Tanggal 2 Mei 2015 merupakan Hardiknas ke-56 sejak dikukuhkan pada tahun 1959. Selayaknya ini dijadikan sebagai ajang untuk berbenah diri dalam masalah pendidikan terutama kurikulumnya. Menurut Ditjen Dikti Kemendikbud, kurikulum Indonesia sudah berganti sebanyak 10 kali. Polemik pendidikan pun tak pernah kunjung padam dengan adanya perubahan kurikulum tersebut. Bahkan pemberlakuan Kurikulum 2013 kemarin menuai kekisruhan di dunia pendidikan. Akhirnya, Mendikbud Anies Rasyid Baswedan, menghentikan sementara pelaksanaan Kurikulum 2013 dan kembali ke Kurikulum 2006.
Cita-cita bangsa ini untuk menciptakan pendidikan yang maju pun ada. Bahkan ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 memuat tujuan pendidikan nasional. Namun, rumusan ini seolah menggantang asap dalam sistem demokrasi kapitalisme sekarang. Pasalnya, sistem ini berporos pada sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). Wajar jika tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan potensi agar terbentuk individu yang bertakwa dan berakhlak mulia bagaikan mencincang air. Tengok fakta kenakalan pelajar dan korupsi para intelektual. Semakin lama semakin karut-marut. Bahkan menurut data KPK ada 10 professor dan 200 doktor terjebak korupsi.
Sesungguhnya ideologi apapun akan mempunyai basis kebijakan bagi sistem pendidikannya. Kebijakan pendidikan terkait dua hal pokok: (i) tujuan pendidikan dalam format kurikulum; (ii) peran negara dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan.
Islam mempunyai pandangan yang jernih dan menyeluruh terhadap kehidupan dan apapun yang terkait di dalamnya, termasuk pendidikan. Landasan kehidupan dalam Islam berorientasi pada akidah Islam. Landasan ini juga menjadi pijakan dalam membuat kebijakan sistem pendidikan termasuk kurikulum. Kurikulum merupakan sistem untuk menjaga keseimbangan proses pendidikan dan penjabaran capaian tujuan pendidikan. Islam mempunyai kurikulum yang baku untuk mencapai tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk kepribadian islami (syakhshiyah islamiyah) setiap Muslim serta membekali dirinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut kurikulum Islam memiliki tiga komponen materi pokok yaitu: (1) pembentukan kepribadian Islam; (2) penguasaan tsaqafah Islam; (3) penguasaan ilmu kehidupan (iptek, keahlian dan keterampilan). Hal demikian akan mampu mencetak peserta didik yang menghiasi segenap aktivitasnya dengan akhlak mulia dan memandang Islam sebagai sistem kehidupan satu-satunya yang benar.
Pelaksanaan kurikulum tersebut diiringi kewajiban Negara untuk memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya. Negara berperan untuk memberikan biaya gratis dan menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. Kebijakan ini akan ditopang oleh pengelolaan SDA milik umum oleh Negara yang hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sinergitas antara ketangguhan kurikulum dan peran negara akan mudah terealisasi ketika Islam diterapkan dalam kehidupan yaitu Khilafah Islam ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Kejayaan pendidikan melalui penerapan kurikulumnya pun nyata. Kejayaan ini dapat disaksikan oleh dunia sebagaimana yang diungkapkan oleh Montgomery Watt dalam bukunya, The Influence of Islam on Medieval Europe. Setidaknya ada dua kejayaan pendidikan Islam yang membekas sampai sekarang yaitu: (i) keberadaan sarana dan prasarana pendidikan yang bermutu; (ii) keberadaan para cendekiawan Muslim terdepan di dunia.
Alhasil, penerapan kurikulum yang paripurna akan menciptakan kemajuan dunia di bawah naungan Khilafah. [Hasna Fajrina; Pengajar di Kota Malang]