HTI

Tafsir (Al Waie)

Kitab Amal Orang-orang Taat

(Tafsir QS al-Muthaffifin [83]: 18-21)

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِي عِلِّيِّينَ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا عِلِّيُّونَ، كِتَابٌ مَرْقُومٌ، يَشْهَدُهُ الْمُقَرَّبُونَ

Sekali-kali tidak. Sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyin. Tahukah kamu, apakah ‘Illiyyin itu? Itulah kitab yang bertulis; yang disaksikan oleh para malaikat yang didekatkan (kepada Allah) (QS al-Muthaffififn [83]: 18-21).

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Kallâ inna kitâb al-abrâr lafî ‘Iliyyîn (Sekali-kali tidak. Sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu [tersimpan] dalam ‘Illiyyin). Kata kallâ bermakna haqq[an] (benar).1 Kata tersebut berguna untuk menegaskan berita yang akan disampaikan dalam kalimat sesudahnya.

Ada juga yang menafsirkan kata itu sebagai celaan terhadap perkataan dan anggapan salah orang-orang yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. Karena itu, menurut sebagian mufassir, kata tersebut bermakna, “Perkaranya bukan seperti yang mereka katakan dan mereka duga. Akan tetapi, kitab amal mereka berada dalam Sijjîn, sedangkan kitab amal orang-orang Mukmin berada dalam ‘Iliyyûn.”2

Setelah itu diberitakan tentang kitâb al-abrâr. Menurut Fakhruddin ar-Razi, yang dimaksud dengan kitâb di sini adalah kitâbah (catatan).3 Sebagaimana dipaparkan az-Zuhaili, kitâb al-abrâr berarti segala catatan amal kaum Mukmin yang benar keimanannya.4

Adapun kata al-abrâr merupakan bentuk jamak dari kata al-bârr, yakni ism al-fâ’il (bentuk kata pelaku) dari kata al-birr. Menurut al-Asfahani, kata tersebut berasal dari al-barr (daratan) yang tergambar darinya makna at-tawassu’ (keluasan). Kemudian terbentuk dari kata itu kata al-birr yang berarti at-tawassu’ fî fi’l al-khayr (keluasan dalam perbuatan baik).5

Dalam konteks ayat ini, al-abrâr adalah al-muthi’ûn lil-Lâh (kaum yang taat kepada Allah). Demikian penjelasan al-Khazin.6

Al-Jazairi juga memaknai kata itu sebagai orang Mukmin yang berbakti kepada Tuhannya. Mereka menaati Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.”7

Menurut ath-Thabari, “Mereka adalah orang yang taat dan berbakti kepada Allah SWT dengan menunaikan kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.”8

Dengan demikian, sifat mereka berkebalikan dengan al-fujjâr (orang-orang durhaka) yang diberitakan dalam ayat sebelumnya. Perbedaan sifat itu mengakibatkan perbedaan dalam hal kitab amal mereka. Jika kitab amal orang-orang durhaka diletakkan di dalam Sijjîn, maka kitab amal orang-orang yang taat dan berbakti kepada Allah SWT itu diletakkan di dalam ‘Illiyyûn.

Menurut Ibnu Katsir, secara zhahir kata ‘Illiyyûn diambil dari kata al-‘uluww yang berarti tempat yang tinggi.9 Abu al-Fatih al-Maushili juga menyatakan bahwa ‘Illiyyûn merupakan bentuk jamak dari ‘aliyy, bentuk wazan fi’’îl dari kata al-‘uluww (tinggi).10 Menurut al-Zajjaj, ‘Illiyyûn adalah tempat paling tinggi.11

Menurut az-Zamakhsyari dan al-Alusi, ‘Illiyyûn adalah nama kitab kebaikan yang di dalamnya dicatat semua perbuatan yang dikerjakan para malaikat dan orang-orang shalih.12 Pendapat serupa juga dikemukakan oleh asy-Syaukani.13

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas,   ‘Illiyyûn adalah papan dari permata hijau yang tergantung di ‘Arsy. Amal-amal orang yang berbakti tertulis di dalamnya. Al-Farra’ berkata, “Illiyyûn adalah ketinggian sesudah ketinggian.”14

Adh-Dhahhak, Mujahid dan Qatadah berkata, “(Illiyyûn) adalah langit ketujuh yang di dalamnya terdapat ruh kaum Mukmin.”15

Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas ketika bertanya kepada Kaab tentang Sijjîn, ia menjawab, “Itu adalah lapisan bumi ketujuh yang di dalamnya terdapat ruh-ruh orang kafir.”

Ketika ditanya tentang ‘Illiyyûn, maka Kaab menjawab, “Itu adalah lapisan langit ketujuh yang di dalamnya terdapat ruh-ruh orang Mukmin.”

Begitu pula menurut pendapat beberapa ulama, ‘Illiyyûn adalah lapisan langit ketujuh.16 Di antara yang berpendapat demikian adalah Qatadah, Zaid bin Haritsah, Mujahid dan adh-Dhahhak.17

Dalam riwayat lain, adh-Dhahhak menafsirkan kata itu sebagai Sidratul Muntaha. Di sana berakhir semua urusan dari Allah SWT yang tidak dilampaui lagi.18 Dalam riwayat lainnya, Ibnu ‘Abbas menafsirkan kata itu sebagai surga.19

Ibnu Jarir ath-Thabari, setelah mengutip berbagai pendapat yang berbeda-beda, menyimpulkan bahwa pengertian fi ‘Illiyyin adalah di tempat yang tinggi, di langit atas langit, di tempat yang tinggi di atas yang tinggi, sehingga bisa berada di langit ketujuh, Sidratul Muntaha, atau di samping tiang Arsy. Hal itu karena tidak ada kabar yang memastikan dalil bahwa maknanya adalah itu dan bukan yang lain. Oleh karena itu, menurut ath-Thabari, makna yang benar dari ayat tersebut adalah: “Sesungguhnya kitab amal orang-orang yang taat lagi berbakti adalah berada di tempat yang tinggi hingga batas akhir yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Kita tidak memiliki pengetahuan tentang batas akhirnya. Akan tetapi, tidak kurang dari langit ketujuh karena adanya kesepakatan hujjah dari ahli takwil tentang itu.”20

Setelah itu kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ adrâka mâ ‘Illiyyûn (Tahukah kamu, apakah ‘Illiyyin itu?). Artinya, “Maukah kamu Aku beritahu, wahai Muhammad, apakah ‘Illiyyûn itu? Ungkapan ini dimaksudkan untuk memuliakan mereka dan mengagungkan urusannya. Demikian penjelasan az-Zuhaili.21

Kemudian Allah SWT berfirman: Kitâb marqûm ([yaitu] kitab yang bertulis). Sebagaimana Sijjîn, ‘Illiyyîn di sini juga disebut sebagai kitâb marqûm. Maknanya pun tidak berbeda dengan ayat sebelumnya yang menerangkan kitab amal orang-orang durhaka. Perbedaannya adalah pada ketetapan yang tertulis di dalamnya.

Menurut ath-Thabari, kitâb marqûm dalam ayat ini berarti: “Tertulis dengan perlindungan Allah SWT dari neraka pada Hari Kiamat dan kemenangan berupa surga.”22

Az-Zuhaili berkata, “Sesungguhnya itu adalah kitab yang tertulis. Tercantum di dalamnya nama-nama dan perbuatan-perbuatan mereka. Kitab tersebut merupakan buku dokumen besar yang dibawa, dijaga dan dilihat oleh para malaikat, sebagaimana Lauh al-Mahfuzh; atau mereka menyaksikan apa yang ada di dalamnya pada hari Kiamat.”23

Selanjutnya Allah SWT berfirman: Yasyhaduhu al-muqarrabûn (yang disaksikan oleh para malaikat yang didekatkan [kepada Allah]). Ini menerangkan sifat lainnya dari kitab catatan tersebut, bahwa kitab tersebut yasyhadu l-muqarrabûn.

Kata yasyhadu di sini bisa bermakna yahdhurûnahu fayahfazhûnahu (mendatang-kannya seraya menjaganya). Bisa juga bermakna yasyhadûna (menyaksikan) apa yang ada di dalamnya pada Hari Kiamat.24 Menurut ar-Razi, kesaksian para malaikat terhadap mereka menunjukkan penghormatan terhadap mereka dan memuliakan urusan mereka.25

Adapun al-muqarrabûn, menurut para mufassir, adalah para malaikat.26 Sebagaimana diterangkan al-Qurthubi, ayat ini berarti, “Amal orang-orang yang berbakti itu disaksikan oleh para malaikat yang dekat dengan langit.”27

Wahab dan Ibnu Ishaq berkata, “Al-Muqarrabûn dalam ayat ini adalah Israfil. Jika seorang Mukmin mengerjakan suatu kebaikan, maka para malaikat itu naik ke langit dengan membawa catatan amal dan amal tersebut memiliki cahaya yang berkilauan seperti cahaya matahari di bumi hingga catatan amal itu sampai kepada malaikat Israfil. Lalu catatan itu distempel dan ditulis. Itulah makna: Yasyhahadu al-muqarrabûn, yakni menyaksikan catatan mereka.”28

Menurut Ibnu Abbas, al-muqarrabûn adalah semua penduduk langit. Pendapat Abdurrahan as-Sa’di lebih luas lagi. Menurut as-Sa’di, selain para malaikat, al-muqarrabûn juga termasuk arwah para nabi, shiddiqin dan syuhada’. Allah Swt menyebut mereka di al-mala‘ al-a’lâ.29

Tempat Catatan Amal Orang-orang Taat

Di dalam ayat ini terdapat banyak pelajaran yang dipetik. Pertama: keberadaan al-abrâr. Sebagaimana telah diulas di depan, al-abrâr adalah orang-orang yang berbakti kepada Allah SWT dengan menjalankan ketaatan kepada-Nya, menunaikan kewajiban-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Jika dicermati, pengertian tersebut sama dengan takwa.

Secara bahasa, al-birr berarti keluasan dalam perbuatan baik. Standar kebaikan itu harus didasarkan pada syariah, bukan yang lain. Oleh karena itu, al-abrâr adalah orang-orang yang menjalankan ketaatan. Allah SWT berfirman:

وَلَيسَ ٱلبِرُّ بِأَن تَأتُواْ ٱلبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ ٱلبِرَّ مَنِ ٱتَّقَىٰ

Bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya. Akan tetapi, kebajikan itu ialah siapa saja orang yang bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 189).

Di antara perkara tabu yang dipegang oleh orang-orang Anshar adalah tidak memasuki rumah lewat pintu depannya ketika pulang dari bepergian. Kemudian turunlah ayat ini.30 Ditegaskan oleh ayat ini, memasuki rumah itu bukanlah termasuk al-birr. Sebab, ketentuan tersebut berasal dari mitos yang dipercaya secara turun-temurun, bukan dari syariah. Kemudian ayat ini memberikan paradigma yang benar tentang standar al-birr, kebaikan, bahwa al-birr adalah man [i]ttaqâ, orang-orang bertakwa. Kebaikan adalah keterikatan dengan ketentuan syariah. Orang yang melakukan kebaikan adalah orang-orang yang bertakwa, yakni menjalankan perintah dan larangan-Nya atas dasar keimanan.

Penjelasan serupa juga disebutkan dalam QS al-Baqarah [2]: 177. Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa al-birr itu mencakup keimanan dan amal shalih.

Semua orang yang melakukan ketaatan dan ketakwaan tersebut diberikan kemuliaan dan balasan kebaikan. Kemuliaan yang disebutkan dalam ayat ini adalah saat kitab amal mereka diletakkan di tempat yang tinggi. Adapun balasan kebaikan disebutkan dalam ayat berikutnya. Mereka akan ditempatkan dalam tempat yang dipenuhi dengan kenikmatan, yakni surga.

Kedua: Kitab amal orang-orang yang berbakti dan taat kepada Allah SWT. Ayat ini kembali menegaskan tentang adanya catatan amal yang dikerjakan oleh manusia. Semuanya dicatat hingga perkara paling kecil sehingga tidak ada yang terlewat sedikit pun (Lihat: QS al-Kahfi [18]: 49).

Semua amal kebaikan orang-orang Mukmin yang taat dan berbakti kepada Allah SWT ditulis dalam sebuah kitab. Jika kitab amal orang-orang durhaka diletakkan di tempat yang rendah, kitab amal orang-orang yang taat dan berbakti kepada Allah SWT diletakkan di tempat yang tinggi. Realitas ini menunjukkan kemuliaan amal mereka di sisi Allah SWT.

Menarik untuk disimak penjelasan Fakhruddin ar-Razi tentang keterkaitan keadaan tempat dengan nasib orang-orang yang dicatat amalnya. Menurut ar-Razi, tempat yang tinggi, luas, terang dan bersih merupakan sebagian dari tanda-tanda kebahagiaan. Sebaliknya, tempat yang rendah, sempit, dan gelap merupakan sebagian dari tanda-tanda kecelakaan. Peletakan kitab amal orang-orang yang durhaka di tempat yang paling rendah dan paling sempit merupakan penghinaan terhadap orang-orang yang durhaka dan pelecehan terhadap urusan mereka. Sebaliknya, peletakan kitab amal orang-orang yang taat dan berbakti di tempat yang paling tinggi dan disaksikan oleh para malaikat dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada mereka dan memuliakan urusan mereka.31

Kemuliaan lainnya, kitab amal itu dibawa dan dijaga oleh para malaikat yang mulia; juga disaksikan oleh mereka di Hari Kimat. Ini jelas menunjukkan kemuliaan amal mereka.

Berkaitan dengan catatan amal shalih dalam ‘Illiyyîn, ada beberapa hadis yang memberitakan. Di antaranya adalah hadis dari Abu Umamah, dari Nabi saw. yang bersabda:

وَصَلاَةٌ عَلَى إِثْرِ صَلاَةٍ لاَ لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِي عِلِّيِّينَ

Suatu shalat yang dikerjakan sesudah shalat, yang di antara keduanya tidak diselingi dengan perkataan yang sia-sia, maka dicatat dalam kitab di ‘Illiyyin (HR Ahmad).

Demikianlah. Siapa pun yang ingin mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT harus giat dan bersemangat memperbanyak perbuatan baik dan mulia. Tentu saja, baik dan mulia dalam pandangan Allah SWT. Semoga kita termasuk di antara mereka.

Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Catatan kaki:

1       Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), vol. 19, 262.

2       Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 262.

3       Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya al’-Turats al-Arabiyy, 1420 H), 90.

4       Az-Zuhaili, Al-Munûr, vol. 30 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 125. Lihat juga: az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 722.

5       Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaskus: Dar al-‘Ilm, 1992), 114.

6       Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 405.

7       Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 538.

8       Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 290.

9       Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 352.

10      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 90.

11      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 487.

12      Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 722; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 274.

13      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 487.

14      Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 262.

15      Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 262.

16      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 352.

17      Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 291.

18      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 487.

19      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 352.

20      Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 293-294.

21      Az-Zuhaili, al-Munûr, vol. 30, 126. Lihat juga al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 263.

22      Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân, vol. 24, 294.

23      Az-Zuhaili, al-Munûr, vol. 30, 126.

24      Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1998), 295.

25      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 90.

26      Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 274 .

27      Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 263.

28      Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 263.

29      As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 916

30      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 352.

31      Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 274.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*