Aktivitas politik, khususnya yang menyangkut politik luar negeri suatu negara, sangatlah penting. Eksistensi sebuah negara dan umat serta ideologinya (bila negara dan umat tersebut mengemban ideologi tertentu) amat bergantung pada aktivitas politik yang dijalankan. Jika negara salah mengambil sikap politik, sangat mungkin ia mengalami kekalahan dalam menghadapi musuh-musuhnya meskipun memiliki kekuatan militer yang cukup. Sebaliknya, dengan aktivitas politik yang tepat, ia dapat meraih kemenangan atau setidaknya mencapai banyak target, melebihi apa yang dapat diraih melalui aktivitas militer semata. Bahkan target-target itu bisa dicapai dalam waktu yang lebih singkat dengan biaya serta risiko yang lebih sedikit.
Hasil yang bisa diraih dengan aktivitas militer akan menjadi tidak langgeng bila tidak disertai aktivitas politik. Aktivitas militer seharusnya dilakukan untuk meraih target-target politik dan hanya dijalankan sebagai solusi terakhir. Penggunaan senjata tidak boleh dipilih semata hanya untuk menjalankan aktivitas militer, seperti melakukan pembunuhan dan penghancurkan, melainkan untuk meraih kemenangan (al-intishâr).
Untuk meraih kemenangan tentu bisa beragam caranya. Ada cara langsung, yakni dengan menggabungkan negara lain menjadi bagian dari wilayahnya. Ada cara tidak langsung, seperti dengan menjadikan negara luar sebagai negara pengekor atau negara satelit bagi negaranya, demi menjaga kepentingan negara atau memudahkan negara dalam meraih target-target politik. Termasuk cara tidak langsung adalah menjadikan negara luar sebagai tameng yang berhadapan langsung dengan lawan.
Daulah Islam melakukan aktivitas politik luar negeri dalam rangka mendakwahkan Islam, menyebarkan ideologinya serta menjaga eksistensi dan menlindungi Islam dari bahaya dan konspirasi musuh. Aktivitas politik yang dilakukan Daulah Islam adalah membentuk opini umum tentang Islam. Tujuannya adalah agar manusia tertarik untuk masuk Islam dan Daulah Islam berhasil menancapkan pengaruhnya di Dunia. Hal itu tentu meniscayakan penyebaran pemikiran Islam ke seluruh penjuru Dunia dengan berbagai cara dan sarana. Oleh sebab itu, seluruh aktivits yang berkaitan dengan aktivitas jihad, mulai dari persiapan hingga pengumuman perang, termasuk perdamaian, gencatan senjata dan pertukaran tawanan, harus dijalankan dengan strategi dan politik tertentu yang berada dalam kontrol para politikus di bawah pimpinan Khalifah.
Hal tersebut tidak boleh diserahkan kepada militer. Langkah pertama jihad adalah menyeru manusia untuk masuk Islam. Penggunaaan kekuatan bersenjata adalah langkan terakhir. Ini baru dilakukan setelah negosiasi politik dengan penguasa dan penduduk darul kufur untuk menggabungkan negeri mereka ke dalam Darul Islam gagal dilakukan. Karena itu, penyiapan kekuatan (i’dâd al-quwwah) secara penuh merupakan perkara penting, bahkan paling utama (ad-darajah al-ûla). Sebab, hal itulah yang akan menggentarkan musuh-musuh Islam, sehingga Daulah Islam bisa langsung mengalahkan negara-negara yang berbatasan dengannya tanpa peperangan. Hal itu pulalah yang akan mempermudah penyebaran Islam ke wilayah yang lebih jauh lagi.
Predikat sebagai negara besar tidak mungkin diraih kecuali bila sebuah negara memiliki posisi tawar yang tinggi dan disegani sehingga ia bisa mendikte yang lain sesuai dengan keinginannya. Oleh sebab itu, i’dâd al-quwwah sekali lagi sangat urgen, bahkan bisa dianggap sebagai perkara inti dari aktivitas politik Negara Islam. Allah SWT berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kaliansanggupi, (seperti) kuda-kuda yang ditambat untuk berperang. (Dengan persiapan itu) kalian menggetarkan musuh Allah, musuh kalian dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak ketahui, sedangkan Allah mengetahui mereka. Apa saja yang kalian nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup dan kalian tidak akan dianiaya (dirugikan) (QS al-Anfal [8]: 60).
Ayat ini menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh Daulah Islam dalam menghadapi musuh yang tampak, yang berasal dari luar, yaitu dengan i’dâd al-quwwah (menyiapkan kekuatan yang menggentarkan mereka). Tujuanya agar mereka tunduk dan menyerahkan diri atau setidaknya membuat mereka tidak berani menyerang Daulah Islam. Tujuan lain adalah untuk mempertinggi kewibawaan Daulah Islam di hadapan mereka. Dengan begitu, Daulah Islam bisa dengan mudah menjalankan kepentingan-kepentingannya.
Selain musuh dari luar, tentu ada juga musuh dari dalam, yaitu kalangan orang-orang munafik. Karena masih menunjukan keislamannya, mereka tidak diperangi. Kebesaran negara bisa dianggap cukup membuat mereka tidak berani bertindak macam-macam.
Lanjutan ayat ini dengan sangat jelas menunjukan bahwa peperangan bukanlah pilihan pertama setelah kaum Muslim menyiapkan kekuatan dan persenjataa. Sebab, penyiapan kekuatan sejatinya merupakan aktivitas politik dan bukan semata persiapan perang. Allah SWT berfirman pada ayat keberikutnya:
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Jika mereka condong unuk berdamai maka condonglah untuk berdamai dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Mahatahu (QS al-Anfal [8]: 61).
Maksud ayat ini, bila mereka mengajukan perdamain dan bersedia tuduk di bawah kekuasaan Daulah Islam, maka terimalah dan jangan diperangi. Bila mereka telah menjadi warga Daulah Islam, maka posisi mereka sama dengan warga negara yang lain.
Terdapat banyak kabar gembira dalam al-Quran yang menerangkan bahwa umat Islam akan dimenangkan oleh Allah SWT tanpa peperangan. Berkaitan dengan peristiwa Khandaq, misalnya, Allah SWT berfirman:
وَكَفَى اللهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ
Allah menghindarkan kaum Mukmin dari peperangan (QS al-Ahzab [33]: 25).
Dalam peristiwa ini, Rasulullah saw. mengizinkan Nu’aim bin Mas’ud untuk membuat perpecahan antara kafir Quraisy dan sekutunya dari kalangan Yahudi. Hal yang sama juga terjadi pada peristiwa Fathu Makkah. Allah SWT berfirman:
وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِن بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ
Dialah Yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kalian dan (menahan) tangan kalian dari (membinasakan) mereka di tengah Kota Makkah sesudah Allah memenangkan kalian atas mereka (QS al-Fath [48]: 24).
Pada peristiwa ini, Rasulullah saw. meminta Abu Sufyan untuk menyerahkan diri. Lalu beliau meminta Abu Sufyan sendiri yang mengumumkan keputusan Daulah Islam kepada penduduk Makkah. Keputusan tersebut berbunyi: Siapa saja yang masuk rumah Abu Sufyan akan aman dan siapa saja yang masuk BaitulLah atau rumah masing-masing akan aman. Inilah di antara contoh aktivitas politik yang sangat agung dalam mengalahkan musuh tanpa peperangan.
Dua tahun sebelum peristiwa Fathu Makkah, Rasulullah saw. juga menjalankan aktivitas politik yang luar biasa, dalam Perjanjian Hudaibiyah. Al-Quran menggambarkan peristiwa ini sebagai “fath[an] wa nashr[an]” . Betapa tidak, dengan perjanjian itu, Rasulullah saw. berhasil meraih berbagai target politiknya juga tanpa peperangan (Lihat: QS al-Fath [48]: 20).
Hal serupa juga terjadi pada peristiwa pengusiran Bani Nadhir. Ketika itu Rasulullah saw. berhasil membuat mereka ciut. Mereka pun menyerahkan diri dan menerima keputusan untuk keluar dari Madinah dengan meninggalkan harta benda mereka sebagai fai bagi kaum Muslim (Lihat: QS al-Hasyr [59]:3).
Contoh lain pada saat Rasulullah saw. mengirim pasukan kaum Muslim untuk menghadapi tentara Romawi. Ekspedisi ini tetap dilakukan meski jumlah pasukan dan kemampuan kaum Muslim sangat terbatas, dalam kondisi yang sangat sulit. Tujuannya tak lain untuk mengetes kesiapan kaum Muslim , mengungkap keberadaan orang-orang munafik, termasuk menggentarkan imperium Romawi. Agar mereka tahu bahwa kekuasaan dan penyebaran risalah Islam tidak hanya sebatas Jazirah Arab, melainkan akan melampaui wilayah kekuasaan mereka. Pada peristiwa itu kaum Muslim berhasil memukul mudur pasukan Romawi meski mungkin saja hal ini merupakan politik Romawi sendiri untuk menahan diri agar tidak berurusuan dengan Daulah Islam.
Di sisi lain, ekspedisi Tabuk juga digunakan oleh Rasulullah saw. untuk mengikat perjanjian dengan kabilah-kabilah yang berbatasan dengan Wilayah Romawi. Tujuannya untuk mempermudah jalan memasuki wilayah Romawi sekaligus menjadikan kabilah-kabilah tersebut sebagai tameng bagi Daulah Islam dari serangan Romawi sendiri.
Perlu diketahui, kabar gembira (al-busyrâ) di dalam al-Quran merupakan salah satu bentuk pujian (al-madh). Dalam ilmu ushul, al-madh termasuk bentuk thalabul fi’l (perintah untuk melaksanakan atau meraih perkara terpuji tersebut). Oleh sebab itu, upaya untuk merealisasikan kabar gembira tersebut merupakan perkara yang diperintahkan.
Dengan memperhatikan peristiwa-peristiwa di atas dapat kita simpulkan bahwa hal itu tidak bisa diraih kecuali dengan melaksanakan aktivitas dan manuver pilitik. Solusi perang tidak ditempuh oleh Rasulullah saw. kecuali pada saat cara-cara lain tidak berhasil meraih target yang diinginkan. Hal ini ditegaskan dalam sabda Baginda Rasulullah saw.:
لاَ تَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ وَسَلُوْا اللهَ الْعَافِيَةَ فَإِذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاصْبِرُوْا
Janganlah kalian berharap bertemu dengan musuh dan mintalah kepada Allah keselamatan. Jika pun kalian harus bertemu dengan musuh maka bersabarlah (HR al-Bukhari).
Selain menunjukan bahwa perang merupakan jalan terakhir, hadis ini juga memberikan isyarat untuk melakukan akvitas dan manuver politik. Sebab, dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia tidaklah semata dilakukan hanya untuk mencari keselamatan, melainkan untuk menyebarkan dan menerapkan risalahnya. Bila ini yang menjadi target dakwah, sudah tentu akan menghadapi rintangan, tantangan, hambatan dan konspirasi negara-negara di Dunia. Oleh karena itu, Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya dengan kalimat:
وَاعْلَمُوْا أَنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ
Ketahuilah bahwa surga berada di bawah baying-bayang pedang (HR al-Bukhari).
Ini adalah perintah untuk menampakan kesiapan berperang agar musuh tidak menduga bahwa umat Islam lemah. Oleh sebab itu, manuver bolitik harus selalu disertai dengan penyiapan kekuatan (i’dâdul quwwah).
Selain contoh-contoh yang dikemukakan di atas, masih banyak lagi aktivitas-aktivitas politik yang dijalankan oleh Rasulullah saw. sebagai suri teladan umat, pendiri Negara Islam pertama di Madinah. Semua itu terhimpun dalam sirah beliau yang tentu patut terus ditelaah dan dikaji. Selain itu, kita pun menyaksikan bagaimana para Khulafaur Rasyidun meneladani beliau dalam melaksankan aktivitas politik luar negerinya. Khalifah Abu Bakar as-Shidiq berisi keras untuk mengirim Pasukan Usamah. Sebab, bila tidak dilakukan, tentara Romawi, orang-orang yang murtad dan munafik akan menganggap bahwa Daulah Islam lemah, hingga mereka semakin berani melawan. Karena itu Abu Bakar as-Shidiq segera mengirim Pasukan Usamah menuju Romawi menyusuri perkampungan kabilah-kabilah orang-orang murtad dan orang-orang yang menolak membayar zakat. Tujuannya, tiada lain untuk unjuk kekuatan kaum Muslim di hadapan mereka. Pada saat yang sama beliau pun menyiapkan pasukan untuk memerangi mereka.
Khalifah Umar bin al-Khaththab bersedia untuk memenuhi permohonan Patriach Yerusalem, Uskup Agung Shopronius, yang ingin mengajukan perjanjian damai dan menyerahkan secara langsung kunci kota suci tersebut kepada Khalifah Umar. Beliau datang dari Madinah ke Yerusalem. Padahal saat itu tentara kaum Muslim sedang mengepung kota tersebut dan bisa dengan mudah merebutnya dengan kekuatan senjata.
Masih banyak lagi contoh kebijakan dan aktivitas politik para khalifah sepanjang tarikh Daulah Islam. Semuanya menunjukan kepada kita bagaimana mereka begitu pandai dalam menjalankan politik luar negerinya. Sultan Abdul Hamid II adalah akhir khalifah kaum Muslim yang melakukan hal tersebut. Sejak hari pertama beliu menduduki jabatan khalifah, konspirasi negara-negara Barat langsung dilancarkan untuk memukul dan mecabik-cabik Daulah Islam yang saat itu memang sudah lemah, hingga disebut sebagai “the sick man of Europe”. Untuk tujuan itu, Barat menggelar “Kongres Berlin” (1878 M). Namun, Sultan Abdul Hamid II berhasil membuat musuh-musuh Islam terlibat persaingan satu sama lain. Dengan begitu, beliau bisa menjaga keutuhan Daulah Islam dan membangkitkannya kembali dari keterpurukan.
Namun sayang, semua itu menjadi porak-poranda saat pemerintahan militer dari partai persatuan dan kemajuan (hizbu littihad wat taraqqiy) berkuasa pasca kudeta militer menggulingkan Sultan. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti pentingnya aktivitas politik. Yang mereka ketahui hanyalah penggunaan kekuatan militer. Karena itu sangat mudah bagi Jerman memperalat mereka hingga berhasil dilibatkan dalam Perang Dunia I. Padahal itu yang paling dihindari oleh Sultan Abdul Hamid II.
Alhasil, umat Islam, khususnya negara, wajib menaruh perhatian besar terhadap aktivitas politik. Meskipun memiliki potensi dan kemampuan yang kecil, sebuah negara bisa meraih banyak kepentingannya bila menguasai peta dan konstelasi politik serta melakukan agenda yang sesuai dengannya. Begitulah Daulah Islam Madinah pada awalnya, hingga berhasil menjadi negara nomor satu.
Hal yang sama juga terjadi pada beberapa negara kufur yang pernah menjadi negara super power. Keberhasilannya sangat bergantung pada aktivitas politik yang dijalankan. Aktivitas politik tentunya sangan beragam dan tidak statis (Bersambung). [Abu Muhtadi/Disarikan dari Makalah Berjudul, “Al-A’mal as-Siyâsiyyah” pada al-wa’ie Arab edisi 340].