Membaca sejarah Mesir pasti tidak akan lepas dengan peran Mesir dalam ‘mengkomando’ negara-negara Arab untuk menyerang Israel pada tahun 1967. Saat itu Mesir dipimpin oleh Presiden Gamal Abdul Nasser. Pada tahun tersebut kawasan Timur Tengah memasuki tahapan konflik yang sangat tajam antara Inggris dan AS. AS mulai memainkan slogan kemerdekaan, persatuan, dan sosialisme di Mesir.
Gamal Abdul Nasser mulai berkonflik dengan sengit melawan Inggris demi AS. Atas dasar rekomendasi AS, Nasser membeli sejumlah besar persenjataan dari Blok Timur dan menggembar-gemborkan kepada rakyatnya, bahwa itu akan digunakan untuk memerangi dan menghancurkan Israel.
Nasser pun sangat dielu-elukan oleh seluruh bangsa Arab. Nasser kemudian mengadopsi nasionalisme Arab, mendeklarasikan bahwa Mesir adalah Arab—ini kemudian dicantumkan dalam UUD Mesir—serta menyerukan keadilan sosial dan persatuan.
Dengan aksi-aksinya ini bangsa-bangsa Arab mendukung dia. Jadilah Nasser salah seorang tokoh sentral di Dunia Arab. Hal ini didukung pula oleh cara AS untuk memukul Inggris dan menimbulkan kekacauan di antara rakyat. Meski saat itu ada permusuhan yang sengit antara AS dan Uni Soviet, AS menempuh cara-cara tertentu untuk memperdaya Uni Soviet di Timur Tengah.
Oleh AS hal itu dijadikan langkah internasional di kawasan Timur Tengah untuk melawan Inggris. Demikian pula meskipun AS memerangi komunisme, AS meyakinkan Nasser untuk mengadopsi dan mempropagandakan sosialisme. Jadi pembelian senjata Blok Timur oleh Mesir menjadi satu faktor yang memasukkan Uni Soviet ke kancah Timur Tengah. Propaganda Nasser terhadap nasionalisme juga menjadi faktor politis dalam upaya menghidupkan nasionalisme Arab setelah sebelumnya nyaris mati. Pengadopsian sosialisme berkembang dari keadilan sosial menjadi faktor yang berpengaruh dalam penyebaran paham kiri dan menjadikan paham tersebut dominan dalam opini umum Timur Tengah. Karena Mesir juga mengambil sikap menyerang pakta-pakta militer asing—terutama Pakta Baghdad—hal ini sangat berpengaruh untuk menghilangkan prasangka bahwa Nasser adalah agen AS. Apalagi Nasser senantiasa melawan imperialisme AS. Sebab itu, tidak ada keraguan sedikitpun bagi seluruh bangsa Arab bahwa Nasser adalah pahlawan agung yang diutus oleh Allah untuk umat ini guna menyelamatkan umat dari penjajahan.1
Perang yang selanjutnya lebih dikenal dengan ‘Perang 6 Hari’ ini ternyata hanyalah rekayasa. Salah satu bukti, Gamal Abdul Nasser dan pemimpin Arab lainnya melakukan pengkhianatan kepada umat Islam dan rakyatnya masing-masing serta tunduk pada rekayasa AS.
Sebuah dokumen rahasia ditemukan menguak bagaimana Gamal Abdul Nasser melakukan ‘pengkhianatan’ kepada umat Islam dan rakyat Mesir. Dalam dokumen rahasia tersebut, direncanakan pada 7 Juni 1967, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser akan mengirim wakil presidennya, Zakaria Mohieddin, ke Washington, untuk melakukan pertemuan rahasia dengan Presiden AS Lyndon Johnson dan anggota kabinetnya. Pertemuan rahasia itu akan membahas situasi Timur Tengah, yang semakin panas, dan menuju perang melawan Israel.
Sebuah rencana pertemuan ini ditemukan dalam kabel departemen luar negeri AS dan dokumen-dokumen di perpustakaan Presiden Johnson di Austin, Texas. Dari dokumen itu, sangat jelas, sekalipun Presiden Gamal Abdul Nasser itu, retorikanya suka berperang, sesungguhnya itu hanyalah untuk konsumsi bangsa Arab. Gamal Abdul Nasser, selalu mengatakan, “Kami siap. Anak-anak kami siap. Tentara kami siap. Bangsa Arab seluruhnya siap,” ungkap Nasser.2
Perlu diketahui, Gamal Abdul Naser sebelumnya senantiasa mengancam melakukan blokade Terusan Suez, yang menjadi urat nadi kepentingan Barat, dan selalu berulang-ulang mengancam AS dan Uni Soviet. Padahal sejatinya Naser selalu berusaha menghindari perang dengan Israel. Naser hanya lantang di mulutnya, tetapi tidak memiliki keberanian berperang.
Masih dalam dokumen tersebut, Senin, tanggal 5 Juni l967, Israel menggertak Nasser. Israel dengan menggunakan pesawat pengebom Prancis, terbang di atas wilayah udara Mesir, dan kemudian menghancurkan seluruh pesawat tempur Mesir, yang masih ada landasan pacu, kemudian pesawat itu masuk ke wilayah udara Yordania dan Suriah. ‘Perang Enam Hari’, tak lain, hanya perang enam jam. Segera, Israel merayakan kemenangan, dan Israel menganggap sebagai keajaiban. Sejak itu, wilayah-wilayah Arab dan Palestina berada dalam pendudukan Israel.
Dengan Israel menyerang wilayah-wilayah Arab pada tanggal 5, dan rencana pertemuan pada 7 Juni 1967 itu, pertemuan antara Lyndon B. Johnson dengan Wakil Presiden Mesir tetap menjadi agenda Gedung Putih? Semua itu hanya utopia. Pasalnya, wilayah-wilayah Arab sudah berada di tangan Israel. Tidak ada perang. Para pemimpin Arab telah menyerahkan tanah kelahiran mereka kepada Zionis-Israel sampai hari ini.
Nasser yang terus berkoar-koar melakukan perang terhadap Israel tak menembakkan satu peluru pun terhadap tentara Israel. Pasukannya menyerah. Israel kemudian menduduki Sinai. Suriah juga tak melawan dan menyerahkan Dataran Tinggi Golan kepada Israel. Wilayah Gaza, Tepi Barat, termasuk Jerusalem Timur, dicaplok dan diduduki Israel. Inilah pengkhiantan para pemimpin Arab secara telanjang sampai hari ini.
Dokumen yang ada di arsip perpustakaan Presiden Lyndon B. Johnson di Austin itu merupakan gambaran yang sangat memalukan. Para pejabat AS pura-pura sibuk mempersiapkan kunjungan Mohieddin.
Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Gamal Abdul Nasser sejalan dengan apa yang dirancang oleh AS sebelumnya. Pada bulan Nopember 1950 para diplomat AS menyelenggarakan konferensi di Istambul yang dipimpin oleh George McGee, wakil Departemen Luar Negeri AS untuk Urusan Timur Tengah dan Afrika Utara. Konferensi ini berlangsung selama lima hari berturut-turut. Dalam konferensi rahasia ini dibahas kondisi-kondisi yang menonjol dalam bidang politik, strategi dan ekonomi bagi kawasan Timur Tengah. Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada jalan untuk mempertahankan politik AS yang terkait dengan politik Inggris jika AS benar-benar ingin mengubah Timur Tengah—menjadi kawasan pengaruh AS—kecuali bekerjasama dengan penduduk negeri Timur Tengah sebagai satu cara untuk mengubah kawasan tersebut.
Konferensi ini dianggap satu sarana terpenting untuk mengarahkan diplomasi AS di negara-negara Arab. Konferensi kemudian mengeluarkan rekomendasi untuk Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Angkatan Laut.
Rekomendasi ini dirumuskan dalam ringkasan umum yang intinya:
(1) Memisahkan politik Inggris dalam segala urusan yang menyangkut AS dan dunia Arab;
(2) Memberikan dukungan terhadap tuntutan-tuntutan Arab nasionalis sebagai landasan politik AS di Timur Tengah;
(3) Mendukung tuntutan Mesir untuk lepas dari Inggris dan mendorong gerakan seperti ini di Irak;
(4) Menghentikan dukungan diplomasi dan politik yang terus-menerus bagi Israel, dan mendorong PBB untuk mengimplementasi-kan rancangan membagi Palestina menjadi dua, yaitu negara Arab dan negara Yahudi, menerapkan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB tentang segala hal yang menyangkut kompromi dalam masalah pengungsi di Arab, yang asasnya adalah memulangkan pengungsi ke tempat mereka dan memberikan ganti rugi kepada pengungsi yang tidak ingin kembali.3
Dikatakan bahwa peserta konferensi memberikan rekomendasi khusus mengenai Mesir. Itu disebabkan karena mereka memberi rekomendasi tentang pentingnya AS mengambil Mesir dari Inggris, mengeluarkan Inggris dari Mesir dan membentuk pemerintahan yang kuat untuk memegang pemerintahan yang kuat di Timur Tengah. Sebab, telah terbukti dalam sejarah bahwa Mesir merupakan pintu gerbang di kawasan Timur Tengah.
Jadi, ‘Perang 6 Hari’ adalah buah busuk konspirasi Gamal dan para pemimpin Arab untuk menyerahkan tanah kaum Muslim kepada Israel dan seolah-olah menunjukkan kepada dunia bahwa Israel ‘kuat’ dan ‘tidak mungkin’ dikalahkan. []
Catatan kaki:
1 Taqiyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrir 1425h – 2005M (Edisi Mu’tamadah), HTI-Press, hlm. 145.
2 http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/pertemuan-rahasia-44-tahun-lalu.htm#.VORsviuUe-A
3 Taqiyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrir, 1425h – 2005M (Edisi Mu’tamadah), HTI-Press, hlm. 139 – 141.