Empat puluh juta dolar Amerika Serikat ($40.000.000), jika Anda miliki, tentu amat banyak, amat besar! Jika saat ini kurs $1 setara dengan Rp 13.000, berarti $40.000.000 sama dengan Rp 520.000.000.000 (Lima ratus dua puluh miliar rupiah) atau lebih dari setengah triliun rupiah. Jika seorang karyawan bergaji Rp 5 juta perbulan, untuk bisa mencapai nilai sebesar itu, ia harus bekerja selama 8.666,6 tahun!
Dengan uang sebesar itu, Anda tentu bisa memiliki apa saja: membeli ratusan rumah mewah; ratusan mobil mewah; ribuan hektar tanah; ratusan perusahaan kelas menengah; dll.
Jika Anda seorang dermawan, dengan uang sejumlah itu Anda bisa menyantuni 1.000.000 orang (fakir-miskin, janda dan anak-anak yatim), perkepala Rp 520 ribu; atau mungkin bisa membelikan untuk 1.040.000 kepala keluarga masing-masing sekarung beras seberat 50kg seharga Rp 500.000/karung; atau mungkin bisa merenovasi 1.040 masjid masing-masing dengan biaya Rp 500 juta; atau mungkin bisa membeli 34.666 unit sepeda motor seharga Rp 15 juta/unit untuk sarana transportasi dakwah gratis bagi 34.666 da’i/mubaligh di sejumlah daerah di Indonesia.
Masalahnya, bagaimana jika uang sebanyak lebih Rp 520 miliar itu ternyata hanya nilai asuransi sepasang kaki manusia? Siapapun tentu akan geleng-geleng kepala. Sepertinya itu terjadi di alam mimpi atau dalam sebuah cerita fiksi. Namun, jangan salah. Itu benar-benar terjadi!
Sebagaimana ramai diberitakan, Taylor Swift, seorang penyanyi, penulis lagu sekaligus mega bintang dunia asal Amerika, baru-baru ini berencana mengasuransikan kedua kakinya seharga $40.000.000.
Berita ini memang baru sebatas rumor. Namun, jika berita ini benar, sesungguhnya Taylor bukanlah yang pertama dan satu-satunya selebriti dunia yang mengasuransikan anggota tubuhnya. Penyayi Mariah Carey malah telah mengasuransikan kedua kakinya seharga 1 miliar dolar AS atau setara Rp 13 triliun. Aktris lainnya, Julia Roberts, mengasuransikan senyumnya yang legendaris seharga 30 juta dolar AS atau Rp 390 miliar (Kompas.com, 14/3/2015).
Mungkin memang premi yang mereka bayarkan lebih kecil. Namun demikian, dengan nilai asuransi ratusan miliar bahkan triliunan rupiah, pastinya premi yang dibayarkan tetap bukan angka yang kecil. Namun, bagi kaum kapitalis sekular, menghambur-hamburkan uang sebanyak itu untuk membayar premi asuransi sepertinya memang bukan masalah. Yang penting, keinginan mereka—yang pastinya bersifat material, duniawi dan profan—bisa diwujudkan. Soal harga tak jadi soal.
Sebaliknya, bagi seorang Muslim, membelanjakan harta untuk hal yang sia-sia alias tak berguna—meski halal—tak selayaknya dilakukan. Rasul saw. secara umum menyatakan, “Min husn Islam al-mar’i tarkuhu ma la ya’nihi (Di antara baiknya Islam pada diri seseorang adalah meninggalkan perkara apa saja yang tidak berguna).” (HR Ahmad, at-Tirmidizi dan Ibn Majah).
Hadis ini tentu mencakup semua hal yang sia-sia (Lihat: Ibn ‘Arabi, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, VI/102).
Karena itu, jangankan membelanjakan ratusan miliar rupiah, satu rupiah pun, jika dibelanjakan pada hal yang sia-sia, harusnya dihindari oleh seorang Muslim.
Seorang Muslim sejati akan selalu berusaha meraih keberkahan pada setiap rupiah hartanya. Ia pun akan berusaha mendapatkan keberkahan dari setiap ucapan dan tindakannya. Ia akan selalu berusaha untuk tak terjebak dalam kesia-siaan.
Sayang, bagi sebagian orang, meraih manfaat dan keberkahan kadang terasa gampang-gampang susah ketimbang melakukan kesia-siaan.
Betapa banyak Muslim yang punya harta, sedikit atau banyak, menghabiskan hartanya untuk hal-hal yang tak berguna: membeli batu cincin/akik, lukisan atau berburu barang antik dengan harga ratusan juta bahkan miliaran rupiah hanya untuk kesenangan; rutin membeli pakaian baru (baju, celana, sepatu, tas, dll) yang serba mahal setiap minggu setiap kali muncul model terbaru, padahal pakaian lama pun jarang dipakai dan hanya memenuhi isi lemari saja; atau terus menumpuk uangnya dalam bentuk deposito atau tabungan di bank sehingga berjumlah ratusan juta hingga miliaran rupiah tanpa uang itu digunakan untuk perkara-perkara yang bermanfaat dan berkah.
Kesia-siaan sebetulnya tak melulu menyangkut harta, tetapi juga mencakup semua perkara yang telah Allah SWT karuniakan kepada setiap manusia. Setiap manusia tentu dikarunia anggota tubuh yang sebagian besarnya sempurna (mulut, mata, telinga, tangan, kaki, dll).
Faktanya, betapa banyak orang yang dari mulutnya hanya sedikit kata-kata bermanfaat, apalagi mengandung hikmah dan nasihat agama; atau bibirnya basah karena banyak berzikir kepada Allah SWT. Kebanyakan yang terlontar dari lisannya hanyalah omongan tak bermakna, canda tawa, bahkan tak jarang menjurus pada keharaman; meng-ghibah, berkata-kata kasar dan jorok, memfitnah, mengadu-domba, dll. Tengoklah ragam acara di televisi yang hanya dihiasi oleh celotehan dan lawakan tak berguna, bahkan melalaikan manusia dari ketaatan kepada Allah SWT.
Betapa sering pandangan mata kita bukan saja jarang dipakai untuk membaca al-Quran atau membaca buku-buku Islam, tetapi bahkan aktif digunakan untuk melihat hal-hal haram: aurat wanita yang bukan mahram.
Betapa sering telinga kita hanya digunakan untuk mendengarkan musik atau hal-hal yang melenakan, bukan rajin mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Quran atau nasihat agama dari para ulama.
Masing-masing kita juga diberi jatah waktu 24 jam sehari. Namun, betapa sering waktu kita dihabiskan hanya untuk hal-hal yang tak bermanfaat: nonton hiburan dan gosip di televisi berjam-jam setiap hari; menghabiskan waktu di depan komputer hanya sekadar main game, banyak tidur, dll.
Bagaimana dengan para pengemban dakwah? Sudahkah hartanya dibelanjakan untuk meraup berkah; menafkahi anak-istri, diinfakkan di jalan dakwah, menolong orang yang kesulitan, atau disedekahkan kepada fakir-miskin? Sudahkah sebagian besar waktunya digunakan untuk kontak-kontak dakwah, meningkatkan tsaqafah dan memperbanyak amalan sunnah (zikir, salat malam, membaca al-Quran, dll)?
Sudahkah semua yang kita punya dan semua nikmat yang Allah SWT karuniakan kepada kita terhindar dari kesia-siaan?
Ingatlah, Allah SWT pasti akan meminta pertanggungjawaban kita atas semua itu: Kemudian pada hari itu (Hari Kiamat) kalian benar-benar akan ditanya tentang nikmat (TQS at-Takatsur [102]: 8).
Mengingat ayat ini telah cukup membuat Baginda Rasulullah saw. bergetar dan menangis karena takut diminta pertanggungjawaban di Akhirat nanti saat beliau baru saja merasakan nikmat berupa sebutir kurma (Lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, Durr al-Mantsur fi at-Ta’wil bi al-Ma’tsur, X/340). Bagaimana dengan kita?
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]