HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Jihad dan Pelatihan Militer

Allah SWT telah memuliakan kaum Muslim dengan menjadikan mereka sebagai pengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Allah SWT juga telah menentukan metode untuk mengemban risalah Islam itu, yaitu dengan dakwah dan jihad. Untuk itu, Allah menjadikan jihad sebagai kewajiban atas mereka. Demi kesempurnaan kewajiban itu, pelatihan militer adalah sesuatu yang diwajibkan (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 87; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 152).

Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Negara Islam Pasal 62, yang berbunyi: “Jihad adalah kewajiban bagi seluruh kaum Muslim dan pelatihan militer bersifat wajib. Setiap laki-laki Muslim yang telah berusia 15 tahun diharuskan mengikuti pelatihan militer, sebagai persiapan untuk jihad. Adapun rekrutmen anggota pasukan reguler merupakan fardhu kifayah.” (Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, hlm. 18).

Jihad dan Pelatihan Militer

Dalil-dalil tentang kewajiban berjihad, yaitu berperang di jalan Allah SWT untuk meninggikan kalimat-Nya, dan keutamannya banyak disebutkan di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ

Perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan agama itu semata-mata untuk Allah (QS al-Anfal [8]: 39).

فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ

Perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu (QS at-Taubah [9]: 12).

Anas ra. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

جَاهَدُوْا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وِأَنْفُسِكُمْ أَلْسِنَتِكُمْ

Perangilah kaum musyrik dengan harta, jiwa dan lisan kalian (HR Ahmad, Nasa’i, Hakim dan Abu Dawud).

Bahkan Rasulullah saw. menjelaskan bahwa jihad merupakan puncak tertinggi Islam. Muadz bin Jabal meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:

ذُرْوَةُ سَنَامِ اْلإِسْلاَمِ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

Puncak tertinggi Islam adalah berjihad di jalan Allah SWT (HR Ahmad).

Peperangan jelas mengharuskan adanya pelatihan militer. Hanya dengan itulah jihad yang diwajibkan oleh syariah akan dapat dilaksanakan secara sempurna, yaitu sampai pada tingkat kemampuan menundukkan musuh dan membebaskan berbagai negeri. Dengan demikian pelatihan militer menjadi wajib sebagaimana jihad. Ini sesuai dengan kaidah syariah:

مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Suatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu yang lain maka sesuatu itu menjadi wajib (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 209; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 87; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 152).

Tuntutan untuk berperang tentu mencakup pelatihan militer. Ini karena tuntutan dalam ayat di atas bersifat umum: wa qatiluhum (perangilah mereka), yakni perintah untuk berperang dan perintah untuk mengadakan hal-hal yang memungkinkan untuk melakukan peperangan sesuai dengan tuntutan syariah.

Lebih dari itu Allah SWT juga berfrman:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

Siapkanlah oleh kalian untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi (QS al-Anfal [8]: 60).

Ayat ini memerintahkan agar kaum Muslim mempersiapkan sebanyak mungkin peralatan (persenjataan) untuk jihad sehingga dengan itu membuat setiap musuh, baik yang memusuhi dengan terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi, menjadi gentar dan ketakutan (Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, XV/192).

Pelatihan dan keahlian kemiliteran yang tinggi adalah bagian dari upaya menyiapkan kekuatan. Hanya dengan pelatihan militer dimungkinkan kaum Muslim untuk terjun dalam peperangan secara sempurna. Dalam hal ini, pelatihan militer merupakan bagian dari kekuatan yang wajib disiapkan seperti halnya logistik, peralatan, dan sebagainya (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 209; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 87; Zallum, Nizham al-Hukm fil Islam, hlm. 152).

Adapun rekrutmen tentara adalah merekrut orang-orang sebagai tentara dalam pasukan militer yang siap siaga untuk mengangkat senjata secara kontinu. Rekrutmen ini berarti bertujuan membentuk pasukan para mujahid yang secara praktis melaksanakan jihad dan hal-hal yang dituntut oleh jihad. Rekrutmen ini adalah wajib. Pasalnya, kewajiban melaksanakan jihad berlangsung secara terus-menerus, baik dalam kondisi musuh menyerang kita atau tidak. Jadi, rekrutmen dalam hal ini adalah wajib dan termasuk dalam cakupan hukum jihad, yaitu fardhu kifayah (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 209; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 88; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 152).

Hanya untuk Kaum Muslim

Kewajiban jihad ini hanya untuk kaum Muslim saja, tidak untuk warganegara non-Muslim. Pasalnya, nash-nash syariah yang mewajibkan jihad memang dikhususkan bagi orang-orang yang Mukmin (Lihat antara lain: QS al-Anfal [8]: 65; QS at-Taubah [9]: 122).

Selain itu perang yang diwajibkan atas kaum Muslim dalam ayat-ayat jihad itu ditujukan untuk memerangi orang-orang kafir. Jelas, tidak mungkin kewajiban ini dibebankan kepada orang-orang kafir karena hal itu sama saja dengan memerintahkan mereka untuk memerangi dirinya sendiri. Dengan demikian jihad tidak diwajibkan atas warganegara non-Muslim (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 209).

Hanya saja, meski warganegara non-Muslim tidak dibebani kewajiban jihad, mereka dibolehkan ikut bersama dengan kaum Muslim memerangi musuh. Pasalnya, Rasulullah saw. pun telah membolehkan warganegara non-Muslim ikut berperang bersama beliau. Az-Zuhri ra. menuturkan:

أَنَّا النَّبِيَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْهَمَ لِقَوْمٍ مِنَ الْيَهُوْدِ قَاتَلُوْا مَعَهُ

Sesungguhnya Nabi saw. telah memberikan bagian harta rampasan perang kepada orang Yahudi yang ikut berperang bersama beliau (HR at-Tirmidzi).

Ibn Hisyam juga telah menuturkan riwayat, “Sesungguhnya Shafwan bin Umayah pernah keluar bersama Nabi saw. dalam Perang Hunain. Saat itu ia masih musyrik. Lalu Nabi saw. member dia bagian harta rampasan Perang Hunain bersama dengan para muallaf.”

Dalam Sirah Ibnu Hisyam disebutkan bahwa Ashim bin Umar bin Qatadah berkata: “Di tengah-tengah kami ada seorang laki-laki asing yang tidak diketahui asal-usulnya. Dikatakan bahwa ia bernama Quzman. Saat Rasulullah saw. diberitahu tentang dirinya, beliau bersabda bahwa ia termasuk ahli neraka. Pada saat Perang Uhud, ia bertempur mati-matian sehingga ia seorang diri berhasil membunuh delapan atau tujuh orang-orang musyrik…

Semua ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa warga negara non-Muslim boleh ikut memerangi musuh bersama dengan kaum Muslim (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 209; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 89; Zallum, Nizham al-Hukm fil Islam, hlm. 153).

Tidak Wajib Bagi Kaum Perempuan

Jihad juga tidak wajib bagi kaum perempuan. Aisyah ra. berkata, “Wahai Rasulullah, adakah kewajiban jihad bagi kaum perempuan?” Beliau bersabda:

نَعَمْ، عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ: اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ

Ya, mereka wajib jihad yang tidak ada perangnya, yaitu: melaksanakan haji dan umrah (HR Ahmad dan Ibn Majah).

Dalam fikih Hanafi disebutkan bahwa “Memulai jihad adalah wajib kifayah. Jika sebagian telah melakukan, maka gugur kewajiban bagi yang lain. Jika tidak ada yang melakukan, maka semuanya berdosa, kecuali anak-anak, budak dan perempuan.” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, III/337).

Dalam fikih Maliki disebutkan bahwa “Syarat jihad ada enam yaitu: Islam, balig, berakal, merdeka serta mampu secara fisik dan harta. Namun, jika musuh menyerang kaum Muslim, maka budak dan perempuan ikut wajib.” (Qawanin al-Ahkam asy-Syar’iyah li Ibni Juza, hlm. 163).

Dalam fikih Syafii juga disebutkan bahwa “Tidak ada kewajiban jihad bagi anak-anak, orang gila, perempuan dan orang sakit.” (Mughn al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, IV/216).

Dalam fikih Hanbali pun disebutkan, “Jihad tidak wajib kecuali bagi laki-laki, merdeka, mukallaf dan mampu.” (Asy-Syarh al-Kabir li al-Maqdisi ‘ala Matn al-Muqni’, X/366).

Alhasil, perempuan tidak termasuk dalam perintah kewajiban jihad (Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah asy-Syar’iyah, hlm. 1020).

Perempuan tidak wajib jihad bukan karena suatu ‘illat (sebab), semisal perempuan itu lemah tidak mampu memikul senjata dan lainnya. Pasalnya, memang tidak satu pun illat yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syariah. Justru dalil syariah menunjukkan dengan tegas bahwa perempuan tidak diwajibkan jihad. Anas bin Malik ra. menuturkan bahwa Ummu Salamah ra. pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah saya ikut bersama Anda ke medan perang?” Beliau bersabda:

يَا أُمَّ سَلَمَةَ، إِنَّهُ لَمْ يُكْتَبْ عَلَى النِّسَاءِ الْجِهَادُ

Wahai Ummu Salamah, sesungguhnya tidak wajib atas perempuan berjihad (HR ath-Thabrani).

Berdasarkan hadis di atas, perintah berjihad dalam firman Allah SWT, “Diwajibkan atas kalian berperang (QS al-Baqarah [2]: 216),” adalah dikhususkan bagi laki-laki saja, tidak untuk perempuan (Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah asy-Syar’iyah, hlm. 1020).

Berusia Lima Belas Tahun

Setiap warganegara yang telah berusia lima belas tahun wajib mengikuti pelatihan militer. Adapun tentang pembatasan usia, yaitu lima belas tahun ke atas, hal itu berdasarkan hadis dari Nafi’ ra. yang mengatakan, “Ibnu Umar telah berkata kepadaku bahwa Rasulullah saw. pernah menanyakan umurnya saat Perang Uhud. Ia saat itu masih berusia empat belas tahun. Rasulullah saw. tidak mengizinkan dia untuk ikut berperang. Kemudian pada saat Perang Khandaq, Rasulullah saw. juga menanyakan umurku. Saat itu aku sudah berusia lima belas tahun. Lalu Rasulullah saw. membolehkan aku (untuk turut serta dalam perang).”

Nafi’ ra. Berkata, “Aku pernah datang kepada Umar bin Abdul Aziz, yang ketika itu ia adalah seorang khalifah. Lalu aku menyampaikan hadis itu kepada dia. Setelah itu Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Sungguh, ini adalah batas antara anak-anak dan orang yang sudah dewasa.’ Selanjutnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada para amilnya agar mereka menetapkan bagi siapa saja yang sudah mencapai usia lima belas tahun.”

Artinya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan para amilnya untuk menetapkan aggaran bagi mereka yang telah berusia lima belas tahun di Dewan Tentara untuk pelatihan militer (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 210; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 88).

WalLahu a’lam bish-shawab. [Muhammad Bajuri]

Daftar Bacaan

Haikal, DR. Muhammad Khair, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyah,

(Beirut: Dar al-Bayariq), Cetakan II, 1996.

Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.

Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.

Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

Ar-Razi, Muhammad bin Umar bin Husen Abu Abdillah Fakhruddin, Mafatih al-Ghayb, (Beirut: Dar al-Fikr), Cetakan I, 1981.

Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizham al-Hukm fi al-Islam (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*