullah juga menyebut keinginan Amerika dan sekutunya menduduki kembali Afganistan secara penuh agar Afganistan menjadi titik balik bagi perang AS dan tentara salib kolonial NATO untuk menuju Asia Tengah dan Laut Kaspia.

“Di samping itu, juga untuk menyebarkan perselisihan sektarian dan pelestarian perpecahan politik, serta untuk mengarahkan opini publik untuk menentang konsep Khilafah yang benar sesuai dengan metode kenabian,” ujarnya.

Keinginan PM Abbott Melarang HT di Australia akan Gagal

Dalam pidatonya di National Press Club, Perdana Menteri Australia Tony Abbot berkeinginan kuat untuk melarang Hizbut Tahrir (HT).

Abbot mengakui kecewa dan marah karena Hizbut Tahrir tidak bisa dilarang di bawah aturan perundang-undangan yang ada sekarang. Padahal menurut Abbott, organisasi tersebut giat berkampanye menentang nilai-nilai yang berlaku di Australia.

Menanggapi keinginan PM Abbott, Ismail Alwahwah dari HT Australia, dalam surat terbukanya yang ditujukan kepada dia terkait pidatonya di National Press Club itu, mengungkapkan bahwa keinginan kuat Abbott untuk melarang dan membungkam HT akan gagal. Alwahwah menyatakan, untuk berhasil dalam hal itu, Abbott harus mencoba sesuatu yang belum pernah dicoba sebelumnya. Artinya, Abbott harus memilih untuk menghindari upaya yang telah dilakukan rezim Yordania, Irak, Suriah, Mesir, Arab Saudi, Rusia, Asia Tengah dan lain-lain; mulai dari penganiayaan, penjara dan penyiksaan, pembunuhan, pelarangan dan penyebaran fitnah. Faktanya, menurut Alwahwah pula, kegagalan semua rezim tersebut dalam membasmi HT sangat jelas.

Lebih lanjut dinyatakan dalam surat terbukanya kepada PM Abbott, “Jika contoh Jerman mungkin menarik bagi Anda, maka saya menyarankan Anda untuk berkonsultasi dengan mereka dan mengambil satu atau dua pelajaran dari kegagalan mereka, sebelum Anda mengikutinya. Jika Anda ingin datang dengan apa yang belum pernah dicoba oleh orang-orang sebelum Anda, maka Anda memiliki satu dan hanya satu cara, itu adalah cara termudah, terpendek dan paling efektif: mencegah aliran udara; untuk ide-ide yang tersebar melalui udara. Anda akan berhasil melarang ide dan penyebarannya ketika Anda dapat mencegah aliran udara itu sendiri,” demikian tegas Ismail Alwahwah.

Prancis Pisahkan Anak-anak Muslim dari Orangtua

Prancis menggunakan semua cara untuk memerangi radikalisme dan ekstremisme Islam. Salah satunya, dan yang paling baru, memisahkan anak-anak Muslim dengan orangtua mereka.

Praktik ini baru dilakukan di Bourgoin Jallieu, dekat Lyon, akhir Januari lalu. Korbannya adalah keluarga Maher Msakni.

Msakni sedang berada di Tunisia ketika mendengar berita anaknya dipisahkan dari ibunya oleh pemerintah Prancis. Ia segera pulang dan mencari tahu kebenaran kabar ini. Kepada Roshan Muhammad Salih, editor koran Islam 5Pillars, Msakni mengatakan pihak berwenang mencurigai dirinya akan melakukan perjalanan jihad ke Suriah. “Saya tidak pernah berniat ke Suriah dan berjihad,” ujar Msakni. “Saya ke Tunisia untuk mempersiapkan kepindahan saya ke negara asal saya, karena tidak nyaman lagi mempraktikkan Islam di Prancis.”

Msakni tidak bisa lagi menemui anak-anaknya yang berusia empat, lima, enam tahun, 18 dan tiga bulan. Semuanya diambil pihak berwenang.

Roshan Muhammad Salih mengunjungi anak-anak itu, Senin (2/2), di kantor polisi Bourgoin Jallieu, tetapi polisi menolak berkomentar soal keputusan mengambil anak-anak Msakni.

Koalisi Melawan Rasisme dan Islamofobia (CRI) Lyon juga menerima keluhan dari seorang ibu bernama Aicha. CRI mendapat kabar polisi mengambil tiga anak Aicha atas perintah pihak berwenang.

Dua anak dijemput paksa di sekolah. Satu lagi, masih berusia tiga bulan, direngkuh dari gendongan sang ibu. Aicha panik dan menangis. Ia memohon kepada polisi agar dibiarkan menyusui anaknya.

CRI menyatakan, “Ini kekejaman tak terbayangkan, kekerasan tak terperi terhadap anak-anak dan orangtua merka. Anak-anak itu dibawa ke tempat tak diketahui, dengan tujuan menghancurkan psiko-emosional.”[Joy, dari berbagai sumber]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*