Pengantar:
Sebagaimana telah dijelaskan pada edisi sebelumnya, akitivitas politik, khususnya yang menyangkut politik luar negeri suatu negara, sangatlah penting. Eksistensi sebuah negara dan umat serta ideologinya (bila negara dan umat tersebut mengemban ideologi tertentu) amat bergantung pada aktivitas politik yang dijalankan. Berikut adalah lanjutan dari paparan sebelumnya.
Beberapa negara kufur pernah menjadi negara super power. Keberhasilannya sangat bergantung pada aktivitas politik yang dijalankan. Sebagai contoh Inggris. Inggris mempunyai potensi SDA, SDM, dan militer yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan Cina. Namun, karena kecerdasan politiknya, Inggris memiliki pengaruh lebih dominan di dunia. Karena kepiawaian dalam menjalankan aktivitas politik pula, negara kepulauan kecil itu berhasil menjadi negara besar bahkan memperdaya AS sebagai raksasa militer.
Oleh sebab itu, sejak pertengahan abad lalu ‘Paman Sam’ tidak lagi menyandarkan aktivitas politiknya pada Inggris karena sadar kelicikan demi kelicikan negara yang dikenal dengan ‘The Black Country’ tersebut.
Di era Perang Dunia I hingga Perang Dunia II, Inggris adalah negara nomor satu. Pada saat itu, sang adidaya sukses menundukkan Perancis dengan ide pelucutan senjata sebelum meletus Perang Dunia I dan memutus harapan Jerman untuk memiliki persenjataan. Dengan kedua cara ini, terbentuklah keseimbangan antar kedua negara tersebut. Tanpa sadar, banyak negara yang diperalat Inggris dalam meraih kepentingan dan menancapkan cengkeramannya. Inggris cakap membuat beberapa negara-negara berperang satu sama lain, hingga kehabisan energi. Dengan cara-cara itu, Inggris berhasil menguasai wilayah yang sangat luas di dunia, hingga disebut sebagai “kekaisaran yang matahari tak pernah terbenam di buminya”.
Di era selanjutnya, meski mengalami kemerosotan dalam hal kekuatan militer dan kehilangan berbagai wilayah jajahan, Inggris tetap dianggap sebagai negara besar. Hal itu tiada lain karena aktivitas dan manuver politik yang dijalankan secara terus-menerus tanpa mengenal lelah, bosan, putus-asa atau frustrasi.
Sebaliknya, negera-negara Eropa yang lain seluruhnya menjadi pengekor AS. Pasalnya, mereka tak tahan menjalani aktivitas politik secara sinambung. Padahal mereka memliki potensi dan kapasitas memadai.
Contoh lain adalah Uni Soviet. Negara ini adalah raksasa dunia pasca Perang Dunia II, namun akhirnya runtuh oleh manuver politik AS. Hal tersebut bermula sejak penandatangan Perjanjian Vienna tahun 1961. Perjanjian ini mengharuskan Uni Soviet mengikuti konsensus internasional dan menghentikan pertarungan ideologi. Jalan ini terbukti berhasil membuat Uni Soviet melepaskan ideologinya secara perlahan baik di kancah politik luar negeri maupun dalam negeri. AS kemudian menyeret Uni Soviet menandatangani perjanjian pembatasan peluncuran rudal berhulu ledak nuklir dan persenjataan strategis lainnya. Pada gilirannya AS berhasil menipu Uni Soviet dengan menjerumuskan negara itu pada perang bintang (star wars) untuk menguras kekuatan dan sumberdaya ekonominya. Berikutnya, dengan menggunakan tangan kaum Muslim, AS memukul Uni Soviet yang sudah kehabisan energi dalam Perang Afganistan. Akhirnya, Uni Soviet berhasil diusir dan Afganistan jatuh ke dalam cengkeraman AS. Di sisi lain, AS juga berhasil menggunakan kampanye tentang HAM dan kebebasan untuk memprovokasi warga Uni Soviet untuk melawan negaranya. Cara ini sangat signifikan dalam membuka keran kebebasan dan mendorong munculnya ide ‘pembangunan kembali’ Uni Soviet tanpa ideologi sosialis. Akhirnya, Uni Soviet benar-benar runtuh di tangan rakyatnya sendiri pada tahun 1991.
Hakikat Politik
Politik sejatinya merupakan aktivitas mengurusi urusan umat di dalam dan di luar negeri. Dalam Islam, politik dalam negeri ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan warga negara, melayani kepentingan-kepentingan mereka, menyelesaikan problem yang mereka hadapi, meningkatkan tarap hidup mereka, dll. Hal ini mengharuskan sikap lembut, perhatian atas keberatan-keberatan dan kondisi masyarakat, serta toleransi atas sedikit kesalahan dan kekurangan mereka.
Sikap ini berbeda sekali dengan aktivitas politik dengan pihak luar. Mereka tentu tidak layak untuk diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Bagaimana tidak. Di antara mereka ada yang sedang terlibat perang dengan kita; berencana untuk menyerang kita; mencari cara untuk mencengkeram negeri kaum Muslim; bahkan telah berhasil menduduki dan menjajah negeri-negeri Islam. Sebagian yang lain sedang melakukan konspirasi untuk meruntuhkan Negara Islam, menghancurkan umat Islam serta menjauhkan mereka dari ideologinya. Mereka senantiasa bersiap dengan seluruh konspirasi, manuver dan makar jahat, tanpa mempedulikan apapun, termasuk undang-undang dan konvensi internasional yang mereka sepakati sendiri.
Sebagai contoh, negara-negara Barat penjajah saat ini menjadikan asas manfaat sebagai landasan hidup dan standar perbuatannya. Slogan Machiavelli ‘tujuan menghalakan segala cara’ begitu mendarah daging. Pragmatisme adalah karakter politik Barat dalam meraih kemaslahatannya. Oleh sebab itu, politik mereka adalah tipudaya, konspirasi dan kemunafikan. Diplomasi berarti akal bulus dan tipudaya. Mereka pun meyakini bahwa tidak ada akhlak dan aspek ruhani dalam politik. Mereka bisa kapan saja mealanggar perjanjian dengan siapa saja yang berdamai dengan mereka bila kepentingan politik mereka bisa diraih dengan cara itu. Sikap ini telah Allah isyaratkan dalam al-Quran (Lihat: QS at-Taubah [9]: 8). Allah SWT telah mengungkap kaidah politik kaum kufar. Mereka senantiasa berusaha mengelabui umat Islam. Dalam hati mereka tersimpan kedengkian yang sangat mendalam.
Sebaliknya, Allah SWT mengajarkan satu kaidah politik sebagai pedoman bagi umat Islam dalam berhubungan dengan mereka, sebagaimana tersurat dalam QS al-Anfal [8]:58). Berdasarkan ayat ini, jika Daulah Islam merasakan tanda-tanda pengkhianatan mereka, maka pada saat itu wajib negara mengambil tindakan secara cepat, tepat dan tidak menunggu-nunggu hingga pengkhianatan itu benar-benar terjadi. Dengan kata lain, ayat ini memerintahkan kepada kaum Muslim agar senantiasa waspada dan tanpa kenal lelah mengungkap rencana dan konspirasi mereka.
Sebagaimana telah dikemukakan di awal, aktivitas politik luar negeri sangat beragam dan tidak statis. Melakukan diplomasi, pertemuan, perundingan dan konfrensi; membentuk persekutuan; membina persahabatan; menandatangani perjanjian; membangun relasi khusus dengan negara tetangga; melakukan konspirasi untuk memecah-belah musuh; mengalihkan perhatian lawan; mencari cara untuk keluar dari dilema tertentu; merahasiakan tujuan; menghimpun informasi tentang musuh, menyingkap rahasia dan kelemahannya serta menyingkap aspek pemersatu dan penyebab perpecahannya; mengeksploitasi perselisihan di pihak rival agar mereka semakin lemah; menjadikan sebagian mereka tameng saat melawan sebagian yang lain; memfokuskan perhatian terhadap sebagian dan mengenyampingkan sebagian yang lain; menggagalkan konspirasi; serta mengungkap kebohohongan. Semua itu adalah di antara aktivitas politik.
Untuk melakukan semua itu, cara yang paling efektif adalah melalui cengkeraman pemikiran, media dan propaganda. ‘Perang urat saraf’ sangat efektif membuat lawan ciut; menyesakkan mereka dengan berbagai tekanan; membentuk opini yang mampu mengubah situasi dan sikap negara lain dalam membangun hubungan dengan Daulah Islam ataupun negara lainnya; membentuk opini umum untuk melawan pihak-pihak tertentu; menimbulkan krisis di dalam negeri lawan seteru; menebar ancaman pengerahan kekuatan bersenjata; serta yang terpenting adalah menonjolkan kekuatan, prestasi, dan citra Daulah Islam.
Politisi Sejati
Oleh sebab itu, setiap politisi yang memangku tugas untuk menjalankan politik luar negeri (polugri) Daulah Khilafah dan siapa saja yang membantu khalifah dalam urusan ini, wajib memiliki kapasitas sebagai ‘politisi sejati’ yang kreatif dan cerdik. Tugas ini tidak mungkin diemaban oleh orang-orang yang berkepribadian lemah, senantiasa mempertimbangkan niat dan ‘berhati baik’. Pasalnya, mereka akan berhadapan dengan lawan atau rekan yang sangat licik, terutama kafir penjajah yang tak kenal rasa belas kasihan. Para penjajah tak pernah berpikir kecuali bagaimana mengalahkah, mendominasi, menjerumuskan kaum Muslim dalam kesengsaraan dan kekufuran. Mereka juga tidak pernah mempertimbangankan kecuali urusan nasionalnya.
Siapapun yang mengkaji sejarah akan mendapati bahwa aktivitas politik suatu negara, memiliki peranan penting dalam mengalahkan negara lain yang menjadi rivalnya. Oleh sebab itu, kebijakan polugri wajib dipegang oleh seorang negarawan yang cerdas, berpikiran tajam, memilki visi jauh, dan mampu melihat apa yang ada ‘di balik dinding’. Dengan monitoring peristiwa-peristiwa politik secara kontinu, ia dapat membaca apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan menganalisis dampak setiap kebijakan politik yang di ambil Daulah Islam maupun negara-negara luar. Contoh, bila kebijakan suatu negara begini, maka yang terjadi demikian; hal yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan Daulah Khilafah adalah ini dengan cara begini; sikap negara-negara lain adalah demikian dan demikian; harus diantisipasi dengan cara seperti ini; begitu seterusnya.
Dengan kata lain, mereka adalah politisi ulung yang memiliki sur’atul badîhah (kecepatan dalam mengambil kesimpulan) dan sur’atul mulâhazhah (kecepatan dalam melakukan pengamatan). Berbekal kedua hal ini, ia bisa dengan cepat mengetahui apa yang diinginkan pihak lain serta mampu mengambil sikap atau tindakan yang tepat. Meski demikian, mereka bukanlah orang yang tergesa-gesa dan ‘nekat’ dalam mengambil sebuah kebijakan, yang akhirnya malah membuat mereka berada dalam situasi dilematis. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang memiliki kesadaran sempurna sehingga tidak mudah terjabak perangkap musuh. Mereka senantiasa memperhatikan pernyataan, tindakan dan kebijakan pihak luar. Mereka bukanlah tipe orang pemarah, kecuali dalam hal-hal yang memang mesti menunjukan kemarahan. Mereka senantiasa mengendalikan emosinya dan menyembunyikan nafasnya hingga benar-benar mencapai target yang telah ditetapkan.
Untuk menjadi politisi sejati, seseorang wajib memiliki kepekaan politik. Hal tersebut tidak bisa diraih kecuali secara sinambung melakukan monitoring terhadap berita dan peristiwa politik, sebagai prasyarat utama melakukan tafkir siyâsiy (berfikir politik). Selanjutnya menghubungkan kejadian dan peristiwa tersebut dengan kejadian dan peristiwa lainnya, juga mengaitkannya dengan konstelasi politik dunia beserta perubahan-perubahnnya. Dengan begitu, ia bisa memahami perkara-perkara yang menyelimuti setiap peristiwa dan kejadian; siapa aktor dan apa tujuannya; mana yang mungkin terjadi dan mana yang tidak?
Saat melakukan analisis politik, penting dibedakan antara pihak yang memanfaatkan situasi dan peristiwa (pendompleng) dan pihak yang benar-benar berada di balik itu (aktor utama). Pasalnya, bisa jadi yang berhasil mengambil keuntungan dari sebuah kejadian politik bukanlah aktor utamanya.
Contoh, pada tahu 1993 Ingris memprakarsai ‘Perjanjian Oslo’. Namun akhirnya, perjanjian itu berhasil dibajak AS. Kesepakatan ini pada dasarnya adalah upaya licik Inggris dan Eropa terhadap Konferensi Madrid yang digagas AS, sebagai dasar bagi penyelesain damai pasca Perang Teluk II. Perjanjian Oslo terlaksana dengan bantuan pimpinan institusi Yahudi dan pemuka PLO. Berdasarkan ketentuan persetujuan tersebut, Arafat datang ke Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan diberi mandat sebagai pemerintahan otonom Palestina, bukan sebagai penguasa yang sebenarya bagi Palestina. Sebab, Palestina adalah milik Israel, sesuai dengan resolusi Inggris, yakni membentuk satu negara di Tanah Palestina. Akan tetapi, AS mampu mengubah kesepakatan tersebut menjadi proses perundingan yang tak berkesudahan dan terus-menerus diadakan. Dengan bergitu, AS bisa mengendalikannya dan menjamin tidak terjadi proses penyelesaian yang sempurna kecuali sesuai dengan keinginannya.
Begitupun berbagai gejolak di negri-negeri Arab saat ini. Semuanya terjadi secara spontan dan bukanlah rekayasa negera besar manapun. Namun, melalui agen-agennya, mereka serentak campur tangan untuk mengendalikan, membelokkan dan menunggangi setiap kejadian politik di Dunia Arab agar tetap berjalan sesuai kepentinganya. Oleh sebab itu, tidak bisa dikatakan bahwa AS berada di balik gejolak Mesir. Keberadaan AS di sana hanyalah menjaga Mesir agar tidak lepas dari genggamannya. Hal serupa juga terjadi di Tunis. Inggris campur tangan untuk mengendalikan Tunisia. Itu pula yang terjadi di Libia dan Yaman. Gejolak di kedua negara tersebut masih terus memanas karena persaingan antara Inggris pemegang kendali utama dan AS yang datang ingin menancapkan pengaruh.
Semua itu terjadi, karena ‘Revolusi Arab’ tidak dibangun berdasarkan kesadaran sempurna, baik di tengah masyarakat pada umumnya, dan para pemimpin gerakan secara khusus. Berbeda halnya Suriah, meski berbagai upaya telah ditempuh, AS dan negara besar lainya, hingga kini belum berhasil memadamkan revolusi di sana. Ini tiada lain karena adanya kesadaran masyarakat, yang membuat mereka tidak mudah dikendalikan atau dibelokkan.
Agar tidak terjurumus dalam penyesatan dan agar setiap peristiwa bisa disikapi dengan tepat, membedakan antara aktor utama dan pendompleng sangatlah penting. Saat mengetahui bahwa ‘Revolusi Arab’ murni merupakan gerakan masyarakat, sementara campur tangan asing datang belakangan untuk mengendalikan, membelokkan dan memperalatnya, maka seharusnya seorang yang sadar politik mendukung dan mengawal gerakan masyarakat tersebut. Namun, bila suatu revolusi atau gerakan masyarakat sejak awal merupakan rekayasa penjajah, bukan murni kehendak mereka, maka tidak layak didukung.
Sebaliknya, politisi sejati wajib menyadarkan masyarakat untuk tidak terlibat gerakan semacam itu, dan memahamkan mereka tentang makar dan rencana penjajah tersebut, meskipun hal itu menyebabkan benturan dengan pihak yang secara sadar atau tidak sadar berada di belakang agenda penjajah tersebut.
Contohnya, aksi dan protes warga Tepi Barat pada tahun 1967. Di belakang aksi itu ada agen tulen AS, Gamal Abdul Naser. Tujuannya untuk memisahkan Tepi Barat dengan Yordania serta mendirikan negara Palestina di Tepi Barat yang merupakan solusi dua negara di Tanah Palestina yang menjadi proyek AS. Contoh lainnya, aksi menjatuhkan Presiden Soeharto di Indonesia pada 1998 juga merupakan proyek AS dan kaki tangannya seperti Bank Dunia.
Demikianlah, negara dan umat wajib menaruh perhatian besar terhadap aktivitas politik. Bahkan negara harus mempunyai ambisi besar dalam menunaikan kewajiban ini, agar benar-benar menjadi negara yang berpengaruh. Begitu pun partai-partai politik Islam wajib berusaha keras untuk menghasilkan para politisi ulung dan mendidik kader-kadernya menjadi para negarawan. [Abu Muhtadi/Disarikan dari Makalah Berjudul: “al-A’mâl as-Siyâsiyyah” pada al-Wa’ie Arab Edisi 340]