Penjajahan militer hampir hilang di berbagai belahan dunia. Namun, bukan berarti dominasi suatu negara atas negara lain telah lenyap. Tidak sama sekali. Justru yang dominan sekarang adalah cengkeraman negara besar atas negara berkembang/miskin dalam seluruh aspek kehidupan.
Fenomena ini tak lepas dari skenario Barat yang telah mengubah pola penjajahan klasiknya—dengan kekuatan militer—menjadi penguasaan atas sebuah negara berdasarkan prinsip-prinsip Barat yang dipaksakan. Barat mencoba membuat tatanan dunia baru yang lebih smooth, lalu mereka duduk sebagai king maker-nya.
George Soros dalam On Soros: Staying Ahead of the Curve (1995) menyebutkan bahwa seiring dengan ketegangan Perang Dingin (Cold War) yang mereda antara Barat dan Timur akibat runtuhnya Komunisme, terjadi tatanan baru dunia yang disebut a global open society, yakni tatanan dunia yang dibangun di atas empat ciri utama: (1) effective competition, yaitu bentuk persaingan yang menjadikan situasi nilai dan peluang-peluang selalu berubah; (2) memaksimalkan kebebasan individual dengan membiarkan orang memasuki berbagai pilihan alternatif yang tersedia secara global; (3) hubungan sosial berdasarkan kontrak sosial dengan individu sebagai nucleus dari struktur masyarakat mengambang secara global tanpa perlu akar tempat berpijak yang mengikat; (4) nilai-nilai hanyalah masalah pilihan seperti orang memilih di tempat mana mau berinvestasi atau berspekulasi.
Melalui apa yang kemudian dikenal dengan globalisasi ini, semua negara di dunia dipaksa berkompetisi. Sayang, kompetisi itu berlangsung dalam kondisi ketidakadilan. Negara berkembang/miskin harus bersaing dengan negara industri maju. Walhasil, Dunia Ketiga—negara miskin dan berkembang—selalu kalah dan harus tunduk kepada yang menang. Terjadilah apa yang disebut sebagai dominasi dan hegemoni negara industri atas negara berkembang/miskin.
Ini yang digambarkan oleh James Petras dan Henry Veltmeyer dalam buku berjudul, Globalization Unmasked: Imperialism in 21st Century (2001). Buku itu secara kritis mengungkap fenomena globalisasi yang jelas-jelas lebih merugikan negara-negara berkembang dan sebaliknya menguntungkan secara besar-besaran negara-negara industri maju. Negara-negara berkembang dalam proses globalisasi itu justru akan menjadi semakin miskin. Pasalnya, yang disebut globalisasi itu adalah sebuah strategi negara-negara industri maju dalam memecahkan kejenuhan pasar mereka dengan mencari pasar baru bagi produk-produk mereka. Dalam proses globalisasi itu terjadi sebuah imperialisasi secara tidak langsung atas negara-negara berkembang/miskin oleh negara-negara industri maju.
Neoimperialisme itu didesain sedemikian rupa untuk mencegah potensi independen negara berkembang/miskin melakukan konsolidasi politik. Neoimperalisme juga dimaksudkan untuk mempertahankan ketergantungan negara berkembang/miskin secara penuh dalam sistem Kapitalisme dunia (O’Connor, 1981).
Karena itu menurut Tuathail dan Dalby (1998), neoimperialisme diwujudkan melalui rekayasa dan skenario penguasaan secara tidak langsung wilayah suatu negara. Imperialisme modern itu dioperasionalisasikan: Pertama, secara formal (formal geopolitics) melalui lembaga-lembaga strategis, kelompok pemikir dan para akademisi; Kedua, secara praktis (practical geopolitic) misalnya melalui kebijakan luar negeri, birokrasi dan lembaga-lembaga politik; Ketiga, secara umum (popular geopolitics) misalnya media massa, film, novel dan kartun, dsb.
Dalam konteks Indonesia, imperialisme gaya baru ini muncul sejak awal Orde Baru. Rezim Orde Baru dipaksa menyerahkan kekayaan alam negeri ini kepada asing—Amerika dan Barat—melalui penguasaan areal tambang baik mineral maupun migas. Sebagai contoh, PT Freeport mendapatkan konsesi di Papua dan Caltex di beberapa sumber migas di Nusantara. Pemerintah Indonesia pun harus menerima rancangan UU khususnya UU Penanaman Modal Asing sebagai legitimasi atas masuknya perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia.
Bersamaan dengan itu, negara-negara industri maju menjerat negara-negara Dunia Ketiga dengan utang luar negeri. Utang itu diberikan dengan dalih untuk biaya pembangunan. Bagi negara berkembang/miskin, utang ini sangat membantu untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi. Apalagi kebanyakan mereka adalah negara yang baru bangkit dari keterjajahan secara fisik. Hanya saja, ini bukan utang sembarang utang. Utang ini membawa konsekuensi. Selain mengandung riba/bunga, utang itu pun mengharuskan banyak persyaratan bagi negara pengutang. Dari situ pula, para pakar ekonomi dan lembaga-lembaga mereka masuk ke sebuah negara dengan dalih memberikan bantuan teknis dan me-review kebijakan/program. Lebih jauh lagi, mereka ikut menyusun berbagai kebijakan negara termasuk merumuskan draft perundang-undangan. Langkah mereka ini dibantu oleh para akademisi lokal yang telah mereka didik sebelumnya. Dalam konteks Indonesia, mereka dikenal sebagai Mafia Berkeley.
Tidak hanya di bidang ekonomi, akhirnya intervensi asing ini pun merambah ke dunia politik. Dari sinilah negara kemudian didesain sebagai alat legitimasi bagi cengkeraman asing.
Kontrol
Neoimperialisme menggiring negara agar berjalan sesuai dengan arahan negara adidaya. Sebelumnya, negara industri besar itu menciptakan iklim yang kondusif agar rezim yang berkuasa secara sadar atau terpaksa mengikuti arahan tersebut. Ibaratnya, negara Dunia Ketiga dibuat tak bisa berkutik. Saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, IMF memaksa Indonesia menerima Letter of Intent (LOI) yang berisi kebijakan jangka panjang yang sepenuhnya atas prakarsa IMF. Soeharto yang saat itu kekuasaannya dalam kondisi di ujung tanduk terpaksa menandatangani LoI itu di hadapan Michel Camdesus. Program reformasi ekonomi ala IMF ini menjadikan Indonesia kian tak berkutik mengikuti kemauan negara penjajah. Proyek liberalisasi ekonomi dimulai dengan masif. Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Pemerintah melakukan privatisasi aset BUMN dan swasta nasional.
Saat itulah raksasa-raksasa kapitalis dunia seperti Caltex, Shell, Exxon Mobile, British Petroleum, Chevron, Amerada Hess, Standard Mobile Oil, Marathon, Gulf Union Oil mencaplok aset nasional di bidang pertambangan minyak dan gas. Freeport dan Newmont mencaplok semua aset nasional di bidang pertambangan emas. Cement Mexico mencaplok aset nasional di bidang produksi semen. Phillip Morris, British American Tobacco, Soros Corp mencaplok aset nasional di bidang rokok, cengkeh dan tembakau. ABN Amro Bank, Citybank, Standard Chartered, Chemical Bank, Chase-Manhattan Bank, Federal Reserve Bank mencaplok aset nasional di bidang perbankan.
Indonesia yang telanjur tunduk kepada IMF, Bank Dunia dan negara-negara besar pun terpaksa tak bisa menolak untuk menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010. Artinya, Pemerintah komitmen mendukung globalisasi tingkat ASEAN (ASEAN Free Trade Area) pada 2003 dan globalisasi tingkat ASEAN – Cina (ACFTA) pada 2010 serta globalisasi tingkat dunia pada 2015. Akhir 2015, Indonesia mesti membuka pasarnya lebar-lebar dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Liberalisasi ekonomi ini tak akan sukses tanpa adanya liberalisasi politik. Dalam situasi ini partai politik akhirnya ditantang berkompetisi melalui jalur demokrasi. Liberalisasi ini melahirkan partai politik dan politikus yang pragmatis dan materialistis. Situasi ‘butuh uang’ ini menjadi pintu masuk bagi kekuatan negara besar dan perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia ikut andil. Caranya dengan memberikan dukungan finansial kepada partai politik maupun wakil rakyat. Tentu tidak gratis. Mereka pun menitipkan kebijakan dalam rangka menjaga eksistensi usaha mereka. Inilah konsekuensi politik liberal. Lalu lahirlah berbagai undang-undang dan peraturan negara yang liberal, mementingkan asing daripada memenuhi aspirasi rakyat.
Neoimperialisme: Bahaya Nyata
Ketika negara sudah tidak lagi independen dan berjalan sesuai dengan arahan asing, inilah wujud nyata penjajahan atau imperialisme. Melalui penjajahan gaya baru atau neoimperialisme inilah, Barat mencengkeram negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Amerika dan Barat kemudian mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan legitimasi perundang-undangan hasil karya wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.
Karena itu jangan heran jika rezim menganut paham neoliberalisme dalam mengatur negeri ini. Paham ini menghendaki pengurangan peran negara di bidang ekonomi. Dalam pandangan neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat. Pengurangan peran negara dilakukan dengan privatisasi sektor public seperti migas, listrik, jalan tol dan lainnya; pencabutan subsidi komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk dan lainnya; penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha swasta.
Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state (korporatokrasi). Ketika itu terjadi, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Konsekuensinya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan korporat baik domestik maupun asing.
Walhasil, neoliberalisme dan neoimperalisme ini merupakan bahaya besar yang dihadapi Indonesia. Ini bukan sekadar teori atau ancaman, tetapi sudah menjadi kenyataan di depan mata. Ini yang harus disadari oleh anak negeri. [Humaidi]