HTI

Ekonomi dan Bisnis

Liberalisasi Energi Penyebab Utama Mahalnya Harga BBM dan Gas

Harga bahan bakar minyak (BBM) kembali naik pada tanggal 28 Maret 2015 sebesar Rp 500 perliter. Premium menjadi Rp 7.400 dan solar bersubsidi Rp 6.900. Selama lima bulan masa pemerintahannya, Presiden Jokowi sudah menaikkan harga BBM tiga kali.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengisyaratkan harga kedua jenis bahan bakar tersebut akan kembali naik pada bulan April jika harga minyak mentah di pasar dunia meningkat dan depresiasi rupiah berlanjut. Pasalnya, berdasarkan ajuan Pertamina harga keekonomian premium untuk bulan April adalah Rp 8.200.

Hal yang sama juga terjadi pada harga gas. Pemerintah kembali menaikan harga elpiji tabung 12 kg per 1 April 2015 sebesar Rp 666,67 atau Rp 8.000,04 pertabung. Dengan demikian harganya menjadi Rp 142.000 pertabung dari harga sebelumnya Rp 134.000. Sebelumnya , terhitung tanggal 2 januari 2015 Pemerintah telah menaikkan elpiji tabung 12 kg dari 114.200 menjadi 134.000. Di tingkat pengecer atau pangkalan, LPG dijual rata-rata Rp 150.000 seperti yang terjadi di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pemilik pangkalan rata-rata menjual LPG 12 kg seharga Rp. 150.000. Pertamina berdalih, penaikan harga LPG ini dilakukan agar perusahaan nasional itu tidak mengulangi lagi persoalan yang sama yaitu menanggung kerugian dalam distribusi BBM dan Gas.

Pada kesempatan yang sama, Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, kenaikan BBM Premium Rp 500 perliter sudah menjadi komitmen Pemerintah untuk tidak lagi memberikan subsidi pada Premium. Adapun solar tetap disubsidi Rp 1.000 perliter. Menurut dia harga BBM di Indonesia, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), ditetapkan Pemerintah dengan berbasis pada nilai keekonomian.

Karena Liberalisasi

Naik-turunnya harga BBM dan gas merupakan salah satu amanat dari UU Migas No. 22 Th. 2001 yang menyerahkan harga ke mekanisme pasar seperti yang disebutkan dalam Pasal 2: …Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga   secara   akuntabel   yang   diselenggarakan   melalui   mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.

Kemudian dikuatkan dengan Perpres No. 5/ 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c: Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.

Lalu diimplementasikan dalam blueprint Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM: Program utama: (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional…

Setelah berhasil menipu rakyat dan mengikuti keinginan para kapitalis untuk melakukan liberalisasi migas secara total baik sektor hulu maupun hilir, kini rezim Jokowi melalui kementrian BUMN akan melakukan privatisasi Pertamina. Ini sebagaimana yang di sampai oleh Rini Soemarno tahun 2014 yang meminta PT Pertamina melakukan non listed terhadap sahamnya dan melakukan listed atas utangnya di bursa saham. Menteri ESDM pada Bulan Februari 2015 kembali memunculkan wacana PT Pertamina jadi non listed public company alias perusahaan publik yang sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia, tetapi melalui jaringan perdagangan antarsaham di pasar keuangan. Alasannya, supaya Pertamina lebih transparan dengan tunduk pada peraturan pasar modal, antara lain pelaporan kinerja keuangan yang transparan dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).

Alasan agar Pertamina lebih transparan kepada publik hanyalah dalih untuk menutupi tujuan yang sebenarnya, yaitu menjual Pertamina kepada asing atau swasta. Kalau privatisasi atau penjualan saham Pertamina dilakukan, maka lengkaplah sudah liberalisasi atau swastanisasi pengelolaan migas baik sektor hulu maupun sektor hilir. Akibatnya, akan terjadi penjarahan migas secara besar-besar untuk kepentingan para kapitalis tanpa ada sedikitpun halangan. Akhirnya, rakyat hanya menjadi penonton pestapora para kapitalis dengan kehidupan mereka yang hedonis.

Sengsarakan Rakyat, Untungkan Kapitalis

Turunnya harga minyak dunia, dimanfaatkan oleh rezim Jokowi untuk meliberalkan harga BBM dan menghilangkan subsidi dengan menyerahkan harga migas ke mekanisme harga pasar. Pemerintah menipu rakyat dengan menggunakan istilah harga keekonomian setelah penentuan migas berdasarkan harga pasar dibatalkan oleh MK. Mekanisme penetapan harga pasar inilah yang selama ini terus didesakkan oleh IMF, Bank Dunia, USAID, ADB dan para kapitalis pada umumnya. Jelas kebijakan ini sangat menguntungkan para kapitalis, sementara rakyat harus menanggung derita dengan kenaikan harga barang-barang sebagai efek domino dari kenaikan harga BBM.

Berdasarakan mekanisme tersebut, penentuan harga BBM didasarkan pada harga minyak dunia atau MoPS (Mean of Plats Singapore) dan kurs rupiah terhadap dolar. Kenaikan pada tanggal 28 Maret yang lalu, misalnya, didasarkan pada harga minyak  (MoPS) yang naik sekitar 10 dolar AS atau sekitar 60 – 70 US$. Adapun rupiah melemah sekitar Rp 13.000 perdolar AS. Dengan tren harga minyak dunia yang terus meningkat bahkan bisa kembali ke harga normal di atas 100 US$ perbarel, sementara kurs rupiah terus stagnan malah cenderung melemah, maka harga Premium akan bisa mencapai di atas Rp 10.000 perliter. Pada saat itu harga-harga akan naik tak terkendali.   Akan tetapi, seandainya harga minyak sewaktu-waktu turun, biasanya tidak secara otomatis akan diikuti dengan turunnya ongkos dan harga-harga barang yang lain.

Inilah fakta yang terjadi ketika harga BBM turun menjadi Rp. 6.700 beberapa bulan yang lalu. Banyak yang berharap harga-harga barang dan ongkos transportasi akan ikut turun. Faktanya, ada sebagian kecil yang turun, tetapi lebih banyak yang tidak turun. Di semua daerah belum terasa ongkos angkutan umum ikut turun. Kalaupun ada isyarat akan turun, turunnya jauh lebih kecil dibandingan dengan kenaikan sebelumnya. Harga-harga barang malah sama sekali belum terasa turun. Selama ini memang jika harga-harga barang sudah naik, sulit sekali turun. Karena itulah menurut Ketua Kordinator LSM. Pemantau Kinerja Aparatur Pemerintahan Pusat Dan Daerah ( PKA- PPD) Seluruh Indonesia Lahane Aziz, Pemerintah Jokowi bukan hanya mempermainkan rakyat dengan melakukan pencitraan dengan naik-turunnya BBM, tetapi juga membohongi rakyat. Pasalnya, di balik kebijakan itu Pemerintah Jokowi sebenarnya tidak memiliki argumen melainkan hanya untuk melakukan liberalisasi Migas di sektor hilir (Intelejenpost.com).

Pemerintah Rezim Jokowi-JK   sepertinya sudah mati rasa. Kesengsaraan dan penderitaan rakyat akibat kenaikan BBM dan kenaikan yang lainnya seperti tarif listrik, tarif tol bahkan harga beras sempat naik sampai 30% yang diikuti dengan kenaikan sembako dianggap enteng oleh para pejabat. Misalnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan Pemerintah punya keyakinan dengan keputusan melepas harga BBM ke mekanisme pasar dengan konsekuensinya harga BBM akan naik-turun, hanya butuh kebiasaan masyarakat untuk menyesuaikannya. Lalu Menteri ESDM dengan enaknya berkomentar, “Energi banyak, tetapi yang diributkan malah harga BBM.”

Pada saat yang sama Jokowi memanjakan para pejabat dengan memberikan tunjangan uang muka mobil mewah, menaikkan tunjang pejabat departemen keuangan sampai ratusan juta rupiah. Bahkan Jokowi sendiri yang ketika kampanye naik becak dan mempopulerkan mobil SMK, sekarang kendaraan dinas kepresidenannya adalah sedan super mewah seharga Rp 7,4 milliar buatan Jerman. Itu semua dibiayai dari uang rakyat dengan memalak rakyat setinggi-tingginya dalam bentuk pajak, Anehnya, dengan entengnya menteri keuangan mengatakan Tarif Pajak Penghasilan di Indonesia terlalu rendah sehingga sulit bagi Pemerintah menyediakan layanan kesehatan publik yang memadai. Bambang menggunakan Eropa sebagai contoh kawasan yang berhasil memberikan layanan kesehatan yang berkualitas dengan mengenakan tarif PPh di atas 50% dari Penghasilan (CNNIndonesia, 10/04/15). Padahal Pak Bambang ini selain menteri keuangan juga Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam. Namun ternyata, konsep yang disodorkan masih paradigma kapitalis dalam membiayai negara.

Liberalisasi Migas Haram!

Dalam ilmu ekonomi, Migas termasuk barang yang memiliki karakateristik inelastis sempurna, artinya kenaikan harga Migas tidak akan mempengaruhi permintaan; kalaupun ada tidak signifikan. Karena itu kalau Migas ini dikuasai oleh sekelompok kecil orang atau swasta akan menciptakan pasar monopoli yang berorientasi laba. Akibatnya, keuntungan dan manfaatnya hanya dinikmati oleh para investor, bukan dinikmati oleh Negara, bukan pula oleh masyarakat.

Karena itulah secara ekonomi Migas merupakan barang publik yang harus dikuasai oleh Negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh sektor perekonomian nasional dengan kuantitas yang cukup dan harga yang terjangkau. Karena itu pula, wajar di beberapa negara bahkan megara kapitalis sekalipun migas atau energi ini menjadi barang strategis yang dikendalikan oleh Negara.

Dalam pandangan Sistem Ekonomi Islam, bahan bakar minyak dan gas serta sumber energi lainnya merupakan milik umum atau milik rakyat yang wajib dikelola oleh Negara. Islam menetapkan bahwa kekayaan alam seperti gas, minyak, barang tambang, dsb sebagai milik umum; milik seluruh rakyat. Kekayaan alam itu tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang atau pihak swasta. Rasulullah saw. bersabda:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim bersekutu dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi).

Dalam hadits yang diriwayatkan Ibn Majah dari Ibn Abbas ada tambahan,”Harganya haram.”

Kata api pengertiannya mencakup sumber energi, termasuk listrik. Artinya, Islam menetapkan listrik sebagai milik umum, milik seluruh rakyat.

Dari sinilah dapat dipahami bahwa mengalihkan harta kepemilikan umum kepada individu atau perusahaan swasta yang menyebabkan masyarakat tidak mampu mengakses harta kepemilikan tersebut adalah tindakan haram. Karena itu, inilah pentingnya upaya mengganti UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang menjadi dasar liberalisasi/ swastanisasi migas dengan UU Migas yang sesuai dengan syariah.

Penutup

Sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT pasti akan mendatangkan kemadaratan bagi umat manusia. Oleh karena itu kaum Muslim harus menghentikan liberalisasi Migas. Kebijakan liberalisasi migas, selain menyusahkan rakyat dan menyenangkan kapitalis dan asing, juga jelas menyalahi syariah. Kebijakan demikian berarti berpaling dari petunjuk Allah SWT dan itu menjadi sebab berbagai kerusakan dan kesempitan hidup menimpa masyarakat.

Sudah terlalu lama umat membiarkan semua itu terjadi. Saatnya umat mencampakkan akar dari semua masalah ini, yaitu sistem demokrasi kapitalis dan menggantinya dengan sistem syariah dalam bingkai Daulah Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. [Lajnah Mashlahiyah DPP HTI]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*