Sistem Sosial Islam (An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam) merupakan bagian dari sistem Islam secara keseluruhan. Sistem ini berasal dari Allah SWT yang menciptakan perempuan. Karena itu bisa dipastikan sistem sosial Islam akan memuliakan manusia, termasuk perempuan. Ini karena aturan Allah mustahil menistakan ciptaan-Nya. Islam memang diturunkan untuk memberi kebaikan bagi manusia (Lihat: QS al-Anbiya’ [29] : 107).
Landasan dan Prinsip
Sistem sosial Islam tegak berdasarkan keimanan kepada Allah SWT (akidah Islam). Konsekuesi iman (akidah) mengharuskan penyerahan pengaturan kehidupan sosial manusia kepada Allah SWT semata. Sikap pasrah terhadap aturan Allah ini juga penting sehingga manusia bisa mengesampingkan hawa nafsu dan penilaian bedasarkan pemikiran manusia. Inilah keunikan sistem sosial Islam yang tidak dimiliki oleh sistem buatan manusia (sekuler kapitalis).
Sistem sosial Islam mengatur hubungan laki-laki dan perempuan agar keduanya dapat menjalani kehidupan dengan harmonis dan mencapai tujuan-tujuan bermasyarakat. Sistem sosial Islam ditegakkan berdasarkan beberapa prinsip. Pertama: Islam memandang manusia sebagai makhluk Allah SWT yang memiliki potensi kehidupan tertentu. Sistem sosial Islam tidak membungkam kebutuhan jasmaniah maupun naluriah manusia. Namun, sistem ini mengatur bagaimana pemenuhan terhadap kebutuhan dan naluri tersebut sehingga tidak merugikan jamaah (masyarakat) bahkan membawa kemuliaan bagi masyarakat. Misalnya, mensyariatkan pernikahan sebagai satu-satunya pintu hubungan lawan jenis yang bersifat khusus, dan sebagainya.
Islam juga memandang bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan secara berpasangan dan untuk saling melengkapi (Lihat: QS adz Dzariyaat [51]: 49). Dengan prinsip ini, salah satu dari keduanya tidak bisa diukur lebih utama atau tidak. Pasalnya, yang paling utama adalah yang paling bertakwa dari keduanya, yaitu sejauh mana kepatuhannya kepada seluruh aturan Allah SWT (QS al-Hujurat [49]: 13). Prinsip ini menunjukkan adanya keadilan bagi laki-laki maupun perempuan.
Prinsip lainnya adalah bahwa ketika Allah SWT menciptakan bentuk dan faal tubuh yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, maka keduanya akan mendapat tugas dan peran dalam kehidupan yang berbeda pula. Tentu menjadi sebuah kezaliman jika mereka dibebani tugas yang sama. Misalnya, Islam membeban-kan kewajiban memberikan nafkah bagi laki-laki dan tidak bagi perempuan. Sebaliknya, Islam membebankan kewajiban mengasuh anak kepada perempuan dan tidak kepada laki-laki. Inilah prinsip yang paling memanusiakan manusia. Hubungan antarjenis manusia pun harus dibangun berdasar prinsip ini.
Sistem sosial Islam mengatur kedua jenis manusia dengan kadarnya masing-masing dan dengan memperhatikan bagaimana sebuah masyarakat harus berjalan secara harmonis, sementara kedua jenis manusia ini telah Allah hadirkan di masyarakat. Karena itu ketika Islam mengatur hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan, aturan itu tidak bisa dipandang hanya dari sisi perempuan, namun juga harus memperhatikan aspek lainnya dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Memandang hokum/aturan hanya dari sisi jenis kelamin saja bisa melahirkan pandangan keliru, seperti kesan mengutamakan salah satu jenis, padahal sejatinya tidak. Dengan prinsip ini, Islam tidak pernah merendahkan perempuan meski perempuan diberi tugas atau beban tertentu yang berbeda dengan laki-laki. Di balik beban tertentu tersebut sejatinya perempuan memiliki andil yang sangat menentukan berjalannya roda kehidupan masyarakat.
Perempuan Mulia, Masyarakat Terjaga
Sistem Sosial Islam amat rinci mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan khusus maupun kehidupan umum. Dengan sistem ini, perempuan memiliki kedudukan mulia, sebagaimana Allah juga memuliakan laki-laki. Kedudukan mulia tersebut tampak antara lain dari beberapa ketentuan berikut:
Pertama, Islam membebankan tugas utama kepada perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Rasulullah saw. bersabda, “Perempuan adalah pengurus rumah suaminya dan anak-anaknya serta bertanggung jawab atas kepemimpinannya (HR Bukhari-Muslim).
Tugas ini tidak bisa dipandang sebelah mata sebagai tugas domestik rendahan. Sebab, tugas ini sangat penting bahkan menentukan corak masyarakat. Keluhuran sebuah masyarakat ditentukan oleh generasi dan kehidupan keluarga. Perempuan memiliki tugas yang amat strategis ini. Begitulah Islam memuliakan perempuan dengan tugas pokoknya.
Kedua, dalam rumah tangga, perempuan berhak memperoleh nafkah dari suaminya. Rasulullah saw. bersabda, “Bagi mereka (perempuan) wajib atas kalian (suami) member mereka makan dan pakaian dengan cara yang makruf.”
Ketiga, perempuan juga berhak mendapatkan kehidupan tenteram dari suaminya (QS ar-Rum [31]: 21).
Keempat, Islam menjadikan hak hadhanah (pengasuhan anak yang masih kecil) berada di tangan perempuan ketika ia berpisah dari suaminya, karena cerai atau meninggal. Dalam keadaan demikian, sang suami ataupun keluarga suami wajib memberikan nafkah kepada dia (Lihat: QS al Baqarah [2]: 233).
Kelima, Islam memberikan keringanan kepada perempuan untuk tidak mengerjakan shalat dan puasa pada bulan Ramadhan saat haid atau nifas. Perkara ini pun tidak bisa dianggap bahwa perempuan direndahkan kedudukannya karena berkurangnya hari-hari untuk beribadah. Namun, Allah SWT Mahatahu atas kondisi yang terjadi pada makhluk-Nya sehingga melarang beribadah pada saat-saat tertentu. Semua itu adalah kebaikan karena berasal dari ketentuan-Nya (Lihat: QS al-A’raf [7]: 157).
Keenam, Islam menetapkan adanya dua kehidupan: kehidupan khusus di dalam rumah dan kehidupan umum di luar rumah. Dalam kehidupan umum Islam menetapkan pakaian khusus bagi perempuan untuk menutupi tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Semua itu untuk melindungi perempuan dari kejahatan orang-orang yang hendak melanggar kehormatan perempuan.
Ketujuh, Islam menjadikan perempuan sebagai kehormatan yang wajib dijaga dengan seperangkat aturan, seperti melarang perempuan bepergian sehari semalam kecuali bersama mahram-nya, melarang khalwat, melarang tabarruj (memperlihatkan perhiasan dan kecantikan kepada laki-laki bukan mahram-nya (QS an-Nur [24]:60), melarang ikhtilath (bercampur baur) dengan laki-laki bukan mahram-nya dan mewajibkan infishal (keperpisahan jamaah laki-laki dan perempuan). Semua hukum tersebut akan menjaga perempuan dari munculnya pandangan jinsiyyah (hasrat seksual) yang menjadi sumber kerusakan di masyarakat.
Kedelapan, Islam menempatkan perempuan pada posisinya yang layak ketika memberikan posisi yang khusus bagi perempuan dan membolehkan bekerjasama dengan laki-laki dalam perkara yang lain, seperti untuk mengembangkan hartanya, terlibat dalam urusan pendidikan, kesehatan, peradilan, dan aktivitas politik tertentu. Ini karena Allah—yang menciptakan perempuan—lebih mengetahui apa yang cocok dan sesuai dengan fitrah pembentukannya. Allah pula yang akan meminta pertanggungjawaban kepada perem-puan sesuai dengan apa yang telah Dia beban-kan kepada perempuan (QS Ali Imran [3]: 195).
Demikianlah, sistem sosial Islam akan melindungi perempuan. Semua ketentuan tersebut juga akan menjadikan interaksi laki-laki dengan perempuan sebagai kerjasama yang efektif. Sebab, baik laki-laki maupun perempuan mengambil perannya sesuai dengan kapasitasnya. Mereka pun diatur dengan berbagai aturan yang bisa mencegah interaksi yang tidak baik dan memadaratkan manusia.
Ketika terbentuk kerjasama yang efektif antara laki-laki dan perempuan, maka struktur keluarga pun akan kuat. Peran domestik dan publik dijalankan oleh semua pihak dengan baik pula. Masyarakat yang sehat dan berakhlak pun dengan sendirinya terwujud.
Perempuan bukan hanya mendapatkan hak-haknya, kehormatannya pun terjaga. Ia tidak tertindas meski diberikan peran berbeda dengan laki-laki di masyarakat dan keluarga. Anak-anak juga akan mendapatkan hak-haknya. Tidak ada yang menelantarkan mereka, baik dalam pengasuhan, pendidikan maupun nafkah.
Masyarakat secara umum bahkan akan mendapatkan keuntungan dan keluhurannya. Kerusakan moral dapat diminimalisasi. Hasrat seksual tidak dibiarkan muncul dan mencari pemenuhan tanpa kendali. Ini tentu berbeda dengan kondisi masyarakat kapitalis yang penuh dengan ancaman terhadap perempuan.
Dengan demikian, tampaklah keunggulan sistem sosial dalam Islam. Oleh karena itu, tidak ada jalan untuk mengembalikan kemuliaan perempuan kecuali dengan menghadirkan kembali sistem sosial Islam itu di tengah kaum Muslim. Tentu saja, upaya mewujudkan sistem sosial Islam tersebut tak bisa dilepaskan dari tegakknya sistem Khilafah Islam yang menjadi naungannya. Karena itu seluruh Muslim wajib berjuang menegakkan Khilafah Islam. Melalui sistem sosialnya perempuan mulia, keluhuran masyarakat pun terjaga. Rahmat Allah SWT pun pasti menaungi di tengah kehidupan fana ini. Tidakkah kita merindukannya? Saatnya bangkit, bergerak dan raih kemuliaan! [Noor Afeefa; Anggota Lajnah Tsaqofiyah MHTI]