HTI

Jejak Syariah

AS Membajak Revolusi Mesir (Bagian Tiga-Habis)

Rezim Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun di Mesir mengalami gejolak di ujungnya. Tanggal 25 Januari 2011 muncul Revolusi Mesir. Demonstrasi besar-besaran yang terjadi di seluruh Mesir menuntut agar Presiden Hosni Mubarak segera melepaskan jabatannya. Revolusi dilatarbelakangi oleh frustasi akibat kondisi ekonomi-politik yang karut-marut, selain karena kediktatoran rezim neolib Mubarak. Kebijakan neolib yang diterapkan sejak 1970-an telah menyebabkan ekonomi nasional Mesir hancur. Praktis pemberontakan rakyat  tahun 2011 bukanlah sekadar gerakan “anti-kediktatoran”, tetapi juga frustasi atas sistem ekonomi-politik selama 30-an tahun.

Perlawanan rakyat pun tak pernah berhenti meski Mubarak sudah terguling. Ditambah lagi adanya realitas politik: Pertama, kelas berkuasa di Mesir yang didominasi borjuis komprador dan kapitalis birokrat. Kedua, kekuatan asing penikmat keuntungan ekonomi dan politik akibat posisi Mesir yang lemah. Mereka lazim disebut Troika: AS, Israel, dan negara-negara Teluk (Qatar dan Arab Saudi).1

Akibat revolusi ini, Putra Presiden, Gamal Mubarak, dilaporkan telah meninggalkan Mesir menuju London bersama keluarga.2 Setelah demonstrasi berlangsung selama 18 hari, akhirnya Presiden Mubarak mundur pada tanggal 11 Februari 2011.

Dalam Revolusi Mesir, banyak pihak yang menyangsikan ‘keterlibatan AS’. Revolusi itu dianggap ‘murni’ tuntutan rakyat atas rezim yang korup. Namun, sebuah fakta menyebutkan bahwa revolusi rakyat ini telah dibajak dan memang diskenario oleh AS dalam rangka ‘mendongkel’ agennya yang sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Kepentingan AS dan Israel tidak bisa mulus terlaksana.

Skenario itu telah disusun Washington dengan bertema “perubahan rezim” selama tiga tahun terakhir. Skenario itu sangat matang hingga meledak setelah kesuksesan Revolusi Melati yang menggulingkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali.

Harian Daily Telegraph terbitan Inggris menyebutkan, AS diam-diam mendukung para pemimpin gerakan Revolusi Mesir. Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Kairo pernah membantu seorang anak muda anti-pemerintah untuk menghadiri konferensi para aktivis AS. Nama, pemuda itu dirahasiakan agar tidak diketahui polisi Mesir. Kemudian, saat datang ke Kairo pada Desember 2008, aktivis itu menuturkan bahwa para diplomat AS menggaet kelompok oposisi untuk merencanakan skenario menggulingkan Presiden Mubarak dan membentuk pemerintahan demokratik pada 2011. Aktivis tersebut kini telah ditangkap dalam kaitannya dengan demonstrasi yang merebak akhir-akhir ini. Identitasnya tetap dilindungi Daily Telegraph.

Data kabel rahasia diplomatik AS yang dirilis situs peretas WikiLeaks juga menyebutkan, pejabat Washington menekan Pemerintah Mesir agar membebaskan para aktivis antipemerintah yang ditahan.

Dalam data diplomatik disebutkan, pada 30 Desember 2008 Duta Besar AS untuk Mesir Margaret Scobey melaporkan bahwa kelompok oposisi sedang menyusun agenda rahasia “perubahan rezim” yang akan dilaksanakan sebelum Pemilu, dan dijadwalkan pada September 2011. Memo yang dikirim Scobey dikirim ke Kementerian Luar Negeri AS di Washington itu bertanda “rahasia” dan berjudul: “(Gerakan) 6 April, Kunjungan Aktivis ke AS dan Perubahan Rezim di Mesir”.

Data kawat diplomatik juga menyebut bahwa para aktivis mengklaim mendapatkan dukungan dari kekuatan oposisi yang menyepakati rencana tidak tertulis untuk transisi menuju demokrasi parlementer. Mereka ingin mengubah konsep tatanan pemerintahan Mesir dengan memperlemah kekuasaan presiden serta memperkuat perdana menteri dan parlemen. Rencananya, aksi itu akan dilaksanakan sebelum Pemilu Presiden 2011. Sumber kedutaan menyebutkan, rencana tersebut sangat sensitif dan tidak boleh ditulis.

Bagaimanapun, dokumen tersebut menunjukkan para aktivis telah didekati para diplomat AS. Para aktivis juga mendapatkan dukungan besar atas kampanye pro-demokrasi dari para pejabat di Washington.

Ya, aksi demonstrasi Mesir kali ini dikendalikan Gerakan Pemuda 6 April, sebuah kelompok di Facebook yang menarik generasi muda dan kelompok terdidik untuk menentang Mubarak. Kelompok ini beranggotakan 70.000 anggota dan menggunakan situs jejaring sosial untuk mengendalikan demonstrasi.

Sebagai sekutu utama, posisi AS pun serba sulit. Namun, AS tetap memainkan standar ganda untuk menutupi skenario revolusi. Itu terbukti ketika Obama berkomentar pada pekan lalu mengenai Mesir.  Presiden AS Barack Obama dalam reaksi atas demonstrasi di Mesir, menyatakan, “Kekerasan bukanlah jawaban dalam penyelesaian permasalahan di Mesir.” Dia juga menegaskan agar Mubarak menempuh langkah reformasi politik. Bisa dikatakan, investasi AS untuk Mesir sangatlah banyak.3

Bukti lain bahwa Revolusi Mesir dalam ‘kendali’ AS adalah ujung dari revolusi itu sendiri. Tuntutan rakyat terkondisikan hanya pada ‘pergantian’ rezim semata, minus mengotak-atik sistem pemerintahan. Dengan kata lain, revolusi tidak menyentuh pada akar permasalahan yang menyebabkan karut-marutnya Mesir. Sekadar mengganti orang semata.

Ketika perlawanan menguat dan gagal dipukul mundur polisi dan milisi pro-Mubarak, posisi militer tiba-tiba berbalik mendukung gerakan rakyat. Padahal militer salah satu pilar penting rezim Mubarak. Ini niscaya bukan skenario internal murni militer, tetapi plot yang dibisikkan dari luar: AS. Kepentingan AS adalah menjaga kontinuitas kebijakan neolib dan bisnis korporasinya di Mesir. Karena itu AS butuh “rezim boneka pro-Amerika” yang baru guna hegemoni di kawasan itu.

Dengan berpura-pura “anti-Mubarak” dan memihak rakyat,  militer menjalankan skenario AS. Mereka menunjuk Omar Sulaiman, Wapres Mubarak, sebagai presiden sementara. Lalu Omar Sulaiman mentransfer kekuasaan ke Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF). SCAF yang tampil sebagai penguasa baru lalu menggodok peta jalan roadmap Mesir pasca Mubarak, berupa transisi demokrasi persis seperti proposal Presiden Barack Obama.

November 2011, protes anti junta militer meletus. Rakyat kembali ke lapangan Tahrir. Namun, kali ini pemimpin IM melarang anggotanya ikut protes. Artinya, IM menerima proposal “Transisi” dari militer dan Obama. Ketika militer menindas gerakan rakyat, IM dan dunia Barat tutup mata. Padahal saat itu 36 aktivis tewas menolak kekuasaan politik militer yang semakin dominan pasca Mubarak. Sejak itu, militer dan IM berhasil mengisolasi gerakan radikal dari massa rakyat Mesir secara luas.

Datanglah tawaran Pemilu. Dengan Pemilu, AS dan blok reaksioner lokal bakal berhasil mengatur transisi menuju pemulihan kekuasaan mereka. Menghadapi Pemilu, yang paling siap adalah IM. Mereka punya organisasi politik rapi. IM juga menguasai, media, lembaga pendidikan dan pengadilan. Artinya, pengaruh mereka cukup kuat di publik. Pesaingnya paling militer dan borjuis-liberal. Kelompok radikal, baik kaum muda maupun kiri, belum terorganisir baik.

Terbukti IM tampil jadi pemenang kendati di Pemilu itu ada kecurangan dan intervensi AS. Bagi AS siapa pun yang menang bukan masalah, asal masih mau menerima neoliberal dan politik luar negeri AS di Timur Tengah. Nah, itu pula yang dilakukan IM begitu berkuasa, melanjutkan kebijakan ekonomi-politik era Mubarak. Rezim Mursi tetap mengadopsi kebijakan neoliberal (privatisasi, pencabutan subsidi, liberalisasi perdagangan, dll). Bisnis dan investasi asing tidak terganggu. Ia malah melanjutkan negosiasi dengan IMF untuk pinjaman 4,8 miliar USD. Ia memotong subsidi energi, roti, minyak dan beras.

Sikap politik IM itu mengundang protes anti-Mursi. Rakyat Mesir berpendirian bahwa energi revolusi tidak mau diinterupsi. Tujuan awal Revolusi adalah perubahan sistem ekonomi-politik. Namun, Rezim Mursi terbukti hanya pelanjut era Mubarak.  Karena itu energi utama revolusi, kaum muda dan kaum kiri yang mulai terorganisasi  baik, melalui Tamarod berhasil mengumpulkan tanda-tangan 22 juta orang rakyat Mesir yang menuntut pengunduran diri Mursi.

Lagi lagi militer campur tangan melengserkan Mursi, hanya untuk mencegah aksi itu bermuara jadi revolusi. Gelagat ini terbaca setelah melengserkan Mursi.

Kemenangan AS semakin ‘tegas’ tatkala dilakukan Pemilu. Mantan kepala militer Abdel Fattah el-Sisi terpilih. Jenderal yang sangat setia kepada AS ini berkomitmen untuk terus menjaga kepentingan AS di Mesir dan di seluruh kawasan Timur Tengah. [Selesai]

Catatan kaki:

1      http://www.aktual.co/aktualreview/215858mesir-di-simpang-jalan-revolusi

2      ”’Beginning of the end’ for Egypt’s Mubarak as son and wife flee”. International Business Times. 26 January 2011. Diakses 26 January 2011.

3      http://hizb-indonesia.info/2011/02/01/amerika-di-belakang-revolusi-mesir/

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*