Semua orang tahu, negeri ini tak henti dirundung malang. Bahkan meski presiden yang dianggap sangat merakyat sudah memerintah pun, berbagai masalah bukan mereda, malah cenderung makin melenggang. Lihatlah harga beras, cabe, daging dan berbagai kebutuhan pokok lain terus merangkak naik. Sebelumnya Pemerintah telah menaikkan harga LPG kemasan 12 kg dan 3 kg. Menyusul kemudian tarif tol dan TDL. Harga dolar AS juga terus menaik. Kini tembus ke angka Rp 13.000. Dulu banyak pihak mengatakan kalau Jokowi dilantik segera, dolar AS akan kembali ke kisaran Rp 9.000. Namun, sudah lebih dari 5 bulan sejak Presiden Jokowi dilantik, dolar AS bukan turun, malah terus naik.
Akibatnya, bagi sebagian besar rakyat, hidup semakin susah. Yang lemah iman, berbagai kesulitan itu membuat mereka mudah melakukan kejahatan. Pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan (sekarang disebut dengan istilah begal), pembunuhan, peredaran narkoba dan perbuatan tindak asusila dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat.
Sesungguhnya semua persoalan di atas bukan kali ini saja terjadi. Stu semua hanyalah pengulangan dari yang pernah terjadi sebelumnya(cyclic problem).
++++
Semua orang tentu menginginkan agar persoalan-persoalan itu segera terselesaikan. Hanya saja, tidak semua orang memiliki cara pandang atau kesadaran dengan level atau tingkatan yang sama. Di level pertama, utamanya para ekonom, memandang dengan perspektif teknis ekonomi. Kata mereka, persoalan (ekonomi) itu terjadi oleh karena lemahnya fundamental ekonomi, hutang luar negeri yang luar biasa besar, defisit neraca transaksi berjalan dan sebagainya. Karena itu solusinya juga tidak keluar dari perspektif ini, di antaranya: tingkatkan ekspor, restrukturisasi hutang, dan sebagainya.
Ketika semua solusi teknis ekonomi sudah ditempuh, sementara persoalan tak kunjung selesai, orang kemudian berpikir pada level berikutnya. Sebutlah perspektif politis. Di level ini, berbagai persoalan tadi dipandang bukan sekadar masalah teknis ekonomi, tetapi lebih karena masalah politik, yakni berkuasanya rezim yang korup dengan tatanan yang tidak demokratis. Karena itu, menurut mereka, harus dilakukan proses demokratisasi di segala bidang hingga pergantian rezim. Itu pun sudah berulang terjadi. Jadi, ketika berbagai persoalan tak juga kunjung selesai, ujungnya selalu pergantian rezim. Karena itu ketika Jokowi tampil sebagai capres, dukungan rakyat membuncah karena mereka sangat yakin, Jokowi yang tampil sederhana dan tampak sangat merakyat itu pasti nantinya akan memimpin negara ini dengan baik dan akan sangat memperhatikan kepentingan rakyat. Namun, ketika rezim telah benar-benar berganti, seperti yang terjadi saat ini, ternyata persoalan tetap saja bertumpuk.
Ini menunjukkan bahwa solusi di Level 1 dan Level 2 tidaklah mencukupi. Sayang, pada umumnya orang berpikir hanya sampai pada Level 2. Orang lupa, bahwa sesederhana dan semerakyat kayak apapun, presiden tidak bisa memimpin negara ini dan mengambil keputusan-keputusan sekehendak hatinya. Ia harus tunduk patuh pada peraturan perundangan yang ada. Bahkan juga harus berbagi porsi kekuasaan dengan pihak legislatif dan yudikatif, serta harus pula memperhatikan partai-partai pendukungnya. Belum lagi ia mungkin juga harus memperhatikan kepentingan negara-negara besar tertentu yang telah memberikan dukungan kepada dia.
Maka dari itu, ketika Presiden Jokowi tidak bergegas mencabut pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, bahkan terkesan membiarkan terus berlangsungnya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, rakyat mulai kecewa. Lebih kecewa lagi ketika mereka mendapati kenyataan barang-barang kebutuhan pokok seperti beras dan lainnya terus naik. Perusahaan-perusahaan asing dari AS yang beroperasi di Indonesia seperti Freeport juga tetap mendapat perlakuan istimewa. Namun, sebenarnya bukan kali ini saja rakyat dibuat kecewa oleh presiden pilihannya. Dulu pada masa SBY juga begitu. Kini, hal yang sama terulang kembali. Mengapa?
Rakyat pada umumnya melupakan satu lagi level yang paling vital dalam ikhtiar menyelesaikan persoalan. Inilah Level 3. Sebutlah sebagai persepektif ideologis. Dalam perspektif ini, semua persoalan yang ada dipandang bukan semata-mata karena faktor politis apalagi sekadar teknis ekonomi, tetapi lebih karena faktor ideologis; yakni penerapan sistem dan ideologi sekularisme-kapitalisme-liberal yang memang sudah cacat sejak awal dan bersifat self-destructive.
Dalam Islam, cara pandang Level 3 ini mempunyai landasan yang sangat kokoh. Islam dengan akidah dan syariahnya, jika diterapkan, pasti bakal membawa rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Jika ini diabaikan maka pasti akan menimbulkan kerusakan atau fasad.
Karena itu, dalam perspektif ini sesungguhnya berbagai persoalan tadi merupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan oleh karena penyimpangan terhadap aturan Islam. Hubungan antara penyimpangan tindakan manusia dari ajaran Islam dan fasad disebutkan dengan sangat gamblang dalam al-Quran (yang artinya): (Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia (QS ar-Rum []: 41).
Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab Shafwah at-Tafasir menyatakan, yang dimaksud dengan bi ma kasabat aydi an-nas dalam ayat itu adalah: oleh karena kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia (bi sababi ma’ashi an-nas wa dzunubihim). Maksiat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah SWT. Setiap bentuk kemaksiatan pasti menimbulkan dosa. Setiap kemaksiatan dan dosa itu pasti akan mengakibatkan kerusakan atau fasad.
Selama ini, di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali kemaksiatan dilakukan. Dalam sistem sekular, hukum-hukum Allah SWT memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik tadi, lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam; tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilai-nilai melainkan sekadar demi meraih jabatan dan kepentingan sempit lainnya. Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih. Ke sanalah—dalam musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup—orang mengacu. Dalam tatanan seperti itulah, timbulnya banyak sekali masalah adalah wajar belaka.
++++
Salah satu penghambat perubahan menuju kehidupan Islam yang hakiki adalah keadaan masyarakat yang mayoritas masih berpikir di Level 1 atau Level 2. Masyarakat semacam ini mudah sekali terkecoh oleh pencitraan seorang tokoh produk media massa yang di era sekarang ini memang memainkan peranan yang sangat penting. Ketika dikecewakan oleh pemimpinnya, masyarakat seperti ini juga tidak otomatis langsung bisa berpikir dengan Level 3. Oleh karena itu, penting sekali terus mengedukasi umat agar taraf berpikirnya meningkat ke Level 3. Penanaman Islam sebagai mabda’ (ideologi) di tengah-tengah umat menjadi mutlak adanya karena hanya melalui cara ini kesadaran Level 3 bisa diwujudkan. Insya Allah. [HM Ismail Yusanto]