Diskriminasi terhadap perempuan menjadi isu sentral hampir di seluruh penjuru dunia. Beragam problem pun tak surut melanda perempuan, di antaranya kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, dsb. Istilah “second class” pun menjadi isu yang tak kunjung padam. Alhasil, lahirlah lembaga-lembaga perempuan (Women Crisis Center) sebagai respon dari persoalan ketidakadilan jender dan diskriminasi yang terus dialami perempuan. Salah satunya Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
CEDAW sebagai komite Internasional yang giat mempropagandakan kesetaraan gender, khususnya di negeri-negeri muslim, pada faktanya tak menjadikan perempuan lebih terhormat. Alih-alih mengangkat harkat martabat perempuan, realitasnya perempuan malah diberdayakan dan menjadi pangsa pasar yang empuk bagi kaum kapitalis. Bagaimana tidak, di Indonesia sendiri perempuan malah dikomersialisasikan melalui beragam tayangan yang sarat dengan unsur seksualitas. Jelas hal ini mengabaikan aspek perlindungan terhadap perempuan, karena mereka dijadikan obyek untuk meraup pundi-pundi rupiah bagi para pebisnis kapitalis. Eksploitasi besar-besaran pun menimpa para perempuan yang menjadi “pekerja kasar” entah itu di negeri sendiri ataupun di negeri orang.
Resep yang ditawarkan Pemerintah pun tampaknya tak menyelesaikan permasalahan perempuan. Pemenuhan kuota 30% di pemerintahan sebagai langkah untuk menyelesaikan permasalahan perempuan justru menjadi sumber lahirnya masalah baru. Tak sedikit ibu yang akhirnya menggadaikan waktu untuk keluarganya dengan menjadikan karier sebagai prioritas utamanya. Akibatnya, banyak kasus perceraian yang berujung pada lahirnya generasi-generasi yang rusak akibat keluarga yang broken home.
Sebagus apa pun solusi yang ditawarkan Kapitalisme untuk menyelesaikan problematika perempuan, ia tak akan pernah mampu menuntaskannya. Pasalnya, paradigma Kapitalisme salah dalam memandang kehidupan, termasuk dalam memandang perempuan. Kapitalisme sudah terbukti kerusakannya karena bertumpu pada tiga hal. Pertama: memisahkan urusan kehidupan dengan agama. Kedua; menjadikan manfaat sebagai standar dalam mengukur segala sesuatu. Ketiga; kebahagiaan diukur berdasarkan seberapa besar materi yang berhasil ia raih.
Sebaliknya, Islam dalam memandang perempuan. Islam punya pandangan yang khas dalam memandang perempuan. Uqbah bin Amir berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai tiga orang anak wanita lalu sabar menghadapinya dan memberinya pakaian dari hasil usahanya, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari neraka.” (HR Ibnu Majah, al-Bukhari dan Ahmad).
Dalam Islam ukuran kemuliaan seseorang ditinjau dari seberapa besar ketakwaannya kepada Allah SWT, bukan seberapa sering ia berkiprah di ruang publik. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian (TQS al-Hujurat [49]: 13).
Islam telah memuliakan perempuan dengan amanah yang harus ia emban, yakni sebaga ibu dan pengatur rumah tangga. Tugas pokok inilah yang kemudian menjadikan ia mulia di hadapan Rabb-nya. Bagaimana tidak, merupakan sebuah keniscayaan di balik generasi yang cemerlang terdapat ibu yang hebat. Tugas utama ini juga ditunjang oleh beberapa peran dalam kehidupan bermasyarakat yang telah diatur sesuai dengan ketentuan syariah.
Perempuan pun dijamin haknya untuk berpolitik (Lihat: QS Ali Imran [3]: 104; at-Taubah [9]: 71) yang memerintahkan kaum Muslim untuk senantiasa beramar makruf nahi munkar. Meski mendapatkan banyak kesempatan berkiprah di ruang publik, Islam tetap menjamin kehormatan serta keamanannya. WalLahua’alm bi ash-shawab. [Rismayanti Nurjannah; Pendidik di SMAIT Insantama, Bogor]