Soal:
Bagaimana status tentara wanita yang terlibat dalam perang, apakah mereka dihukumi sebagai “sabaya” atau tentara musuh yang boleh dibunuh? Ketika menjadi tawanan, apakah mereka disamakan dengan “sabaya” atau dihukumi dengan hukum “asra” [tawanan perang]?
Jawab:
Dalam hal ini ada tiga masalah. Pertama: status wanita yang ikut berperang. Hukum syariah tentang wanita yang keluar di medan perang dan terlibat dalam peperangan—baik untuk memberikan semangat kepada tentara, atau untuk berperang bersama mereka sebagai pasukan perang—adalah sama. Hanya saja, kaum perempuan yang keluar di medan perang sekadar untuk memberikan semangat kepada pasukan perang tidak boleh dibunuh. Sebaliknya, jika mereka tidak sekadar memberikan semangat kepada pasukan perang, namun mereka juga menjadi pasukan perang, ikut mengangkat senjata dan membunuh kaum Muslim, maka mereka boleh dibunuh. Kesimpulan ini ditarik dari hadis yang diriwayatkan dari Nafi’, bahwa ‘Abdullah ra. telah memberitahukan kepada dia, bahwa ada seorang wanita ditemukan dalam sebagian peperangan Nabi saw. terbunuh:
فَأَنْكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَتْلَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ
Rasulullah saw. pun mengingkari [tindakan] membunuh perempuan dan anak-anak [HR al-Bukhari dan Muslim]
Demikian juga dalam hadis sahih yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Muraqqa’ bin Shaifi bin Rabbah yang berkata: Aku diberitahu ayahku, dari kakeknya Rabbah bin Rabi’ yang berkata: Kami pernah bersama Rasulullah saw. dalam suatu peperangan. Beliau lalu melihat orang sedang mengerumi sesuatu. Baginda pun mengutus seseorang seraya berkata, “Lihatlah, mengapa mereka berkerumun?” Orang itu pun datang menghadap Nabi, melaporkan, “Mereka mengerumuni seorang wanita yang terbunuh.” Nabi saw. bersabda, “Selagi wanita ini tidak membunuh.” (HR Abu Dawud).
Mafhum-nya, “Kalau dia ikut membunuh, maka boleh dibunuh.” Inilah kesimpulan hukum yang bisa ditarik dari hadis di atas. Begitu juga sebaliknya, kalau mereka tidak ikut mengangkat senjata dan membunuh kaum Muslim, maka mereka tidak boleh dibunuh meski mereka menjadi pasukan dan mengangkat senjata, tetapi status mereka tetap diperlakukan sebagaimana hukum syariah yang diberlakukan secara umum terhadap kaum wanita.1
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Al-‘Allamah Dr. Muhammad Khair Haikal, dalam kitabnya, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah:
Tampaknya saat ini, sebagaimana yang terlibat, bahwa unsur wanita dari peperangan modern sudah jelas. Bahkan selalu ada di dalam tentara berbagai negara di era modern, baik untuk mengangkat senjata, ikut berperang, maupun memberikan berbagai layanan lain yang dibutuhkan oleh pasukan tentara..
Karena itu, kebiasaan kaum perempuan keluar bersama pasukan tentara itu tetap ada..Ini dari aspek fakta perang modern. Adapun dari aspek pembatasan legalitas “sabiy” serta menjadikan perempuan dan anak-anak yang ikut keluar bersama tentara sebagai budak..Karena itu tampak bagi siapa saja yang menelaah berbagai peristiwa sirah Nabawiyah serta nas-nas syariah, bahwa legalitas itu tidak terbatas untuk perempuan dan anak-anak yang keluar bersama pasukan tentara saja, tetapi juga untuk yang tinggal di rumah.2
Dari sini, status wanita yang menjadi pasukan musuh, menurut Dr. Muhammad Khair Haikal, dihukumi sama dengan “sabaya”. Karena itu status mereka tidak berbeda, baik keluar ke medan perang untuk memberikan semangat kepada pasukan tentara, atau ikut berperang bersama mereka. Status mereka tetaplah “sabaya”, kecuali jika mereka ikut membunuh tentara kaum Muslim, maka mereka boleh dibunuh.
Kedua: masalah “sabaya” dan siapa mereka? Istilah “sabiyyah”, jamaknya “sabaya”, digunakan untuk menyebut perempuan dan anak-anak yang ditawan. Dalam kitab Mukhtar as-Shihhah disebutkan: “As-Sabyu dan as-suba’u, konotasinya al-asru [tawanan]. Qad sabaytu al-‘aduwwa asartuhu [Aku benar-benar telah menjadikan musuh sebagai “sabiy”, maksudnya aku telah menawannya]. Wa as-sabiyyatu konotasinya al-mar’ah al-masbiyyah [perempuan yang ditawan].”3
Jadi, secara harfiah, kata “sabiyyah”, jamaknya “sabaya” mempunyai konotasi “asir”, jamaknya “asra” [tawanan]. Dalam kitab Al-Umm, Imam as-Syafii menyebutkan hadis:
سَبَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رِجَالاً مِنْ هَوَازِنَ
Rasulullah saw. telah menawan kaum pria dari Hawazin.4
Di sini, beliau meriwayatkan hadis di atas dengan menggunakan kata “saba”, dengan konotasi “asara” [menawan]. Namun, dalam istilah fikih, kata “asir”, jamaknya “asra” [tawanan], digunakan khusus untuk pria dewasa yang ikut berperang. Adapun kata “sabiyyah”, jamaknya “sabaya”, digunakan untuk menyebut anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, kaum perempuan, termasuk lelaki yang tua-renta.5
Karena itu status “sabaya” berbeda dengan status “asra” meski secara harfiah keduanya bisa berkonotasi tawanan. Namun, realitas dan detail hukumnya berbeda. Terhadap “sabaya” tersebut, pandangan para ulama mazhab berbeda:
1- Khalifah berhak untuk menjadikan mereka sebagai budak. Boleh juga mereka dibebaskan, dan jika dibutuhkan, boleh dipulangkan ke negeri mereka untuk dibarter dengan pasukan kaum Muslim yang menjadi tawanan mereka. Karena itu, “Perempuan dan anak-anak tidak boleh dibunuh, tetapi boleh dijadikan budak untuk kemaslahatan kaum Muslim.. Mereka juga sepakat, bahwa perempuan dan anak-anak tidak boleh dibarter, kecuali dibutuhkan…” Ini pendapat mazhab Hanafi.6
2- Khalifah berhak untuk membebaskan tanpa tebusan [al-mann], dengan tebusan [al-fida’], dan berhak menjadikannya sebagai budak [al-istirqaq]. Ini pendapat mazhab Maliki, sebagaimana dituturkan Ibn Juzay.7
3- Khalifah boleh membarter mereka dengan harta atau kaum Muslim yang menjadi tawanan musuh, dimana pemilik asal mereka akan diberikan kompensasi sesuai dengan nilai mereka. Namun, jika tidak mau, pemiliknya tidak boleh dipaksa.8Perempuan dan anak-anak bisa dijadikan budak; mereka juga menjadi hak pemegang hak seperlima (ahl al-khumus), sisanya hak pemilik ghanimah.9Ini pendapat mazhab asy-Syafii.
4- Mereka tidak boleh dibunuh, dan tidak boleh dibarter, baik dengan harta maupun tawanan kaum Muslim. Mereka juga tidak boleh dibebaskan, tanpa tebusan. Namun, mereka boleh dijadikan budak kaum Muslim. Ini adalah pendapat mazhab Hanbali.10
Dari sini, bisa disimpulkan, bahwa status “sabaya”sama dengan ghanimah [rampasan perang], bedanya bukan harta, tetapi berupa perempuan dan anak-anak. Karena statusnya sebagai ghanimah, maka hukumnya adalah hukum ghanimah.11Karena itu kebijakannya diserahkan kepada Khalifah. Khalifahlah yang menentukan status “sabaya” tersebut sesuai dengan kemaslahatan kaum Muslim.12 Namun, ini hanya berlaku bagi mereka yang ada di medan perang. Adapun mereka yang berada di rumah, tidak ikut ke medan perang, maka tidak boleh dijadikan sebagai “sabaya” maupun “asra”.13Pendapat ini berbeda dengan pendapat Dr. Muhammad Khair Haikal di atas.14
Kesimpulan ini juga menegaskan, bahwa status “sabaya” boleh dijadikan budak atau tidak kembali kepada kebijakan Khalifah, sebagaimana pendapat mazhab Hanafi dan Maliki. Tidak serta merta, begitu menjadi “sabaya” langsung menjadi budak, sebagaimana pendapat mazhab Syafii dan Hanbali. Karena itu kebijakan terhadap mereka kembali kepada Khalifah, bukan panglima perang, sebagaimana yang dituntut oleh strategi perang.
Ketiga: masalah tawanan perang [al-asra]. Ini hanya berlaku untuk pria dewasa yang terlibat dalam peperangan. Status hukum mereka dua, yaitu dibebaskan tanpa tebusan [al-mann] dan dibebaskan dengan tebusan [al-fida’]. Detailnya dinyatakan dalam firman Allah SWT:
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ
Jika kalian bertemu dengan orang-orang kafir [di medan perang], maka pancunglah batang leher mereka. Ketika kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka, atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah, jika Allah menghendaki, niscaya Allah akan membinasakan mereka. Namun, Allah hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain. Orang-orang yang syahid di jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka [QS Muhammad [47]: 4].
Jadi, mereka boleh dibebaskan tanpa tebusan. Boleh dibebaskan dengan tebusan harta, kaum Muslim atau Ahli Dzimmah yang menjadi tawanan perang kaum kafir, boleh juga dengan tebusan yang lain. Dengan demikian, tidak ada hukum lain, selain dua pilihan ini.15 [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat: Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rasythah, tertanggal 16 Sya’ban 1434 H/25 Juni 2013 M.
2 Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. II, tahun 1427 H/1996 M, II/1426-1427.
3 Ar-Razi, Mukhatar as-Shihhah, hlm. 243.
4 Asy-Syafii, Al-Umm, IV/270.
5 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 131 dan 134; al-Farra’, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 125 dan 127.
6 Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Ibn ‘Abidin, III/353 dan 354.
7 Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarh al-Kabir, II/184; Qawanin al-Ahkam, hlm. 166; ad-Dardiri, asy-Syarh al-Kabir, II/184; Manh al-Jalil, III/166.
8 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 134.
9 Mughni al-Muhtaj, IV/227; al-Mawardi, al-Iqna’, hlm. 178.
10 Ibn Qudamah, Al-Mughni, X/400; al-Farra’, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 127-128.
11 Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, II/189.
12 Al-‘Allamah ‘Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut, cet. II, tahun 1408 H/1988 M, hlm. 41-42.
13 Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, II/189. Lihat juga: Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rasythah, tertanggal 16 Sya’ban 1434 H/25 Juni 2013 M.
14 Lihat: catatan kaki no. 2.
15 Lihat: Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rasythah, tertanggal 16 Sya’ban 1434 H/25 Juni 2013 M.