لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُم امْرَأَةً
Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan mereka kepada wanita (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ahmad).
Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abu Bakrah. Dalam salah satu riwayat al-Bukhari, Abu Bakrah berkata, “Sungguh Allah memberi manfaat kepadaku dengan kalimat pada Hari al-Jamal, ketika sampai kepada Nabi saw. bahwa orang Persia menobatkan putri Kisra sebagai raja, beliau bersabda, “… (sebagaimana matan hadis di atas).”
Dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasai, Abu Bakrah berkata, “Allah telah melindungi aku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. ketika Kisra mati. Beliau bertanya, “Man istakhlafû (Siapa yang mereka nobatkan jadi pengganti)?” Mereka (para Sahabat) berkata, “Putrinya.” Lalu Nabi saw. pun dengan redaksi hadis di atas.
Ibn Qutaibah di dalam Al-Maghazi menyebutkan, putri Kisra itu adalah Buran binti Sirawaih bin Kisra bin Birwiz. Ketika Sirawaih mati, ia tidak meninggalkan anak laki-laki dan saudara laki-laki, maka putrinya pun diangkat jadi raja. Ath-Thabari menyebutkan bahwa saudara perempuan Buran, yakni Arzimida Khut juga diangkat jadi raja.
Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang lain.
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوا أَمْرَهُمْ إِلَى امْرَأَةٍ
Tidak akan beruntung kaum yang menyandarkan urusan mereka kepada perempuan (HR Ahmad).
Diriwayatkan pula dengan redaksi:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ تَمْلِكُهُمُ امْرَأَةٌ
Tidak akan beruntung kaum yang dipimpin oleh seorang ratu (HR Ahmad, Ibn Hibban dan al-Hakim).
Al-Hakim berkomentar, “(Hadis ini sahih) menurut syarat syaikhayn (al-Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadis tersebut.”
Dalam At-Talkhis, adz-Dzahabi juga berkomentar, “(Hadis ini sahih) menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.”
Meskipun dinyatakan dengan redaksi berita, hadis ini bermakna larangan karena berita itu disertai celaan, yaitu dengan ungkapan “lan yufliha”. Dalam ketentuan ushul, jika berita disertai celaan, maknanya adalah larangan; dan jika disertai pujian, maknanya adalah perintah.
Perkara yang dilarang itu adalah “wallaw amrahum imra’at[an] (mereka menyerahkan urusan kekuasaan mereka kepada wanita), yakni menjadikan perempuan sebagai waliyyu al-amri (jamaknya ûlu al-amri); atau memberikan wilâyah (kekuasaan pemerintahan) kepada wanita.
Kata waliyyu al-amri atau ûlu al-amri maknanya adalah penguasa. Jadi hadis ini menunjukkan larangan menyerahkan kekuasaan kepada wanita atau menjadikan wanita sebagai penguasa. Pengertian ini dikuatkan oleh frasa tamlikuhum imra’at[un] (mereka dipimpin oleh ratu/penguasa wanita) dalam riwayat Ahmad, Ibn Hibban dan al-Hakim di atas.
Dalam frasa amrahum, kata amru (urusan) di sini bersifat umum. Meski bersifat umum, kata itu tidak boleh dipahami secara umum mencakup semua urusan. Pasalnya, sesuai ketentuan ushul, kata umum itu jika datang sebagai komentar atau jawaban atas suatu pertanyaan atau situasi. Karena itu kata itu bersifat umum pada jenis masalah atau situasi itu saja, tidak berlaku umum untuk semua perkara. Jenis masalah yang dikomentari hadis ini adalah penyerahan urusan kekuasaan kepada wanita. Dengan demikian larangan hadis ini tidak berlaku umum untuk semua urusan, melainkan berlaku umum untuk urusan kekuasaan. Larangannya bersifat umum untuk penyerahan urusan kekuasaan kepada wanita atau menjadikan wanita sebagai penguasa, pada tingkat manapun, dan dengan sebutan apapun penguasa itu. Larangan hadis ini tidak berlaku dalam hal penyerahan selain urusan kekuasaan kepada wanita.
Jadi hadis melarang untuk menyerahkan urusan kekuasaan kepada wanita atau menjadikan wanita sebagai penguasa (waliyyu al-amri). Mula Ali al-Qari dalam Mirqâh al-Mafâtîh Syarh Misykâtu al-Mashâbîh menjelaskan, “Wallaw ay fawadhû amrahum ay amra mulkihim imra’at[an] (mendelegasikan/menyerahkan amrahum, yakni amra mulkihim [urusan kekuasaan mereka] kepada wanita).
Larangan dalam hadis ini juga bersifat tegas. Hal itu ditunjukkan oleh qarinah berupa kata “lan yufliha (tidak akan pernah beruntung)”. Frasa ini menafikan keberuntungan untuk selamanya. Dengan demikian larangan dalam hadis ini mengandung hukum haram. Jadi hadis ini menyatakan keharaman menyerahkan kekuasaan kepada wanita atau haram menjadikan wanita sebagai penguasa.
Adapun dalam selain urusan kekuasaan atau selain sebagai penguasa, wanita boleh diserahi kepemimpina karena tidak masuk dalam larangan hadis ini.
Keharaman yang dijelaskan dalam hal ini juga berlaku bagi semua orang, bukan hanya terkait orang Persia saja. Sebab, kata qawm[un] (kaum) dalam hadis di atas berbentuk nakirah dan itu merupakan redaksi umum. Ketentuan ini tetap berlaku secara umum, yaitu berlaku untuk kaum manapun, karena tidak ada nas yang mengkhususkan keumumannya.
Hadis ini juga tidak mengandung illat tertentu. Dengan demikian keharaman menyerahkan urusan kekuasaan kepada wanita atau menjadikan wanita sebagai penguasa itu tidak ada ‘illat-nya. Sebagian orang menyebutkan alasan larangan itu. Misalnya karena wanita itu nâqishah ‘aqlin (kurang akalnya); wanita itu aurat tidak boleh bergaul dengan laki-laki; dan jabatan atau posisi tertentu mengharuskan wanita bertemu, berinteraksi atau saling berargumentasi dengan laki-laki; dan alas an lainnya. Semua itu, meski disebutkan oleh nas atau dipahami dari nas, itu adalah nas lain, dan bukan merupakan ‘illat hukum dalam hadis ini atau sebab adanya hukum hadis ini.
Karena itu larangan dan keharaman menyerahkan urusan kekuasaan kepada wanita atau menjadikan wanita sebagai penguasa adalah tanpa disertai ‘illat. Dengan demikian, menyerahkan urusan kekuasaan kepada wanita atau menjadikan wanita sebagai penguasa hukumnya tetap haram; kapanpun, di manapun dan dalam kondisi apapun. Kaum mana saja yang melakukan itu berarti menafikan keberuntungan dari mereka.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto)]